Kerajaan Mataram di Pulau Lombok adalah salah satu kerajaan yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah wilayah ini. Bermula dari kehancuran Singasari, Mataram justru berkembang menjadi kekuatan dominan yang mengatur tatanan politik, sosial, dan budaya di Lombok.
Dari kisah pengkhianatan, strategi politik, hingga kejayaan di bawah kepemimpinan tiga raja, Mataram meninggalkan jejak yang tetap terasa hingga kini.
CERAKEN.ID- Runtuhnya Singasari menjadi awal kebangkitan Mataram. Sejumlah tokoh yang berperan dalam menopang kerajaan ini diberi hak otonomi dan diangkat ke posisi strategis dalam pemerintahan.
Beberapa di antaranya adalah Gusti Wanasari, Gusti Gde Wanasara, serta Sang Wahayan Lebah yang diangkat menjadi punggawa, sementara Sang Bonaha dipercaya sebagai patih.
Namun, takdir berbicara lain bagi Sang Bonaha. Pada tahun 1839, ia berpaling melawan Mataram setelah dipengaruhi oleh seseorang bernama Lange.
Keperkasaan dan kesaktiannya membuatnya sulit dikalahkan. Raja pun mencari jalan lain dengan mengancam para bangsawan Batujai—jika mereka gagal membunuh Sang Bonaha dalam waktu tiga bulan, status mereka akan diturunkan.
Ancaman ini membuahkan hasil. Tepat sehari sebelum tenggat waktu berakhir, Mamiq Salim berhasil menumbangkan Sang Bonaha, sekaligus mengukuhkan Mataram sebagai kekuatan utama di Lombok.
Keberhasilan ini membawa dampak besar. Sejumlah wilayah Sasak, seperti Kuripan, Kopang, Mantang, Rarang, dan Praya, diberikan hak otonomi tanpa kewajiban membayar pajak ke Mataram.
Keputusan ini bukan hanya memperkuat kontrol Mataram atas Lombok, tetapi juga menciptakan stabilitas politik yang memungkinkan kerajaan berkembang lebih jauh.
Mataram di Puncak Kejayaan
Sebagai kerajaan tunggal yang menguasai seluruh Lombok, Mataram diperintah oleh tiga raja yang masing-masing membawa perubahan besar.
Raja pertama, Anak Agung Ketut Karangasem IV (1838-1850), dikenal sebagai pemimpin yang sentralistik dan represif. Ia memastikan Mataram tetap kokoh sebagai kerajaan tunggal dengan struktur pemerintahan yang kuat.
Penerusnya, Anak Agung Made Karangasem (1850-1872), membawa era pembangunan dan kebudayaan. Di bawah kepemimpinannya, Taman Kelepug direnovasi menjadi Taman Mayura, sementara Pura Meru, Taman Suranadi, dan Lingsar dibangun sebagai simbol kekuatan spiritual kerajaan. Taman Narmada pun dirintis, selesai dengan ukiran Kawi pada tahun 1866. Ibukota kerajaan dipusatkan di Cakranegara, yang berarti “negara yang telah bulat dan bersatu.”
Namun, puncak kejayaan Mataram terjadi pada masa pemerintahan Anak Agung Gede Ngurah Karangasem (1872-1894). Menariknya, ia naik takhta di usia yang telah mencapai lebih dari 70 tahun. Salah satu peristiwa bersejarah dalam masa pemerintahannya adalah pernikahannya dengan Dende Aminah, seorang wanita Sasak yang kemudian diberi gelar Dende Nawangsasih.
Pernikahan ini tidak hanya menjadi simbol persatuan budaya, tetapi juga membawa perubahan signifikan dalam hubungan Mataram dengan komunitas Muslim di Lombok. Dende Nawangsasih, yang dikenal taat beragama, diberi izin membangun masjid di dekat Taman Mayura dan mendatangkan seorang ulama, Guru Baok alias Haji Moh. Yasin dari Kelayu. Ia juga memiliki penasihat spiritual dari Arab bernama Sayid Abdullah.
Dari pernikahan ini lahir seorang putra bernama Gapul atau Imam Sumantri, yang kemudian dikenal sebagai Datu Pangeran. Keberadaan Dende Nawangsasih memperkuat posisi Islam di Mataram, dengan kebebasan beribadah yang semakin diperluas, termasuk pembangunan masjid di Ampenan serta kedatangan guru Al-Qur’an dan Hadits.
Pada masa ini pula, Mataram semakin memantapkan dominasinya di Lombok. Kerajaan-kerajaan kecil yang sebelumnya otonom—Pagesangan, Pagutan, dan Kediri—dipersatukan kembali di bawah kekuasaan Mataram. Bekas keraton Singasari diubah menjadi Puri Ukir Kawi, yang dihuni oleh Anak Agung Gede Ngurah Karangasem bersama putranya, Anak Agung Made Karangasem. Sementara itu, Puri Mataram diperuntukkan bagi putra mahkota, Anak Agung Ketut Karangasem.
Warisan Mataram dalam Sejarah Lombok
Sebagai kerajaan yang pernah menguasai Lombok sepenuhnya, Mataram meninggalkan jejak sejarah yang masih terasa hingga kini. Kebijakan politiknya yang mengakomodasi berbagai kelompok, pembangunan infrastruktur keagamaan, serta pusat-pusat pemerintahan yang masih dapat ditemukan di Cakranegara, Narmada, dan Ampenan menjadi bukti kejayaan yang pernah diraih kerajaan ini.
Meski akhirnya runtuh pada akhir abad ke-19 akibat ekspansi kolonial Belanda, Mataram tetap dikenang sebagai kerajaan yang berhasil menyatukan Lombok dalam satu pemerintahan yang kuat. Dari strategi politik hingga warisan budaya dan keagamaan, Mataram adalah cerminan kompleksitas sejarah Nusantara yang terus menarik untuk ditelusuri.***