Dari Benang ke Panggung Budaya: Gelar Wastra Dekranasda NTB Hidupkan Tenun Dua Pulau

Senin, 22 Desember 2025 - 10:50 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ini adalah upaya mengembangkan Wayang Sasak agar bisa diterima publik lebih luas (Foto: ist)

Ini adalah upaya mengembangkan Wayang Sasak agar bisa diterima publik lebih luas (Foto: ist)

CERAKEN.ID- Pasar Seni Senggigi, Sabtu (20/12), menjadi ruang temu antara tradisi, pariwisata, dan denyut ekonomi kreatif Nusa Tenggara Barat. Melalui Gelar Wastra, Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi NTB menampilkan kekayaan tenun dari dua pulau utama—Lombok dan Sumbawa—kepada wisatawan domestik maupun mancanegara. Kegiatan ini dibuka langsung oleh Ketua Dekranasda Provinsi NTB, Sinta M. Iqbal, sekaligus menandai penutupan rangkaian program Dekranasda sepanjang tahun.

Di hadapan pengunjung yang memadati area pasar seni, Sinta menegaskan bahwa Gelar Wastra bukan sekadar pameran produk, melainkan ruang edukasi budaya. Para wisatawan diajak melihat secara langsung khazanah tenun NTB dengan ragam motif dan filosofi yang menyertainya: jejak sejarah, identitas, serta nilai hidup masyarakat Lombok dan Sumbawa yang teranyam dalam helai demi helai kain.

“Pada hari ini, kita ingin mempersembahkan kegiatan ini sebagai penutupan rangkaian Dekranasda Provinsi. Melalui kesempatan ini, kami ingin menampilkan beragam kerajinan unggulan dari dua pulau yang kita miliki, sekaligus menggiatkan kembali kawasan Senggigi,” ujar Sinta.

Pernyataan ini menegaskan posisi Senggigi bukan hanya sebagai destinasi wisata pantai, tetapi juga panggung kebudayaan yang hidup.

Gelar Wastra menghadirkan koleksi tenun Lombok dan Sumbawa dengan karakter yang berbeda. Tenun Lombok dengan kekayaan warna dan motif geometrisnya berpadu dengan tenun Sumbawa yang tegas dan berkarakter, membentuk dialog visual tentang keberagaman dalam satu provinsi.

Baca Juga :  Budaya sebagai Infrastruktur Kesejahteraan: Menuju Masyarakat Well Being

Lebih dari itu, para perajin turut memperagakan proses pembuatan tenun secara langsung, dari menata benang hingga menggerakkan alat tenun, memberi pengalaman otentik bagi pengunjung untuk memahami kerja panjang di balik selembar kain.

Aspek edukasi menjadi perhatian khusus Dekranasda NTB. Di sela-sela kegiatan, Sinta memberikan penjelasan kepada pengunjung tentang cara mengenali tenun asli dan tenun palsu.

Perbedaan harga, kualitas bahan, hingga tekstur kain saat disentuh menjadi indikator penting agar konsumen semakin cerdas dan keberlanjutan perajin lokal terjaga. Edukasi ini sekaligus menjadi upaya melindungi warisan wastra dari praktik komodifikasi yang merugikan.

Gelar Wastra menghadirkan koleksi tenun Lombok dan Sumbawa dengan karakter yang berbeda (Foto: ist)

Kegiatan semakin semarak dengan pementasan Wayang Sasak oleh Sekolah Pedalangan Wayang Sasak (SPWS). Mengangkat kisah Dewi Rengganis, pertunjukan ini menyuguhkan narasi tentang kesedihan atas hilangnya warisan tenun Lombok, Samawa, dan Mbojo, sebuah alegori yang relevan dengan tantangan pelestarian budaya hari ini.

Wayang hadir bukan sebagai hiburan semata, melainkan medium refleksi sosial dan kultural.

Baca Juga :  Pergelaran dan Evaluasi II Olah Seni, Peserta Didorong Manfaatkan Momentum FLS3N

Sutradara pertunjukan, Pikong, menjelaskan bahwa pementasan bertajuk “Mengembalikan Senyum Rengganis” merupakan bagian dari upaya inovasi pengembangan Wayang Sasak.

“Dalam pertunjukan ini, kami ingin mengenalkan wayang wong Sasak. Selain wayang kulit, Lombok memiliki wayang wong yang ceritanya bersumber dari serat Menak,” ujarnya.

Setelah sebelumnya bereksperimen dengan wayang botol untuk menjangkau generasi muda, SPWS kini mencoba mempopulerkan wayang wong sebagai bentuk lain yang tak kalah kaya.

Melalui panggung terbuka Pasar Seni Senggigi, Pikong dan timnya ingin menguji penerimaan publik terhadap wayang wong. Tokoh Dewi Rengganis dipilih sebagai pintu masuk, menghadirkan figur perempuan yang kuat sekaligus rapuh. Simbol dari tradisi yang membutuhkan perhatian dan perlindungan.

 “Ini adalah upaya mengembangkan Wayang Sasak agar bisa diterima publik lebih luas,” katanya.

Gelar Wastra Senggigi dengan demikian menjadi peristiwa lintas sektor: budaya, ekonomi kreatif, dan pariwisata saling bertaut. Tenun diposisikan sebagai identitas, perajin sebagai subjek, dan wisatawan sebagai mitra yang diajak memahami nilai, bukan sekadar membeli produk.

Harapannya, kecintaan terhadap tenun lokal terus tumbuh, kawasan Senggigi kembali bergeliat, dan warisan wastra NTB—dari Lombok hingga Sumbawa—tetap lestari di tengah arus zaman. (aks)

Penulis : aks

Editor : Ceraken Editor

Sumber Berita : Humas Pemrov NTB & Liputan

Berita Terkait

Kembalinya Senyum Dewi Rengganis: Wayang Sasak Menjaga Wastra dan Ingatan Budaya
“Melet Bedait”: Ratapan Lama dalam Napas Baru Lombok Ethno Fusion
Resonansi yang Menyatu: Pameran Perdana Mandalika Art Community di Taman Budaya NTB
Resonansi: Getaran Seni Rupa Mandalika Menyambut HUT NTB ke-67
Kongso Sukoco: Kesetiaan yang Melawan Ekosistem
Menjadikan Kebudayaan sebagai Isu Utama
Simposium Kebijakan Kebudayaan Warnai Rangkaian Festival Teater Indonesia 2025 di NTB
Lakon Borka 2025: Adaptasi “Belfegor” Karya Kiki Sulistyo

Berita Terkait

Sabtu, 20 Desember 2025 - 12:10 WITA

Kembalinya Senyum Dewi Rengganis: Wayang Sasak Menjaga Wastra dan Ingatan Budaya

Sabtu, 20 Desember 2025 - 09:25 WITA

“Melet Bedait”: Ratapan Lama dalam Napas Baru Lombok Ethno Fusion

Rabu, 17 Desember 2025 - 08:19 WITA

Resonansi yang Menyatu: Pameran Perdana Mandalika Art Community di Taman Budaya NTB

Senin, 15 Desember 2025 - 11:27 WITA

Resonansi: Getaran Seni Rupa Mandalika Menyambut HUT NTB ke-67

Minggu, 14 Desember 2025 - 20:17 WITA

Kongso Sukoco: Kesetiaan yang Melawan Ekosistem

Berita Terbaru

Apa yang mereka lakukan berangkat dari kesadaran sebagai manusia biasa  (Foto: ist)

AGENDA SOSIAL

Seni sebagai Kesaksian Zaman: Solidaritas dari Mataram untuk Sumatera

Selasa, 23 Des 2025 - 01:12 WITA

The Last Fruit mengandung metafora yang kuat. Ia terdengar sederhana, tetapi sekaligus menggetarkan (Foto: bp)

TOKOH & INSPIRASI

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Des 2025 - 20:32 WITA

Karya-karya Pak Kisid (kanan) hadir sebagai penanda bahwa seni tidak hanya berbicara tentang bentuk dan warna, tetapi juga tentang nilai dan tanggung jawab.(Foto: ist)

TOKOH & INSPIRASI

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Senin, 22 Des 2025 - 18:32 WITA

Dari Sumbawa, sebuah gagasan sedang dirajut: bahwa masa depan literasi daerah tidak harus gemerlap, tetapi harus berakar (foto: NR)

KEARIFAN LOKAL

Menggagas Perpustakaan Tematik: Jalan Sunyi Literasi dari Tana Samawa

Senin, 22 Des 2025 - 16:54 WITA

Dipsy Do tergolong band baru, lahir dari jam-jam sepulang kerja (Foto: Konser Lombok)

MUSIC & SHOW BIZZ

Dipsy Do di Soundrenaline 2025: Dari Mataram ke Pusat Hiruk-Pikuk Modernitas

Senin, 22 Des 2025 - 15:50 WITA