Kita tak ubahnya ambivalensi yang bergerak oleh perasaan yang saling bertentangan, antara ketaatan di satu sisi dan pengingkaran di sisi lainnya. Ambivalensi adalah sebuah fenomena psikologis yang merujuk pada perasaan yang saling bertentangan atau konflik dalam diri seseorang. Hal ini menjadikan diri kita terjebak di antara dua pilihan atau perasaan yang berlawanan, seperti antara ketaatan dan pengingkaran, atau antara rasa ketakutan dan berpengharapan.
Ambivalensi sering kali muncul dalam berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali dalam hubungan dengan spiritualitas dan keagamaan, seperti yang kita rasakan dan jalani proses puasa di bulan Ramadan saat ini.
Jauh sebelum Ramadan tiba kita begitu merindukan kehadirannya, tapi saat kita berada di tengah Ramadan tak jarang kita abaikan detil-detil kemuliaan yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana seseorang mungkin memiliki keinginan yang kuat untuk berbuat baik dan taat kepada aturan agama, namun dalam kenyataannya mereka tidak mampu mempraktikkan ajaran-ajaran tersebut dengan sepenuh hati.
Dalam kehidupan sehari-hari, ambivalensi dapat tercermin dalam diri seseorang dalam wujud perasaan tidak konsisten atau dalam tindakan yang tidak konsisten dengan nilai-nilai yang diyakininya sendiri. Sebagai contoh, seseorang mungkin berharap untuk menjadi lebih baik dan melakukan perbuatan baik, tetapi pada saat yang sama mereka mungkin tergoda atau terjerumus ke dalam kebiasaan atau perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.
Ambivalensi juga dapat memengaruhi tingkat mental seseorang. Misalnya, seseorang yang memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap sesuatu yang pada gilirannya bisa menimbulkan kecemasan dan kepanikan. Pada sisi sebaliknya, seseorang yang memiliki harapan yang terlalu tinggi namun tidak menyadari realitas yang bisa dicapainya, akan mungkin terjebak dalam ambisi yang berlebihan yang menjadikannya terpaku pada impian yang tidak realistis.
Bila dikaitkan dengan nilai-nilai dan praktek yang diajarkan dalam agama, ambivalensi dapat mengacu pada konflik antara nafsu duniawi dan keinginan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Seseorang mungkin merasa tertarik pada kesenangan duniawi namun juga merasa bersalah karena meninggalkan kewajiban spiritualnya.
Dalam ajaran Islam, puasa dalam bulan Ramadan memiliki makna yang mendalam dan bertujuan untuk mengajarkan umat Muslim tentang banyak hal, termasuk tentang kontrol diri, ketekunan, pengendalian nafsu, dan peningkatan ketakwaan kepada Allah SWT. Puasa tidak hanya sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hubungan intim selama masa puasa yakni dari waktu subuh hingga tibanya waktu magrib, tetapi juga merupakan sebuah latihan spiritual yang mengajarkan umat Muslim untuk mengendalikan dorongan-dorongan duniawi mereka.
Melalui pengalaman berpuasa, kita sebagai umat Muslim berharap dapat mencapai kesatuan dalam hati dan pikiran kita, mengatasi ambivalensi, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Puasa menjadi sebuah sarana untuk membersihkan jiwa dan menyucikan hati dari perasaan-perasaan yang merusak atau menghalangi hubungan kita dengan-Nya. Dengan demikian, puasa Ramadan bukan hanya sekadar kewajiban ritual, tetapi juga sebuah kesempatan bagi yang menjalaninya untuk menumbuhkan spiritualitas dirinya secara lebih baik.
Momentum Ramadan adalah waktu yang berharga bagi kita sebagai umat Muslim untuk merenungkan, memperbaiki diri, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga dapat mengatasi ambivalensi dalam diri kita guna mencapai keselarasan antara hati dan pikiran kita dalam menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran agama. Insyaallah.**
Penulis : Cukup Wibowo