CERAKEN.ID- Mataram – Festival Teater Indonesia (FTI) 2025 tidak hanya menghadirkan pementasan teater, tetapi juga ruang diskusi strategis bagi pembangunan kebudayaan. Pada Rabu, 10 Desember 2025, FTI menyelenggarakan Simposium Kebijakan Kebudayaan di Sanggar Tari Taman Budaya NTB, menghadirkan dua narasumber: Elisa Sutanudjaja dari Rujak Center for Urban Studies dan Adhar Hakim, Koordinator Tenaga Ahli Gubernur untuk Percepatan Pembangunan dan Penguatan Koordinasi. Simposium dipandu oleh moderator Naniek I. Taufan.
Simposium ini berangkat dari situasi aktual sektor seni pertunjukan di NTB—khususnya teater—yang masih terus berupaya memperkuat ekosistemnya. Tantangan yang mengemuka meliputi tata kelola infrastruktur budaya, keterhubungan antarprogram, hingga transparansi alokasi anggaran kebudayaan. Kondisi tersebut berdampak langsung pada kapasitas lembaga, pelaku, serta komunitas seni untuk membangun ekosistem yang inklusif dan berkelanjutan.
Dalam materinya bertajuk Kota dan Budaya, Elisa Sutanudjaja mengemukakan bahwa kota adalah ruang hidup yang menjadi arena interaksi antara masyarakat dengan sistem sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Di dalamnya terjadi tarik-menarik kepentingan dan pengaruh yang membentuk dinamika urban.
Elisa juga menjelaskan konsep “tempat” sebagai ruang yang dihuni serta dihargai warga karena makna sosial, budaya, dan emosional yang terbangun melalui praktik sosial yang berulang dan keterikatan kolektif. Ia menekankan bahwa budaya tidak lahir terutama dari gedung budaya, melainkan dari kondisi kerja yang memungkinkan praktik budaya berlangsung secara konsisten.
Melalui gagasan “ramah kantong, ramah publik”, Elisa menawarkan sejumlah rekomendasi kebijakan:
- Kebijakan perlu bergeser dari penyediaan ruang pertunjukan ke penyediaan ruang proses.
- Ruang proses tidak wajib representatif secara visual.
- Pemerintah daerah maupun sektor privat dapat mengoptimalkan ruang publik yang belum dimanfaatkan.
- Kelayakan ruang budaya sebaiknya menekankan fungsi kerja, bukan sekadar estetika atau citra kota.
- Stabilitas ruang proses jauh lebih menentukan keberlanjutan praktik budaya daripada frekuensi acara atau festival.
Narasumber kedua, Adhar Hakim, membawakan materi bertajuk Kebijakan Pemajuan Kebudayaan di NTB. Ia menguraikan kerangka hukum dan misi pembangunan kebudayaan daerah, mulai dari UU No. 5/2017 hingga Perda No. 16/2021 dan Pergub No. 83/2022 tentang Dewan Kebudayaan Daerah NTB.
Adhar menegaskan bahwa misi pembangunan NTB menempatkan seni budaya sebagai pilar penting, sejalan dengan arah RPJMD 2025–2029 yang menargetkan peningkatan indeks literasi, ekspresi budaya, warisan budaya, dan ekonomi budaya pada 2026.
Ia juga memaparkan klaster ekosistem budaya yang mencakup komunitas, kreativitas, serta akar kehidupan, sekaligus mengidentifikasi beberapa persoalan utama:
- Ekosistem budaya yang masih lemah.
- Akses yang belum merata bagi pelaku seni tradisi.
- Ketimpangan infrastruktur budaya.
- Minimnya keberpihakan sektor pendidikan pada isu kebudayaan.
- Perlunya penguatan riset dan pendokumentasian budaya.
Adhar menekankan peran strategis Dinas Kebudayaan NTB sebagai “mesin penggerak” pemajuan kebudayaan melalui program perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan.
Ia turut memaparkan rencana kegiatan 2026 yang mencakup penetapan cagar budaya, pendokumentasian warisan budaya tak benda, rekonstruksi tari, revitalisasi Taman Budaya, diplomasi budaya, pembangunan museum tematik, serta pengembangan pusat studi kebudayaan.
Rumusan Simposium
Setelah berlangsung selama sekitar dua setengah jam, moderator Naniek I. Taufan menutup simposium dengan menyampaikan sejumlah poin kesimpulan:
- Tata kelola infrastruktur budaya menjadi kunci agar fasilitas yang ada dapat berfungsi secara maksimal.
- Perencanaan pembangunan serta distribusi infrastruktur kebudayaan perlu dilakukan secara partisipatif, berkelanjutan, dan sesuai kebutuhan komunitas.
- Perlu dorongan kuat terhadap keterbukaan anggaran kebudayaan, mulai dari alokasi, penggunaan, hingga pelaporan, untuk memastikan akuntabilitas serta mencegah potensi penyalahgunaan.
Simposium ini memperlihatkan bahwa pembangunan kebudayaan, khususnya di NTB, memerlukan kolaborasi erat antara pemerintah, komunitas, dan masyarakat. FTI 2025 tidak hanya menjadi ruang ekspresi, tetapi juga ruang perumusan arah kebijakan yang lebih berpihak pada keberlanjutan praktik budaya di tingkat lokal. (Aks)
Penulis : Aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : Liputan































