Pengukuran diri merupakan suatu proses penting dalam pengembangan pribadi. Salah satu parameter yang dapat digunakan dalam mengukur diri adalah perilaku yang kita tunjukkan. Namun, perilaku tersebut tidak dapat dilepaskan dari dasar pemikiran yang membentuknya. Manusia berpikir dan bertindak sesuai dengan isi pikirannya. Jika pikiran kita dipenuhi dengan hal-hal baik dan positif, maka kita cenderung menghubungkan setiap situasi dengan kebaikan dan hal yang positif, seperti harapan, kebaikan, dan kepercayaan, maka cenderung kita akan melihat segala sesuatu di sekitar kita dengan sudut pandang yang optimis. Dalam situasi yang sulit pun, kita mungkin akan mencoba mencari sisi positif dan solusi yang membangun.
Sebaliknya, jika pikiran kita dipenuhi dengan hal-hal negatif, maka kita cenderung menghubungkan segala sesuatu dengan ketidakbaikan dan hal yang negatif, seperti ketakutan, kebencian, atau keraguan diri, maka cenderung kita akan menafsirkan setiap situasi dengan lapisan negativitas. Kita mungkin akan lebih mudah terpengaruh oleh pesimisme, mencari kesalahan, atau bahkan menyalahkan diri sendiri atau orang lain atas kesulitan yang muncul.
Dalam pengukuran diri, pemahaman seperti apa yang teruraikan di atas sangat penting. Kita harus terus menumbuhkan kesadaran bahwa perilaku kita adalah hasil dari bagaimana kita memproses informasi dan pengalaman melalui pikiran kita. Oleh karena itu, untuk mengembangkan diri secara positif, penting bagi kita untuk memperhatikan tidak hanya perilaku, tetapi juga pemikiran kita.
Dengan menyadari hubungan antara pemikiran dan perilaku, kita dapat lebih bertanggung jawab dalam mengelola pikiran-pikiran kita. Ini bisa melibatkan praktik-praktik seperti pengembangan pola pikir yang optimis, menghindari pemikiran negatif yang tidak produktif, serta mencari cara untuk membentuk pola pikir yang lebih seimbang dan konstruktif.
Salah satu upaya untuk mengelola pemikiran kita adalah melalui puasa. Puasa, sebagai bentuk pengendalian diri, merupakan sarana untuk mengelola prasangka. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus meningkatkan kualitas puasa kita dengan terus belajar menghilangkan prasangka buruk terhadap orang lain. Prasangka buruk kita terhadap orang lain mencerminkan bahwa kita mungkin memiliki perilaku yang kurang baik, yang tentunya harus diperbaiki. Kesadaran yang dihasilkan dari puasa seharusnya mendorong kita untuk introspeksi diri, mengenali dan memperbaiki segala bentuk penyimpangan dalam berinteraksi sosial, dalam lingkup keluarga, maupun dalam aspek keagamaan.
Pada dasarnya kita sebagai manusia memang tidak sempurna. Oleh karena itu, puasa bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga merupakan peluang untuk membentuk diri menjadi pribadi yang lebih baik. Melalui proses puasa, kita terus berlatih untuk lebih jujur dalam mengukur diri sendiri, menyadari kelemahan dan kesalahan yang mungkin kita miliki, serta berkomitmen untuk terus melakukan perbaikan diri secara konsisten.
Dengan demikian, puasa bukan hanya menjadi “kewajiban agama” semata, tetapi juga menjadi sarana untuk pembentukan karakter dan peningkatan kesadaran diri yang lebih mendalam.
Penulis : Cukup Wibowo