CERAKEN.ID – Galeri Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terasa berbeda. Selasa sore, 16 Desember 2025, ruang pamer dipenuhi denyut visual yang beragam, warna, tekstur, simbol, dan gagasan, yang seolah saling bersahutan. Pameran Karya Seni Rupa Mandalika Art Community (MAC) bertajuk “Resonansi” resmi dibuka oleh Lalu Syaukani, menandai perhelatan seni rupa yang bukan saja penting bagi komunitas perupa, tetapi juga menjadi bagian dari perayaan Hari Ulang Tahun ke-67 Provinsi NTB pada 17 Desember 2025.
Pameran ini akan berlangsung hingga 30 Desember 2025, menghadirkan karya dari 15 perupa anggota MAC.
“Resonansi” bukan sekadar agenda pameran rutin. Ia adalah peristiwa yang lama dinantikan. Sasih Gunalan, kurator pameran, menyebut bahwa gagasan ini telah lama dibayangkan, bahkan sejak Mandalika Art Community mulai terbentuk.
“Pameran ini digagas cukup lama. Teman-teman perupa MAC sudah lama membayangkannya, dan baru bisa tercapai tahun ini,” ujarnya.
MAC sendiri lahir sekitar tahun 2023, pasca kegiatan “Akselerasi”, sebagai respons atas kebutuhan ruang komunal bagi perupa di NTB. Inisiatif ini digerakkan oleh sejumlah nama, di antaranya Lalu Syaukani, Bambang Prasetya, dan kawan-kawan.
Berbeda dengan banyak komunitas seni yang berbasis kabupaten atau kota, MAC sejak awal dirancang sebagai wadah yang melampaui batas-batas administratif. Secara spasial, para perupanya berada di wilayah yang berbeda, namun disatukan oleh kebutuhan yang sama: ruang bertemu, berdialog, dan bertumbuh bersama.
“Pemikiran itu kemudian menjangkau keanggotaan yang cukup luas,” kata Sasih. MAC hadir sebagai ruang komunal seni rupa NTB dengan cakupan yang lebih besar.
Karena itu, pameran “Resonansi” menjadi tonggak penting: pameran perdana yang sepenuhnya diinisiasi dan diselenggarakan sendiri oleh MAC, setelah sebelumnya para perupanya sempat berpameran di Jakarta atas undangan Kementerian dalam ajang Art Movement.
Dalam konteks kuratorial, tema “Resonansi” dipilih dengan kesadaran akan keterbatasan waktu persiapan. Namun justru di situlah letak tantangannya. Sasih menilai tema ini cukup terbuka, baik secara gagasan maupun pendekatan artistik, sehingga mampu memacu para perupa untuk meresponsnya secara personal.
“Persiapannya memang cukup pendek, tetapi itu membuat teman-teman terpacu. Dan dengan waktu yang singkat itu, saya rasa kualitas karya sudah dipikirkan jauh-jauh sebelumnya,” ujarnya.
Sebagai kurator, Sasih memosisikan “Resonansi” sebagai bingkai untuk menjembatani karya-karya dengan publiknya. Tugas kuratorial tidak berhenti pada pemilihan karya, melainkan pada upaya merangkai percakapan: bagaimana karya-karya itu dibaca, dipahami, dan dirasakan oleh pengunjung.
Dalam pameran ini, resonansi dimaknai sebagai proses para perupa mengeja realitas di sekitarnya, membaca fenomena sosial, budaya, lingkungan, hingga tradisi, lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa visual.
Hasilnya adalah keragaman yang mencolok. Variasi tema dan teknik hadir berdampingan, menegaskan kekayaan potensi yang dimiliki MAC.
“Pembacaan-pembacaan itu bisa dilihat langsung di ruang pamer. Karakteristik karya cukup beragam,” ujar Sasih.
Keunikan lain terletak pada kekuatan individual setiap karya. Meski berada dalam satu tema payung, masing-masing perupa tetap tampil dengan suara dan pendekatannya sendiri.
Secara tematik, sejumlah karya menyinggung isu tradisi, lingkungan, dan berbagai persoalan lain yang oleh para perupanya dianggap memiliki “daya ganggu”, sesuatu yang mengusik kesadaran dan perlu dialihkan ke dalam medium seni.

Daya ganggu itulah yang kemudian memunculkan resonansi: antara pengalaman personal perupa dan realitas kolektif yang dihadapi masyarakat.
Sebelumnya, pada Senin, 15 Desember 2025, Ketua MAC Lalu Syaukani telah menegaskan bahwa “Resonansi” bukan sekadar penamaan tematik. Ia berangkat dari kesadaran mendasar bahwa setiap seniman memiliki suara, getaran, dan pengalaman hidup yang berbeda.
Ada tanah tempat mereka tumbuh, budaya yang membentuk karakter, serta zaman yang terus bergerak dan menuntut pembacaan ulang.
“Pameran bertajuk Resonansi ini hadir dari keyakinan kami yang sangat sederhana tetapi kuat,” ujar Lalu Syaukani. “Kami merespons suara maupun getaran dari ruang studio para perupa, lalu menimbulkan frekuensi yang saling bertautan dan membentuk resonansi bersama.”
Pernyataan itu terasa nyata di dalam ruang pamer. Karya-karya tidak berdiri sendiri sebagai objek visual, melainkan saling berkelindan, menciptakan dialog diam yang hidup. Di antara dinding galeri, resonansi itu menjelma sebagai pengalaman: antara perupa dan karyanya, antara karya dan penonton, serta antara seni dan konteks sosial-budaya NTB hari ini.
Dalam perayaan HUT NTB ke-67, pameran “Resonansi” menjadi penanda bahwa seni rupa bukan sekadar pelengkap seremoni. Ia adalah medium refleksi, ruang pertemuan gagasan, dan bukti bahwa komunitas seni di daerah terus bergerak, tumbuh, dan menemukan suaranya sendiri.
Mandalika Art Community, melalui pameran perdananya ini, seakan mengirimkan pesan: dari ruang-ruang studio yang tersebar, getaran itu kini bertemu, menyatu, dan beresonansi bersama publik. (aks)
Penulis : aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : Liputan































