Simposium Kebijakan Kebudayaan Warnai Rangkaian Festival Teater Indonesia 2025 di NTB

Kamis, 11 Desember 2025 - 13:10 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

(kiri-kanan): Adhar Hakim, Naniek I. Taufan, dan Elisa Sutanudjaja. Simposium ini memperlihatkan bahwa pembangunan kebudayaan, khususnya di NTB, memerlukan kolaborasi erat antara pemerintah, komunitas, dan masyarakat (Foto: Aks)

(kiri-kanan): Adhar Hakim, Naniek I. Taufan, dan Elisa Sutanudjaja. Simposium ini memperlihatkan bahwa pembangunan kebudayaan, khususnya di NTB, memerlukan kolaborasi erat antara pemerintah, komunitas, dan masyarakat (Foto: Aks)

CERAKEN.ID- Mataram – Festival Teater Indonesia (FTI) 2025 tidak hanya menghadirkan pementasan teater, tetapi juga ruang diskusi strategis bagi pembangunan kebudayaan. Pada Rabu, 10 Desember 2025, FTI menyelenggarakan Simposium Kebijakan Kebudayaan di Sanggar Tari Taman Budaya NTB, menghadirkan dua narasumber: Elisa Sutanudjaja dari Rujak Center for Urban Studies dan Adhar Hakim, Koordinator Tenaga Ahli Gubernur untuk Percepatan Pembangunan dan Penguatan Koordinasi. Simposium dipandu oleh moderator Naniek I. Taufan.

Simposium ini berangkat dari situasi aktual sektor seni pertunjukan di NTB—khususnya teater—yang masih terus berupaya memperkuat ekosistemnya. Tantangan yang mengemuka meliputi tata kelola infrastruktur budaya, keterhubungan antarprogram, hingga transparansi alokasi anggaran kebudayaan. Kondisi tersebut berdampak langsung pada kapasitas lembaga, pelaku, serta komunitas seni untuk membangun ekosistem yang inklusif dan berkelanjutan.

Dalam materinya bertajuk Kota dan Budaya, Elisa Sutanudjaja mengemukakan bahwa kota adalah ruang hidup yang menjadi arena interaksi antara masyarakat dengan sistem sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Di dalamnya terjadi tarik-menarik kepentingan dan pengaruh yang membentuk dinamika urban.

Elisa juga menjelaskan konsep “tempat” sebagai ruang yang dihuni serta dihargai warga karena makna sosial, budaya, dan emosional yang terbangun melalui praktik sosial yang berulang dan keterikatan kolektif. Ia menekankan bahwa budaya tidak lahir terutama dari gedung budaya, melainkan dari kondisi kerja yang memungkinkan praktik budaya berlangsung secara konsisten.

Baca Juga :  Resonansi: Getaran Seni Rupa Mandalika Menyambut HUT NTB ke-67

Melalui gagasan “ramah kantong, ramah publik”, Elisa menawarkan sejumlah rekomendasi kebijakan:

  • Kebijakan perlu bergeser dari penyediaan ruang pertunjukan ke penyediaan ruang proses.
  • Ruang proses tidak wajib representatif secara visual.
  • Pemerintah daerah maupun sektor privat dapat mengoptimalkan ruang publik yang belum dimanfaatkan.
  • Kelayakan ruang budaya sebaiknya menekankan fungsi kerja, bukan sekadar estetika atau citra kota.
  • Stabilitas ruang proses jauh lebih menentukan keberlanjutan praktik budaya daripada frekuensi acara atau festival.

Narasumber kedua, Adhar Hakim, membawakan materi bertajuk Kebijakan Pemajuan Kebudayaan di NTB. Ia menguraikan kerangka hukum dan misi pembangunan kebudayaan daerah, mulai dari UU No. 5/2017 hingga Perda No. 16/2021 dan Pergub No. 83/2022 tentang Dewan Kebudayaan Daerah NTB.

Adhar menegaskan bahwa misi pembangunan NTB menempatkan seni budaya sebagai pilar penting, sejalan dengan arah RPJMD 2025–2029 yang menargetkan peningkatan indeks literasi, ekspresi budaya, warisan budaya, dan ekonomi budaya pada 2026.

Ia juga memaparkan klaster ekosistem budaya yang mencakup komunitas, kreativitas, serta akar kehidupan, sekaligus mengidentifikasi beberapa persoalan utama:

  1. Ekosistem budaya yang masih lemah.
  2. Akses yang belum merata bagi pelaku seni tradisi.
  3. Ketimpangan infrastruktur budaya.
  4. Minimnya keberpihakan sektor pendidikan pada isu kebudayaan.
  5. Perlunya penguatan riset dan pendokumentasian budaya.
Baca Juga :  Kearifan Lokal dalam Arus Global: Sebuah Refleksi

Adhar menekankan peran strategis Dinas Kebudayaan NTB sebagai “mesin penggerak” pemajuan kebudayaan melalui program perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan.

Ia turut memaparkan rencana kegiatan 2026 yang mencakup penetapan cagar budaya, pendokumentasian warisan budaya tak benda, rekonstruksi tari, revitalisasi Taman Budaya, diplomasi budaya, pembangunan museum tematik, serta pengembangan pusat studi kebudayaan.

Rumusan Simposium

Setelah berlangsung selama sekitar dua setengah jam, moderator Naniek I. Taufan menutup simposium dengan menyampaikan sejumlah poin kesimpulan:

  1. Tata kelola infrastruktur budaya menjadi kunci agar fasilitas yang ada dapat berfungsi secara maksimal.
  2. Perencanaan pembangunan serta distribusi infrastruktur kebudayaan perlu dilakukan secara partisipatif, berkelanjutan, dan sesuai kebutuhan komunitas.
  3. Perlu dorongan kuat terhadap keterbukaan anggaran kebudayaan, mulai dari alokasi, penggunaan, hingga pelaporan, untuk memastikan akuntabilitas serta mencegah potensi penyalahgunaan.

Simposium ini memperlihatkan bahwa pembangunan kebudayaan, khususnya di NTB, memerlukan kolaborasi erat antara pemerintah, komunitas, dan masyarakat. FTI 2025 tidak hanya menjadi ruang ekspresi, tetapi juga ruang perumusan arah kebijakan yang lebih berpihak pada keberlanjutan praktik budaya di tingkat lokal. (Aks)

Penulis : Aks

Editor : Ceraken Editor

Sumber Berita : Liputan

Berita Terkait

Dari Benang ke Panggung Budaya: Gelar Wastra Dekranasda NTB Hidupkan Tenun Dua Pulau
Kembalinya Senyum Dewi Rengganis: Wayang Sasak Menjaga Wastra dan Ingatan Budaya
“Melet Bedait”: Ratapan Lama dalam Napas Baru Lombok Ethno Fusion
Resonansi yang Menyatu: Pameran Perdana Mandalika Art Community di Taman Budaya NTB
Resonansi: Getaran Seni Rupa Mandalika Menyambut HUT NTB ke-67
Kongso Sukoco: Kesetiaan yang Melawan Ekosistem
Menjadikan Kebudayaan sebagai Isu Utama
Lakon Borka 2025: Adaptasi “Belfegor” Karya Kiki Sulistyo

Berita Terkait

Sabtu, 20 Desember 2025 - 12:10 WITA

Kembalinya Senyum Dewi Rengganis: Wayang Sasak Menjaga Wastra dan Ingatan Budaya

Sabtu, 20 Desember 2025 - 09:25 WITA

“Melet Bedait”: Ratapan Lama dalam Napas Baru Lombok Ethno Fusion

Rabu, 17 Desember 2025 - 08:19 WITA

Resonansi yang Menyatu: Pameran Perdana Mandalika Art Community di Taman Budaya NTB

Senin, 15 Desember 2025 - 11:27 WITA

Resonansi: Getaran Seni Rupa Mandalika Menyambut HUT NTB ke-67

Minggu, 14 Desember 2025 - 20:17 WITA

Kongso Sukoco: Kesetiaan yang Melawan Ekosistem

Berita Terbaru

Apa yang mereka lakukan berangkat dari kesadaran sebagai manusia biasa  (Foto: ist)

AGENDA SOSIAL

Seni sebagai Kesaksian Zaman: Solidaritas dari Mataram untuk Sumatera

Selasa, 23 Des 2025 - 01:12 WITA

The Last Fruit mengandung metafora yang kuat. Ia terdengar sederhana, tetapi sekaligus menggetarkan (Foto: bp)

TOKOH & INSPIRASI

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Des 2025 - 20:32 WITA

Karya-karya Pak Kisid (kanan) hadir sebagai penanda bahwa seni tidak hanya berbicara tentang bentuk dan warna, tetapi juga tentang nilai dan tanggung jawab.(Foto: ist)

TOKOH & INSPIRASI

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Senin, 22 Des 2025 - 18:32 WITA

Dari Sumbawa, sebuah gagasan sedang dirajut: bahwa masa depan literasi daerah tidak harus gemerlap, tetapi harus berakar (foto: NR)

KEARIFAN LOKAL

Menggagas Perpustakaan Tematik: Jalan Sunyi Literasi dari Tana Samawa

Senin, 22 Des 2025 - 16:54 WITA

Dipsy Do tergolong band baru, lahir dari jam-jam sepulang kerja (Foto: Konser Lombok)

MUSIC & SHOW BIZZ

Dipsy Do di Soundrenaline 2025: Dari Mataram ke Pusat Hiruk-Pikuk Modernitas

Senin, 22 Des 2025 - 15:50 WITA