Kita sering kali menyaksikan kematian dalam kehidupan sehari-hari. Baik sebagai pengalaman langsung seperti kematian orang terdekat, atau melalui berita, media sosial, atau pengalaman lainnya. Meskipun begitu, kita kerap kali tidak memperhatikan secara mendalam implikasi dari kematian itu sendiri. Kita mungkin cenderung mengabaikan hal tersebut dan menjalani hidup tanpa merenungkan makna dari kematian itu sendiri.
Karena itu menjadi penting untuk melakukan muhasabah diri, yakni proses introspeksi dan refleksi diri atas kematian. Muhasabah diri akan membuat kita makin mengerti secara mendalam tentang makna hidup, tujuan hidup, serta persiapan untuk menghadapi kematian itu sendiri.
Kenyataan yang menggambarkan bahwa tubuh manusia, yang mungkin pernah membanggakan diri dengan berbagai identitas dan atribut seperti kekayaan, kekuasaan, atau prestise sosial, pada akhirnya akan mengalami perubahan drastis setelah meninggal. Identitas yang pernah disandang saat hidup akan hilang, dan semua manusia, tanpa kecuali, akan mengalami akhir yang sama, yakni menjadi jasad yang membusuk.
Tubuh manusia yang pada saat hidup mungkin pernah dianggap sebagai lambang kekuatan, kekayaan, atau kebesaran, setelah kematian hanya akan menjadi santapan bagi cacing tanah dan belatung. Ini kian menegaskan bahwa apa pun kebesaran atau kekuasaan yang dimiliki seseorang dalam kehidupan dunia akan lenyap ketika tubuhnya terurai usai terkubur.
Kematian sebagai sesuatu yang meniscaya adalah kisah yang tak bisa dihindarkan oleh setiap manusia. Kematian adalah bagian dari siklus kehidupan yang tak dapat dihindari oleh siapapun. Seperti roda waktu yang tak berujung, peristiwa demi peristiwa akan terus berlangsung. Namun, terkadang kita terlalu sibuk untuk melakukan perenungan. Kita melihat, tetapi tidak merenungkan atas makna di baliknya. Bayangkan, suatu hari, tubuh yang dulu menawan dan menarik untuk dipandang, akhirnya hanya menjadi sumber makanan bagi cacing tanah dan belatung yang menjijikkan. Identitas dan kebanggaan yang disandang semasa hidup tiba-tiba menguap laksana kabut di pagi hari.
Seseorang yang dulu sombong dan meremehkan orang lain, sekarang hanya tinggal kenangan. Tubuhnya yang dulu angkuh dan congkak, sekarang tak ubahnya sumber bau busuk di alam semesta ini. Seperti itu kenyataannya, bahwa kita semua akhirnya akan kembali ke tanah, tanpa kecuali.
Puasa Ramadan yang kita jalani mestinya bisa menjadi ruang kontemplasi, sebuah ruang perenungan untuk membuat kita terus belajar pada kesanggupan untuk berendah hati dan menghayati keberadaan diri sebagai makhluk yang tak berbeda dengan lainnya saat kematian menjemput. Merenungkan makna kematian akan membuat kita makin jauh dari kesombongan karena diri tak ubahnya debu ketidaksanggupan yang hanya berpasrah pada Kekuasaan-Nya. Kematian sewaktu-waktu adalah gambaran betapa manusia memang tidak memiliki kesanggupan bahkan untuk menentukan kehidupannya sendiri. Semoga puasa yang kita jalani di bulan Ramadan makin mendekatkan diri kita kepada Allah SWT, dan menempatkan kita di golongan kaum yang bertaqwa. Insyaallah.**
Penulis : Cukup Wibowo
Editor : Editor Ceraken