Pengabdian yang Dihidupi: Kongso Sukoco, Teater, dan Etika Kesetiaan

Minggu, 14 Desember 2025 - 20:48 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ia menjadi penanda nilai tentang kesetiaan, keberanian memilih jalan sunyi, dan komitmen merawat manusia melalui teater (Foto: dok FTI 2025)

Ia menjadi penanda nilai tentang kesetiaan, keberanian memilih jalan sunyi, dan komitmen merawat manusia melalui teater (Foto: dok FTI 2025)

CERAKEN.ID- Pada malam penutupan Festival Teater Indonesia (FTI) 2025, Jum’at, 12 Desember 2025, Gedung Tertutup Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak hanya menjadi ruang seremoni, tetapi menjelma menjadi ruang ingatan kolektif. Di sanalah Sutradara Bengkel Aktor Mataram, Kongso Sukoco, menerima Penghargaan Pengabdian Seumur Hidup, sebuah penanda perjalanan panjang, sunyi, dan konsisten dalam dunia teater Indonesia.

Ketika naik ke panggung, Kongso tidak membawa retorika kemenangan. Kalimat yang ia ucapkan justru merendah, sekaligus menegaskan posisi etiknya sebagai pekerja seni.

“Saya berdiri di sini bukan sebagai ‘yang paling berjasa’,” ujarnya, “melainkan sebagai salah satu dari sekian banyak pekerja seni yang percaya bahwa teater memiliki kemampuan untuk menghidupkan kembali ruang-ruang kepekaan.”

Pernyataan itu seolah merangkum laku hidupnya: teater bukan alat pencapaian diri, melainkan cara merawat relasi kemanusiaan. Bagi Kongso, pengabdian pada teater sejatinya adalah pengabdian pada manusia. Panggung bukan sekadar tempat pertunjukan, melainkan ruang etika.

Setiap gestur aktor, setiap keputusan artistik, memiliki resonansi sosial. Dari kesadaran inilah perjalanan panjang Kongso dibaca dan diakui, bukan hanya oleh lembaga, tetapi oleh orang-orang yang hidup dan bertumbuh bersamanya dalam proses teater.

Kesetiaan sebagai Laku Hidup

Adhar Hakim, Koordinator TAG-P3K, menyebut Kongso sebagai sosok yang hampir seluruh hidupnya didedikasikan untuk kebudayaan dan teater. “Rasa-rasanya Kang Kongso ini tak punya waktu lain selain bergelut dengan kesenian dan teater,” ujarnya.

Bagi Adhar, penghargaan ini menegaskan satu hal penting: panggung sejati seorang aktor bukan semata panggung pertunjukan, melainkan “panggung abadi kehidupan itu sendiri.”

Adhar memaknai berkesenian sebagai dialektika, proses terus-menerus antara gagasan, kenyataan, dan keberpihakan nilai. Namun dialektika itu, katanya, hanya mungkin dijalani dengan kesetiaan.

Kongso telah membuktikan kesetiaan tersebut bukan dalam kata-kata, melainkan dalam laku panjang yang konsisten, bahkan ketika dunia di sekelilingnya berubah cepat.

Pandangan ini diperkuat oleh Giri Arnawa, anggota TAG-P3K, yang melihat penghargaan ini sebagai bentuk pengakuan yang sangat layak atas dedikasi dan konsistensi Kongso dalam pengembangan seni dan budaya.

Menurut Giri, karya dan kiprah Kongso tidak hanya menunjukkan kualitas artistik yang tinggi, tetapi juga komitmen kuat dalam menjaga nilai-nilai budaya dan membangun ruang kreatif yang inklusif.

Giri menekankan bahwa pencapaian Kongso menjadi bukti bahwa kesenian memiliki peran strategis sebagai medium refleksi sosial, penguat identitas budaya, dan sarana dialog lintas generasi.

Seni, dalam tangan Kongso, tidak berhenti pada estetika, tetapi hadir sebagai praktik bermakna yang memberi dampak berkelanjutan bagi masyarakat.

Di Balik Panggung: Keluarga dan Keikhlasan

Pengabdian seumur hidup pada seni selalu memiliki sisi lain yang jarang disorot: keluarga. Mila Kongso, istri Kongso Sukoco, menyampaikan kesaksiannya dengan nada sederhana namun penuh keteguhan. “Menjadi istri seniman adalah bagaimana saya mencoba belajar ikhlas,” ujarnya.

Hidup bersama seniman, katanya, berarti siap bertukar peran, memahami pilihan-pilihan yang sering kali tidak mudah.

Bagi Mila, kesetiaan pada teater bukan hanya milik Kongso, tetapi juga menjadi proses bersama dalam rumah tangga. Mereka berusaha saling memahami, saling menopang, dan tetap kompak.

Baca Juga :  Peran Strategis BUMN dan Perguruan Tinggi dalam Akselerasi Pariwisata Berkelanjutan di NTB

Dukungan inilah yang membuat perjalanan panjang itu mungkin dijalani tanpa keluhan berlebihan. Dalam harapannya, Mila menyebut semoga teater ke depan semakin maju dan berjaya, terutama bagi mereka yang mendedikasikan hidupnya dengan tulus.

Kesaksian ini menegaskan bahwa pengabdian Kongso tidak berdiri sendiri. Ia bertumbuh dari relasi, dari kesediaan orang-orang terdekat untuk ikut menanggung sunyi dan risiko pilihan hidup seorang seniman.

Guru, Orang Tua, dan Kawan Dialog

Bagi Mantra Ardhana, seniman visual-poetry, Kongso Sukoco adalah lebih dari sekadar sutradara. Ia menyebut Kongso sebagai panutan semangat dalam mencipta, sekaligus figur orang tua dan teman dialog.

Dalam berbagai proses kolaborasi lintas disiplin, teater, musik, dan performans, Mantra merasakan bagaimana Kongso membuka ruang dialog yang setara.

“Ia tidak saja menjadi teman dialog kekaryaan,” kata Mantra, “saya menganggap ia menjadi figur orang tua saya, sekaligus teman.”

Dalam proses-proses itu, Mantra merasa menjadi bagian dari pertunjukan yang dikerjakan Kongso, bukan sekadar pelengkap. Karena itu, baginya, penghargaan ini sepantasnya ditempatkan pada Kongso sebagai pengakuan atas kerja kerasnya menempa generasi muda dalam proses kebudayaan bersama.

Pandangan Mantra menegaskan peran Kongso sebagai pendidik kultural. Ia tidak mengajar dengan ceramah, melainkan dengan keteladanan dan keterlibatan langsung dalam proses.

Bekerja untuk Kebudayaan di Tengah Zaman Cepat

Ahmad Syamsul Hadi, Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Lombok Tengah, memandang sosok Kongso dari sudut yang lebih luas. Di tengah perkembangan teknologi yang “terus berlari” dan lautan manusia yang kian padat, ia menilai sangat sukar menemukan pribadi yang bekerja secara berkelanjutan untuk kebudayaan.

“Mas Kongso adalah satu dari lautan manusia itu,” ujarnya, “yang secara paripurna mengabdikan diri dalam dunia yang menurut banyak pihak; teater itu adalah kegilaan.”

Pernyataan ini menggarisbawahi ironi yang sering dialami pekerja teater: dianggap tidak rasional, tidak menjanjikan secara ekonomi, bahkan eksentrik. Namun justru dalam “kegilaan” itulah Kongso menunjukkan rasionalitas lain: rasionalitas nilai, kesetiaan, dan tanggung jawab kultural.

Pilihan Hidup yang Tak Pernah Bergeser

Zaeni Mohammad, perupa dan penata estetika teater, menegaskan dedikasi Kongso sebagai sesuatu yang sulit dibantah. Hingga usia 65 tahun, hampir seluruh hidupnya tidak pernah bergeser dari pilihan hidupnya: teater. Bagi Zaeni, teater tidak hanya menjadi spirit hidup Kongso, tetapi benar-benar ia lakoni sampai hari ini.

Zaeni juga menyoroti sikap Kongso yang terbuka terhadap kritik. Ia rajin melontarkan apresiasi dengan analisis tajam, sekaligus sangat terbuka jika karyanya dikritik siapa pun. Sikap budaya yang longgar ini justru memperkaya penulisan naskah dan penyutradaraannya.

Keputusan Kongso mengundurkan diri dari status PNS di Dikbud NTB demi menekuni jalur kesenian menjadi penanda keberanian etik. Beberapa kali mencoba dunia bisnis, tetapi “semesta menyeret kembali ke dunia seni teater.”

Selama lebih dari tiga dekade, sejak 1989, Zaeni menyaksikan sendiri konsistensi itu. “Sangat sulit dicari pembanding sosok Kongso terkait dunia teater di era sekarang,” tegasnya.

Proses Panjang yang Tak Tertandingi

Ahmad Saleh Tabibuddin, pegiat teater Mataram, menyebut penghargaan ini sangat layak diberikan. Dengan durasi proses di panggung yang nyaris tak punya tandingan di NTB, Kongso hingga kini masih berproses bersama generasi baru—generasi yang secara usia sudah sepantasnya memanggilnya “Kakek”.

Baca Juga :  Gubernur NTB Buka Muswil Dekopin 2025: “Akhirnya Dekopin Ada Juga”

Bagi Ahmad Saleh, fakta bahwa Kongso masih aktif berlatih, menyutradarai, dan mendampingi proses teater lintas generasi adalah alasan kuat mengapa penghargaan seumur hidup ini tepat sasaran. Ia bukan hanya hidup di masa lalu kejayaannya, tetapi terus hadir dalam denyut kekinian teater.

Keteladanan dalam Disiplin Sehari-hari

Kesaksian datang pula dari generasi muda Bengkel Aktor Mataram. Bagus Maulana, aktor sekaligus anggota BAM, menyebut,  “Semangat Pakde Kongso di usia yang tak lagi muda sering kali “mengalahkan kami yang muda.” Dalam setiap latihan, Pakde Kongso selalu datang paling awal. Begitu pula, dalam setiap garapan baru, ia selalu paling bersemangat.”

Bagi Bagus, keteladanan itu memberi pelajaran penting: proses teater menuntut kehadiran total. Bukan sekadar bakat, tetapi disiplin, komitmen, dan kesediaan hadir sepenuhnya dalam latihan dan kerja kolektif.

Pengabdian yang Tak Pernah Setengah Hati

Dende Dilaa, aktris BAM, menyampaikan kesaksiannya dengan nada emosional. Ia menuliskan bagaimana Kongso dua kali menunda operasi demi pementasan, melewati drama proses, keringat tak terhitung, air mata yang disembunyikan, serta tawa yang menjadi bahan bakar.

“Pengabdian Pakde Kongso tak pernah setengah hati,” tulisnya.

Bagi Dende, penghargaan ini terasa seperti akhirnya ada mata yang benar-benar melihat kerja keras dan cinta yang ditanamkan Kongso untuk teater. Ia merasa bangga menjadi bagian kecil dari kisah panjang pengabdian itu.

Pelajaran Kemanusiaan di Tengah Kekurangan

Ingatan paling dramatik datang dari R. Eko Wahono, Teater Lho Indonesia. Ia mengenang peristiwa Temu Teater Solo 1993, ketika rombongan teater Mataram nyaris terdampar dan kelaparan. Uang menipis, kendaraan rusak, tidur berpindah-pindah di rumah kawan. Namun lakon Matinya Demung Sandhubaya tetap harus dipentaskan.

Dalam situasi itu, Kongso Sukoco sebagai sutradara tak henti memompa daya hidup. Latihan keras, berlari di bawah terik siang, dijalani tanpa keluhan.

Pelajaran terpenting, kata Eko, bukan soal teknik teater, melainkan bagaimana menjaga daya hidup, keberadaban, dan keberanian mengabarkan kebenaran di tengah hidup yang compang-camping.

Karena itu, bagi Eko, penghargaan tertinggi di teater yang kini diterima Kongso bukan soal usia atau lamanya berkarya, melainkan soal bagaimana ia menanamkan kesadaran kemanusiaan tanpa menggurui, dingin, bersahaja, dan membekas.

Lebih dari Seremoni

Penghargaan Pengabdian Seumur Hidup FTI 2025 kepada Kongso Sukoco pada akhirnya melampaui seremoni. Ia menjadi penanda nilai tentang kesetiaan, keberanian memilih jalan sunyi, dan komitmen merawat manusia melalui teater.

Dalam diri Kongso, teater hadir bukan sebagai alat popularitas, melainkan sebagai jalan hidup yang dijalani dengan etika.

Di tengah dunia yang bergerak cepat dan sering melupakan proses panjang, kisah Kongso Sukoco mengingatkan bahwa kesenian kerap diselamatkan oleh orang-orang yang bersedia berjalan perlahan, konsisten, dan setia.

Selama laku semacam ini masih ada, teater akan terus menemukan alasan untuk hidup, sebagai ruang kepekaan, kemanusiaan, dan kebenaran. (aks)

Penulis : aks

Editor : Ceraken Editor

Sumber Berita : Liputan

Berita Terkait

Menjaga Daya Hidup di Jalan Teater ala Kongso Sukoco
Lalu Anis Mujahid Akbar Terima “Pinangan” Peserta Muswil, Siap Pimpin Dekopinwil NTB
Laporan Muswil Dekopinwil NTB 2025: LPJ Diterima Aklamasi, Sinergi dengan Pemerintah Jadi Penegas Arah Baru
Gubernur NTB Buka Muswil Dekopin 2025: “Akhirnya Dekopin Ada Juga”
Peran Strategis BUMN dan Perguruan Tinggi dalam Akselerasi Pariwisata Berkelanjutan di NTB
Transition: Membaca Ruang Batin, Budaya, dan Perubahan dalam Perupa Lalu Syaukani
Dua Ulama Aswaja dalam Satu Panggung Tabligh Akbar di Lombok: TGB Zainul Majdi dan Ustad Abdul Somad
Gelar Turnamen Esport Super Seru, Hotel Aruna Senggigi Lombok Perluas Pangsa Pasar

Berita Terkait

Senin, 15 Desember 2025 - 08:46 WITA

Menjaga Daya Hidup di Jalan Teater ala Kongso Sukoco

Minggu, 14 Desember 2025 - 20:48 WITA

Pengabdian yang Dihidupi: Kongso Sukoco, Teater, dan Etika Kesetiaan

Rabu, 10 Desember 2025 - 14:23 WITA

Lalu Anis Mujahid Akbar Terima “Pinangan” Peserta Muswil, Siap Pimpin Dekopinwil NTB

Rabu, 10 Desember 2025 - 08:51 WITA

Laporan Muswil Dekopinwil NTB 2025: LPJ Diterima Aklamasi, Sinergi dengan Pemerintah Jadi Penegas Arah Baru

Selasa, 9 Desember 2025 - 17:24 WITA

Gubernur NTB Buka Muswil Dekopin 2025: “Akhirnya Dekopin Ada Juga”

Berita Terbaru

Apa yang mereka lakukan berangkat dari kesadaran sebagai manusia biasa  (Foto: ist)

AGENDA SOSIAL

Seni sebagai Kesaksian Zaman: Solidaritas dari Mataram untuk Sumatera

Selasa, 23 Des 2025 - 01:12 WITA

The Last Fruit mengandung metafora yang kuat. Ia terdengar sederhana, tetapi sekaligus menggetarkan (Foto: bp)

TOKOH & INSPIRASI

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Des 2025 - 20:32 WITA

Karya-karya Pak Kisid (kanan) hadir sebagai penanda bahwa seni tidak hanya berbicara tentang bentuk dan warna, tetapi juga tentang nilai dan tanggung jawab.(Foto: ist)

TOKOH & INSPIRASI

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Senin, 22 Des 2025 - 18:32 WITA

Dari Sumbawa, sebuah gagasan sedang dirajut: bahwa masa depan literasi daerah tidak harus gemerlap, tetapi harus berakar (foto: NR)

KEARIFAN LOKAL

Menggagas Perpustakaan Tematik: Jalan Sunyi Literasi dari Tana Samawa

Senin, 22 Des 2025 - 16:54 WITA

Dipsy Do tergolong band baru, lahir dari jam-jam sepulang kerja (Foto: Konser Lombok)

MUSIC & SHOW BIZZ

Dipsy Do di Soundrenaline 2025: Dari Mataram ke Pusat Hiruk-Pikuk Modernitas

Senin, 22 Des 2025 - 15:50 WITA