CERAKEN.ID- Siang itu, Senin, 22 Desember 2025, sebuah pertemuan sederhana berlangsung di lingkungan Dinas Arsip dan Perpustakaan Daerah (Arpusda) Kabupaten Sumbawa. Tidak ada seremoni besar, tidak pula pidato panjang berbalut jargon. Yang hadir justru percakapan hangat, saling mendengar, dan pertukaran gagasan tentang satu hal yang kerap dipandang sunyi namun menentukan masa depan peradaban: perpustakaan dan literasi.
Pertemuan tersebut terekam dalam unggahan Facebook Nurdin Ranggabarani, seorang penggiat literasi, yang menulis tentang silaturahmi dan diskusi bersama Abu Bakar, S.Sos., M.Si., Kepala Dinas Arpusda Kabupaten Sumbawa.
Dari pertemuan itulah mengemuka satu gagasan penting: perpustakaan riset tematik sebagai model pengelolaan arsip dan literasi yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Unggahan itu singkat, namun mengandung visi panjang. Ia tidak hanya mencatat rasa senang atas sambutan hangat para pustakawan, tetapi juga menawarkan arah baru bagi pengelolaan perpustakaan daerah.
Sebuah tawaran yang berangkat dari kesadaran bahwa perpustakaan hari ini tak lagi cukup hanya menjadi ruang simpan buku.
Dari Gudang Buku ke Pusat Pengetahuan
Selama bertahun-tahun, perpustakaan daerah sering terjebak dalam citra lama: rak-rak buku yang sunyi, pengunjung terbatas, dan koleksi yang jarang disentuh. Padahal, di balik lemari arsip dan tumpukan dokumen itu, tersimpan jejak sejarah, identitas lokal, serta pengetahuan yang tak ternilai.
Konsep perpustakaan tematik yang digagas Nurdin Ranggabarani mencoba membalik cara pandang tersebut. Perpustakaan tidak lagi diposisikan sebagai gudang pasif, melainkan sebagai pusat riset aktif yang memiliki fokus-fokus tematik tertentu, misalnya sejarah lokal Tana Samawa, budaya maritim, agraria, manuskrip lokal, atau transformasi sosial masyarakat Sumbawa.
Dengan pendekatan tematik, arsip dan koleksi tidak hanya ditata berdasarkan klasifikasi umum, tetapi dirangkai dalam narasi pengetahuan yang utuh. Peneliti, akademisi, mahasiswa, hingga penulis dapat datang ke perpustakaan bukan sekadar mencari buku, melainkan untuk melakukan riset mendalam berbasis kekayaan lokal.
“Sebagai pusat arsip daerah, saya menawarkan konsep pengelolaan arsip dan perpustakaan riset tematik, yang dapat menarik minat para ilmuwan dan peneliti untuk melakukan riset di perpustakaan kita,” tulis Nurdin dalam unggahannya.
Kalimat itu menegaskan satu hal: literasi bukan hanya soal membaca, tetapi juga tentang produksi pengetahuan.
Dalam konteks daerah seperti Sumbawa, arsip memiliki posisi strategis. Ia bukan sekadar dokumen administratif, melainkan ingatan kolektif masyarakat.
Di dalamnya tersimpan kisah tentang tanah, adat, perubahan sosial, konflik, hingga kebijakan yang membentuk wajah Tana Samawa hari ini.
Sayangnya, arsip sering dianggap urusan teknis belaka, diurus, disimpan, lalu dilupakan. Padahal, jika dikelola dengan pendekatan riset tematik, arsip justru dapat menjadi sumber utama bagi kajian sejarah, antropologi, sosiologi, bahkan kebijakan publik.
Di sinilah peran Arpusda menjadi krusial. Diskusi antara Nurdin Ranggabarani dan Kepala Dinas Arpusda Kabupaten Sumbawa menunjukkan adanya kesadaran bersama bahwa perpustakaan daerah harus melampaui fungsi administratif. Ia harus menjadi simpul pengetahuan lokal yang hidup dan terbuka.
Sambutan hangat para pustakawan dan pegawai Arpusda, sebagaimana ditulis Nurdin, menandakan kesiapan kultural untuk berubah. Perubahan besar sering kali dimulai dari percakapan kecil, dari kesediaan mendengar dan membayangkan kemungkinan baru.
Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi, literasi lokal kerap terpinggirkan. Anak muda lebih akrab dengan konten global ketimbang sejarah daerahnya sendiri.
Perpustakaan tematik dapat menjadi penyeimbang, ruang di mana pengetahuan lokal dirawat, diproduksi, dan didistribusikan kembali.
Model ini juga membuka peluang kolaborasi lintas sektor: perguruan tinggi, komunitas literasi, peneliti independen, hingga seniman dan budayawan. Perpustakaan tidak lagi berdiri sendiri, tetapi menjadi ekosistem yang saling terhubung.
Bayangkan sebuah perpustakaan tematik di Sumbawa yang secara khusus mengarsipkan dan mengkaji sejarah kesultanan, sastra lisan Samawa, peta-peta lama, atau arsip kolonial yang berserakan. Dari sana, lahir buku, film dokumenter, pameran, hingga kebijakan berbasis riset.
Gagasan ini bukan utopia. Di berbagai daerah dan negara, perpustakaan tematik telah terbukti mampu menghidupkan kembali minat riset dan literasi, sekaligus memperkuat identitas lokal di tengah dunia yang serba seragam.
Menariknya, unggahan Nurdin Ranggabarani menekankan kata silaturrahim. Ini bukan sekadar pilihan kata religius atau kultural, melainkan penanda bahwa literasi sejatinya adalah relasi antarmanusia.
Perpustakaan tematik bukan hanya ruang fisik, tetapi juga ruang perjumpaan: antara arsip dan pembaca, antara masa lalu dan masa kini, antara pustakawan dan peneliti. Di sanalah diskusi kecil tumbuh, gagasan bertemu, dan pengetahuan berproses.
Dalam konteks itu, peran pustakawan juga mengalami pergeseran. Mereka bukan lagi penjaga rak, melainkan kurator pengetahuan, pemandu yang membantu pembaca menelusuri jejak arsip dan menemukan makna.
Ucapan terima kasih Nurdin atas keramahan para pustakawan Arpusda menunjukkan pentingnya aspek humanis dalam pengelolaan perpustakaan. Infrastruktur boleh terbatas, tetapi keramahan dan keterbukaan adalah modal awal yang tak ternilai.
Jalan Panjang Literasi Daerah
Tentu, menggagas perpustakaan tematik bukan tanpa tantangan. Dibutuhkan kebijakan, sumber daya manusia, anggaran, serta keberlanjutan program. Namun setiap langkah besar selalu diawali dengan gagasan dan keberanian untuk memulai.
Diskusi kecil pada Senin siang itu mungkin tidak langsung mengubah wajah perpustakaan di Tana Samawa. Tetapi ia menanam benih, tentang bagaimana perpustakaan daerah dapat mengambil peran strategis dalam pembangunan pengetahuan.
“Semoga dapat terus berkontribusi bagi kemajuan perpustakaan dan literasi Tana Samawa,” tulis Nurdin menutup unggahannya.
Harapan itu kini menjadi milik bersama. Di tengah derasnya arus informasi instan, perpustakaan tematik menawarkan kedalaman.
Di tengah budaya serba cepat, ia mengajak kita berhenti sejenak, membuka arsip, dan membaca kembali siapa kita.
Dari Sumbawa, sebuah gagasan sunyi sedang dirajut: bahwa masa depan literasi daerah tidak harus gemerlap, tetapi harus berakar.
Dan perpustakaan, dengan segala kesederhanaannya, masih dan akan selalu menjadi salah satu penjaga paling setia ingatan bangsa. (aks)
Penulis : aks
Editor : Ceraken Editor































