CERAKEN.ID- Untuk kesekian kalinya, Sekolah Pedalangan Wayang Sasak (SPWS) kembali menegaskan denyut hidup tradisi melalui Pentas Wayang yang digelar pada Sabtu, 20 Desember 2025, pukul 16.00 Wita, bertempat di Gelar Wastra Pasar Seni Senggigi, Lombok Barat. Kali ini, SPWS menyuguhkan lakon bertajuk “Kembalinya Senyum Dewi Rengganis”, sebuah kisah simbolik yang menganyam kegelisahan, harapan, dan perlawanan terhadap kepunahan warisan budaya.
Lakon ini terinspirasi dari khazanah Wayang Sasak, khususnya kisah Haldak Emas, yang dibaca ulang secara kontekstual. Dewi Rengganis, putri kerajaan Haldak Emas, digambarkan kehilangan senyum.
Wajah murung sang dewi bukan tanpa sebab: harta pusaka leluhur berupa tenun-tenun dari Lombok, Samawa, dan Mbojo yang tersimpan di puri kerajaan lenyap tak berjejak. Kehilangan itu bukan sekadar soal benda, melainkan hilangnya identitas dan ingatan kolektif.
Menyaksikan kegundahan Dewi Rengganis, Raden Umar Maye hadir sebagai figur penggerak harapan. Ia berjanji mencari kembali harta tak ternilai itu dan mengutus dua punakawan, WA dan Tol, tokoh khas Wayang Botol, untuk menelusuri jejak tenun yang hilang.
Dalam perjalanan, keduanya menemukan kain bermotif tradisional yang telah menjelma menjadi aneka busana modern. Sekilas menggembirakan, namun segera terungkap bahwa semua itu hanyalah tiruan, simbol dari komodifikasi budaya yang tercerabut dari akar nilai.
Puncak lakon menghadirkan twist reflektif. Ternyata, Dewi Rengganis masih menyimpan harta warisan sejati dalam Saok, peti penyimpanan kain leluhur yang hanya dapat dibuka melalui mantra yang dibaca bersama.
Peti pun terbuka, dan tenun-tenun itu tetap terjaga. Senyum Dewi Rengganis kembali merekah. Sebuah metafora bahwa warisan budaya akan tetap hidup bila dijaga secara kolektif, dengan kesadaran dan kebersamaan.
Di balik kisah wayang tersebut, tersirat pesan kuat tentang kekayaan wastra Nusa Tenggara Barat yang berada di persimpangan: antara pelestarian dan kepunahan. Lakon ini menjadi cermin kegelisahan sekaligus seruan untuk mengembalikan “senyum” budaya yang terancam oleh arus zaman.
Pertunjukan ini digarap secara kolaboratif lintas medium dan generasi. H. Safwan tampil sebagai dalang Wayang Kulit Sasak, didampingi Abdul Latif Apriaman dan Wahyu Kurnia sebagai penggerak Wayang Botol.
Nurul Maulida Utami Putri memerankan Wayang Wong, menghadirkan ekspresi tubuh manusia yang berpadu dengan bayang dan simbol. Penyutradaraan dipercayakan kepada Pikong dan Latif, sementara kostum Wayang Wong dirancang oleh Aliyya Pijar Buana, siswa kelas 1 SMK 4 Mataram—sebuah penegasan keterlibatan generasi muda dalam mata rantai tradisi.
Didirikan pada Mei 2015, SPWS hadir sebagai pengingat akan eksistensi Wayang Sasak yang kian meredup di tengah gempuran modernitas. Kini bernaung di bawah Yayasan Pedalangan Wayang Sasak, SPWS beralamat di Jl. Irigasi V Blok A No. 6B, Kelurahan Taman Sari, Ampenan, Lombok, NTB. Konsistensi mereka tak hanya bergema di tingkat lokal, tetapi juga menembus panggung internasional.
Melalui pertunjukan bertajuk “Benih Perdamaian dari Timur”, SPWS diundang tampil di Korea Selatan dalam dua agenda kebudayaan internasional yang digagas The Center for Intangible Culture Studies (CICS) pada 22–24 September lalu.
Keberangkatan ini membawa semangat baru bagi dunia pedalangan Lombok. Tim SPWS—terdiri dari Fitri Rachmawati (penggagas dan pendiri SPWS), Abdul Latief Apriaman (Ketua Yayasan), H. Safwan (dalang senior dan Kepala SPWS), serta Wahyu Kurnia dan Alamsyah dari tim kreatif—menjadi representasi lintas generasi yang saling menguatkan.
Bagi Fitri Rachmawati, undangan internasional tersebut adalah kabar baik bagi seluruh pegiat Wayang Sasak. Ia menjadi simbol harapan bahwa seni tradisi tidak harus tenggelam oleh arus modernitas.
Sebaliknya, ia dapat berdialog dengan dunia global tanpa kehilangan jati diri. Pandangan ini menegaskan bahwa tradisi bukan entitas statis, melainkan ruang kreatif yang terus tumbuh, beradaptasi, dan menemukan relevansinya di setiap zaman.
Melalui “Kembalinya Senyum Dewi Rengganis”, SPWS sekali lagi menunjukkan bahwa wayang bukan sekadar tontonan, melainkan tuntunan: penanda kesadaran budaya, perlawanan sunyi terhadap lupa, dan ikhtiar merawat senyum peradaban. (aks)
Penulis : aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : Liputan































