Berpuasa dengan kesungguhan bukan sekadar rutinitas ibadah, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang mengantarkan kita menuju taqwa, yaitu ketakwaan kepada Allah. Puasa bukan hanya menguatkan kedisiplinan fisik, tetapi juga membersihkan jiwa dari berbagai kebohongan dan kepalsuan. Dalam tatanan ibadah puasa Ramadan, kita seperti menemukan sebuah tameng yang mencegah terjerumusnya kita dalam perilaku dusta.
Dusta, sebuah kejahatan moral yang merusak hubungan dengan Allah dan sesama, merupakan ciri khas dari orang munafik. Mereka yang berpura-pura menjalankan perintah agama hanya untuk menunjukkan kebaikan di hadapan orang lain, sedangkan hati mereka dipenuhi dengan kebusukan dan kepalsuan. Dalam Al-Quran, para munafik digambarkan sebagai pendusta yang mencoba menipu dengan menyembunyikan niat dan perbuatannya yang jahat di balik tirai kepura-puraan. Hadis Bukhari mencirikan kemunafikan dengan berbohong, ingkar janji, dan berkhianat.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menggambarkan, kalau orang-orang mukmin selalu memerintahkan kepada kebajikan dan melarang perbuatan mungkar, maka orang-orang munafik mempunyai ciri khas tidak mau menginfakkan hartanya di jalan Allah dan juga berzikir kepada Allah, itu yang menandakan mereka sama dengan kaum fasik, yaitu orang yang keluar dari jalan yang kebenaran dan masuk ke dalam jalan kesesatan.
Allah SWT berfirman: “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah (sama), mereka menyuruh (berbuat) yang mungkar dan mencegah (perbuatan) yang makruf dan mereka menggenggamkan tangannya (kikir). Mereka telah melupakan Allah, maka Allah melupakan mereka (pula). Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah : 67).
Puasa, karenanya, memiliki peran penting sebagai penghalang terhadap praktek dusta. Dengan menahan diri dari makan, minum, dan perilaku yang tidak bermoral selama periode puasa, kita diingatkan untuk menjaga integritas dan kejujuran dalam semua aspek kehidupan. Puasa membangun kesadaran akan kebenaran dan keadilan, sehingga mendorong kita untuk menghindari perilaku dusta dan menegakkan kejujuran dalam segala hal.
Menekuni puasa dengan ketaatan dan kejujuran bisa dimaknakan sebagai ikhtiar untuk tidak mendustai diri sendiri. Karena potensi untuk menjadi hipokrit (munafik) sejatinya terdapat pada setiap orang, tak terkecuali kita. Betapa buruknya jiwa yang disepuh dusta. Semoga puasa kita menghasilkan taqwa yang mendalam dan menjauhkan kita dari segala bentuk kebohongan dan kepalsuan. Insyaallah.**
Penulis : Cukup Wibowo
Editor : Editor Ceraken