Oleh: H. Nuriadi Sayip
CERAKEN.ID- Sebuah konsep yang disampaikan oleh salah seorang fulsuf Yunani, Epikuros, adalah Ataraxia. Yaitu, istilah dan konsep yang mengacu pada sebuah keadaan bathin seseorang yang tenang, damai, tidak menutut apa-apa, mau menerima apa adanya, serta tidak hendak menghakimi pendapat seseorang secara terburu-buru dan sebagainya.
Konsep ini tampaknya akan muncul ketika seseorang telah melewati fase-fase kehidupan yang panjang, berliku, melelahkan, dan menyakitkan. Keadaan psikologis yang sudah menuju kematangan, kedewasaan, dan bahkan kondisi yang merasa sudah selesai dengan diri.
Dalam konteks ini, yang lebih dominan dalam diri orang yang selevel kondisi ataraxia adalah mereka yang lebih mengedepankan kekuatan bathinnya, bukan kekuatan akal pikirannya. Adalah mereka yang memandang bahwa dunia ini hanya sebatas “mampir ngombe” semata.
Adalah mereka yang sudah lebih perduli pada kenyamanan diri dan kesyukuran pada segala hal yang sudah tergapai. Adalah mereka yang sudah tidak lagi silau dengan pujian dan hujatan orang. Yang utama adalah hidup ini hanyalah mengabdi untuk keluarga dan kehambaan pada Yang Kuasa.
Lalu bagaimana cara untuk bisa mencapai kondisi ataraxia? Menurut saya, cara yang paling penting menjalani hidup untuk bisa mencapai itu adalah jalanilah hidup ini dengan mengalir saja dan jadilah orang yang autentik saja.
Dalam hal ini, menjadi autentik dengan sikap hidup dan mengalir saja, merupakan pandangan hidup yang menghargai diri sendiri dengan eklektika prinsip yang sebelumnya ditanamkan orang tua atau orang yang digugu.
Selain itu, cara yang lain adalah mungkin seseorang perlu kiranya melakukan semedi, tapa, atau berkholwat dalam kurun waktu tertentu hingga mendapatkan pencerahan berupa wahyu ataupun ilham layaknya seperti meski tidak setingkat, seperti model kholwat Nabi Muhammad, atau seperti model tapanya sosok Sidharta Gautama, ataupun mungkin seperti sosok pencarian tanpa hentinya George Fox.
Dalam kholwat atau semedi atau pencarian tanpa henti itu bathin dan pikiran mereka berjalan hidup sebegitu selarasnya untuk merenungi dan memaknai hakikat hidup. Merekalah sosok-sosok yang menjadi contoh figur di dunia ini dalam mencapai ketenangan jiwa yang hakiki.
Bahkan dalam pandangan saya untuk mencapai titik atarexia itu bisa juga melalui konsistensi berkarya dalam tempo yang panjang. Konsistensi yang panjang adalah proses tempaan dan pertapaan dirinya. Hal ini dikarenakan dengan karya-karya yang diisi oleh pandangan hidup sendiri.
Dalam hal ini ia harus kuat dan mampu menghadapi dan melampaui situasi-situasi tatkala mendapati hujatan keras atau pujian. Setelah malampaui ini seseorang itu akhirnya bisa menjadikan semua proses yang telah dilewatinya sebagai wahana untuk mencapai titik ataraxia atau ketenangan jiwa.
Ujung-ujungnya kondisi rasa yang didapati adalah: pasrah atau rasa “khalas” atau rasa yang sudah selesai dengan dirinya. Ketika kondisi jiwa berupa rasa selesai dan kepasrahan sudah dicapai, maka segala kejadian di dunia ini hanyalah pola hidup yang biasa-biasa dan alamiah semata. Dia akan mensikapinya dengan senyum saja.
Tidak kagetan, tidak pula gumunan. Yang keluar dari dirinya adalah bahasa-bahasa kebijaksanaan. Orang seperti inilah adalah guru hidup yang sejati.
Salam Ataraxia, Kawans
Rahayu 🙏🙏
Mataram, 12 Desember 2025
Penulis : Aks
Editor : Ceraken Editor































