Catatan Agus K Saputra
CERAKEN.ID- Pukul 10.37 Wita, 5 Agustus 2025. Angka-angka waktu itu terasa remeh, namun justru di sanalah perjumpaan sering menemukan maknanya: singkat, padat, dan meninggalkan gema yang panjang.
Saya bertemu Prof. Dr. H. Nuriadi Sayip, M.Hum, Guru Besar FKIP Universitas Mataram, dalam sebuah momen yang tak direncanakan untuk menjadi besar, tetapi ternyata cukup luas untuk menampung percakapan tentang tiga jalan yang kerap dipertentangkan sekaligus dirindukan: logika, keyakinan, dan sufisme.
Perjumpaan itu bukan seminar, bukan kuliah umum, apalagi mimbar ceramah. Ia hadir sebagai obrolan yang cair, nyaris tanpa pretensi, namun justru karena itulah ia bekerja seperti air: meresap. Prof. Nuriadi berbicara dengan tenang, sebagaimana seseorang yang tak terburu-buru membuktikan apa pun.
Barangkali itulah pelajaran pertama: pengetahuan yang matang tidak memerlukan suara tinggi. Ia cukup hadir, lalu mengajak berpikir.
Logika dan Keyakinan: Dua Jalan yang Sering Disalahpahami
Pembahasan mula-mula menyentuh relasi logika dan keyakinan. Dua istilah yang kerap dipertentangkan seolah berada di kubu yang tak mungkin berdamai.
Logika dianggap dingin, rasional, dan kerap dicurigai menggerus iman. Sementara keyakinan dipandang sebagai wilayah batin, melampaui nalar, dan karena itu dianggap tak perlu diuji.
Prof. Nuriadi justru memulai dari kebalikannya. “Logika,” katanya pelan, “bukan musuh keyakinan. Ia alat untuk merawatnya.” Kalimat itu menggugurkan banyak prasangka.
Logika, dalam pandangannya, adalah cara manusia menata pengalaman agar tak terjerumus pada kekacauan tafsir. Keyakinan yang menolak logika bukanlah iman yang kuat, melainkan iman yang rapuh, mudah digoyahkan karena tak pernah diuji.
Dalam sejarah pemikiran Islam, kita mengenal tradisi panjang dialektika antara akal dan iman. Para teolog, filsuf, hingga ulama klasik, tak pernah benar-benar memisahkan keduanya.
Logika dipakai untuk memahami wahyu, bukan menggantikannya. Keyakinan memberi arah, logika memastikan langkah.
Di titik ini, perjumpaan itu terasa seperti ajakan untuk kembali jujur pada proses berpikir. Bahwa mempercayai sesuatu tidak berarti berhenti bertanya.
Sebaliknya, bertanya adalah bentuk tanggung jawab moral terhadap apa yang kita yakini. Logika menuntun kita agar keyakinan tidak jatuh menjadi dogma kosong, sementara keyakinan menjaga logika agar tak berubah menjadi kesombongan intelektual.
Sufisme dan Logika: Ketika Akal Belajar Rendah Hati
Percakapan kemudian bergeser pada hubungan yang lebih jarang dibahas dengan jernih: sufisme dan logika. Sufisme sering dipahami sebagai wilayah rasa, intuisi, dan pengalaman batin yang tak terkatakan. Logika, sebaliknya, bekerja dengan bahasa, konsep, dan struktur. Lalu di mana keduanya bertemu?
Menurut Prof. Nuriadi, sufisme tidak meniadakan logika, melainkan melampauinya. “Logika itu seperti peta,” ujarnya. “Ia membantu kita berjalan, tapi bukan tujuan perjalanan.”
Dalam tasawuf, akal dipakai sampai batasnya, lalu disadari keterbatasannya. Kesadaran akan batas inilah yang melahirkan kerendahan hati intelektual.
Para sufi besar tidak anti-akal. Mereka justru sangat disiplin dalam berpikir. Namun mereka tahu, ada wilayah pengalaman manusia yang tak sepenuhnya bisa diringkus oleh rumus dan definisi.
Cinta, misalnya. Kita bisa menjelaskannya secara biologis, psikologis, atau sosiologis, tetapi pengalaman mencintai tetap menyimpan misteri. Begitu pula pengalaman ketuhanan dalam sufisme.
Di sinilah logika menemukan fungsi etiknya: mengantar, bukan menguasai. Ia membuka pintu, lalu membiarkan pengalaman batin melangkah lebih jauh.
Sufisme mengajarkan bahwa akal yang matang adalah akal yang tahu kapan harus diam. Bukan karena kalah, melainkan karena paham batas dirinya.
Perjumpaan singkat itu membuat saya menyadari bahwa problem kita hari ini bukanlah kekurangan logika atau spiritualitas, melainkan kegagalan menempatkan keduanya secara proporsional.
Kita sering terjebak pada ekstrem: rasionalisme kering yang kehilangan rasa, atau spiritualisme liar yang kehilangan arah. Sufisme dan logika, dalam perjumpaan ini, justru saling menegaskan.
Sufisme dan Keyakinan: Iman yang Dihidupkan
Varian ketiga—sufisme dan keyakinan—menjadi semacam muara. Jika logika merawat keyakinan dan sufisme melampaui logika, maka sufisme juga menghidupkan keyakinan. Ia membuat iman tidak berhenti sebagai pernyataan lisan atau identitas sosial, tetapi menjadi pengalaman eksistensial.
Prof. Nuriadi menyinggung bagaimana keyakinan sering kali terjebak pada formalitas: benar-salah, halal-haram, surga-neraka. Semua itu penting, namun tanpa kedalaman batin, ia mudah berubah menjadi administrasi moral.
Sufisme hadir untuk mengembalikan ruhnya: kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam keseharian, dalam kerja, dalam relasi dengan sesama.
Keyakinan, dalam perspektif sufistik, bukan sekadar apa yang kita akui, tetapi bagaimana pengakuan itu mengubah cara kita hidup.
Apakah ia membuat kita lebih rendah hati? Lebih welas asih? Lebih jujur pada diri sendiri? Jika tidak, barangkali keyakinan itu belum benar-benar turun ke hati.
Di titik ini, perjumpaan tersebut terasa seperti cermin. Ia memantulkan pertanyaan-pertanyaan yang tak dijawab secara langsung, namun justru karena itu mengendap lebih lama.
Sufisme tidak menawarkan jawaban instan, melainkan proses panjang pendalaman diri. Ia mengajak kita berdamai dengan ketidaksempurnaan, sambil terus bergerak menuju kebaikan.
Jalan yang Mengundang Perbaikan Diri
Tiga jalan, logika, keyakinan, dan sufisme, dalam perjumpaan itu tidak hadir sebagai sistem tertutup, melainkan sebagai undangan. Undangan untuk menjadi pribadi yang lebih utuh. Logika mengasah kejernihan berpikir, keyakinan memberi orientasi hidup, dan sufisme memperdalam makna keberadaan.
Ajakan ini terasa relevan di tengah dunia yang bising oleh klaim kebenaran dan pertarungan identitas. Kita kerap lupa bahwa tujuan akhir dari pengetahuan dan spiritualitas bukanlah kemenangan argumen, melainkan perbaikan diri. Menjadi manusia yang lebih sadar, lebih bertanggung jawab, dan lebih berbelas kasih.
Perjumpaan singkat pada pukul 10.37 Wita itu mungkin tak akan tercatat dalam agenda resmi apa pun. Namun ia bekerja seperti benih: kecil, nyaris tak terlihat, tetapi berpotensi tumbuh.
Ia mengingatkan bahwa memahami diri sendiri, dunia sekitar, dan spiritualitas bukanlah proyek sekali jadi. Ia adalah perjalanan seumur hidup, dengan logika sebagai penunjuk arah, keyakinan sebagai kompas, dan sufisme sebagai kedalaman langkah.
Dan barangkali, di situlah makna sejati perjumpaan itu: bukan pada lamanya waktu, melainkan pada luasnya jalan yang ia buka.
#Akuair-Ampenan, 16 Desember 2025
Penulis : Aks
Editor : Ceraken Editor































