CERAKEN.ID- Pasar Seni Senggigi, Sabtu (20/12), menjadi ruang temu antara tradisi, pariwisata, dan denyut ekonomi kreatif Nusa Tenggara Barat. Melalui Gelar Wastra, Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi NTB menampilkan kekayaan tenun dari dua pulau utama—Lombok dan Sumbawa—kepada wisatawan domestik maupun mancanegara. Kegiatan ini dibuka langsung oleh Ketua Dekranasda Provinsi NTB, Sinta M. Iqbal, sekaligus menandai penutupan rangkaian program Dekranasda sepanjang tahun.
Di hadapan pengunjung yang memadati area pasar seni, Sinta menegaskan bahwa Gelar Wastra bukan sekadar pameran produk, melainkan ruang edukasi budaya. Para wisatawan diajak melihat secara langsung khazanah tenun NTB dengan ragam motif dan filosofi yang menyertainya: jejak sejarah, identitas, serta nilai hidup masyarakat Lombok dan Sumbawa yang teranyam dalam helai demi helai kain.
“Pada hari ini, kita ingin mempersembahkan kegiatan ini sebagai penutupan rangkaian Dekranasda Provinsi. Melalui kesempatan ini, kami ingin menampilkan beragam kerajinan unggulan dari dua pulau yang kita miliki, sekaligus menggiatkan kembali kawasan Senggigi,” ujar Sinta.
Pernyataan ini menegaskan posisi Senggigi bukan hanya sebagai destinasi wisata pantai, tetapi juga panggung kebudayaan yang hidup.
Gelar Wastra menghadirkan koleksi tenun Lombok dan Sumbawa dengan karakter yang berbeda. Tenun Lombok dengan kekayaan warna dan motif geometrisnya berpadu dengan tenun Sumbawa yang tegas dan berkarakter, membentuk dialog visual tentang keberagaman dalam satu provinsi.
Lebih dari itu, para perajin turut memperagakan proses pembuatan tenun secara langsung, dari menata benang hingga menggerakkan alat tenun, memberi pengalaman otentik bagi pengunjung untuk memahami kerja panjang di balik selembar kain.
Aspek edukasi menjadi perhatian khusus Dekranasda NTB. Di sela-sela kegiatan, Sinta memberikan penjelasan kepada pengunjung tentang cara mengenali tenun asli dan tenun palsu.
Perbedaan harga, kualitas bahan, hingga tekstur kain saat disentuh menjadi indikator penting agar konsumen semakin cerdas dan keberlanjutan perajin lokal terjaga. Edukasi ini sekaligus menjadi upaya melindungi warisan wastra dari praktik komodifikasi yang merugikan.

Kegiatan semakin semarak dengan pementasan Wayang Sasak oleh Sekolah Pedalangan Wayang Sasak (SPWS). Mengangkat kisah Dewi Rengganis, pertunjukan ini menyuguhkan narasi tentang kesedihan atas hilangnya warisan tenun Lombok, Samawa, dan Mbojo, sebuah alegori yang relevan dengan tantangan pelestarian budaya hari ini.
Wayang hadir bukan sebagai hiburan semata, melainkan medium refleksi sosial dan kultural.
Sutradara pertunjukan, Pikong, menjelaskan bahwa pementasan bertajuk “Mengembalikan Senyum Rengganis” merupakan bagian dari upaya inovasi pengembangan Wayang Sasak.
“Dalam pertunjukan ini, kami ingin mengenalkan wayang wong Sasak. Selain wayang kulit, Lombok memiliki wayang wong yang ceritanya bersumber dari serat Menak,” ujarnya.
Setelah sebelumnya bereksperimen dengan wayang botol untuk menjangkau generasi muda, SPWS kini mencoba mempopulerkan wayang wong sebagai bentuk lain yang tak kalah kaya.
Melalui panggung terbuka Pasar Seni Senggigi, Pikong dan timnya ingin menguji penerimaan publik terhadap wayang wong. Tokoh Dewi Rengganis dipilih sebagai pintu masuk, menghadirkan figur perempuan yang kuat sekaligus rapuh. Simbol dari tradisi yang membutuhkan perhatian dan perlindungan.
“Ini adalah upaya mengembangkan Wayang Sasak agar bisa diterima publik lebih luas,” katanya.
Gelar Wastra Senggigi dengan demikian menjadi peristiwa lintas sektor: budaya, ekonomi kreatif, dan pariwisata saling bertaut. Tenun diposisikan sebagai identitas, perajin sebagai subjek, dan wisatawan sebagai mitra yang diajak memahami nilai, bukan sekadar membeli produk.
Harapannya, kecintaan terhadap tenun lokal terus tumbuh, kawasan Senggigi kembali bergeliat, dan warisan wastra NTB—dari Lombok hingga Sumbawa—tetap lestari di tengah arus zaman. (aks)
Penulis : aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : Humas Pemrov NTB & Liputan































