Gagandek adalah tas yang terbuat dari anyaman bambu , dalam era kekinian barang ini sudah dijadikan souvenir bagi wisatawan yang berkunjung di Pulau Lombok.
Pada masa dulu gegandek adalah berperanan penting dalam menambah tampilan berpakaian para tetua atau pengelinsir masyarakat Sasak, tak percaya diri rasanya bepergian tanpa membawa tas anyaman bambu ini
Tetapi dibalik kesederhanaan gegandek ini, tersirat ada makna filosofi yang terkandung, menurut pendapat Raden Kedarip tokoh masyarakat Adat Bayan Lombok Utara, gegandek ternyata terselip makna tentang tatanan hidup. Kalau dibuka tutupnya akan terlihat didalam ada dua ruang yang bisa digunakan untuk menyelipkan kertas, uang, dan lain sebagainya, dan tidak terlihat walaupun tutupnya terbuka
Makna filosofi Gegandek menurut Raden Kedarip diantara dua ruang atau lapisan pertama adalah ada hal yang bisa diketahui orang banyak dan juga hal pribadi masing – masing untuk saling menghargai dan menghormati
Dalam cerita perwayangan Sasak ” Serat Menak ” barang berupa gegandek ini sering digunakan oleh tokoh wayang bernama Umar Maya, Umar Maya adalah tokoh utama dalam cerita perwayangan disebut sebagai Praratu Siu selain Wong Menak, Munigarim, Selandir dan lainnya.
Kesaktian Umar Maya terletak pada gedandek yang dimiliki, apa pun yang diinginkan tersedia di dalamnya bahkan kesaktian gedandeknya mampu memindahkan satu kota ke tempat lain dan tempat bersembunyi jika terjadi kekacaun di negerinya.
Lalu apa hubungan gegandek dengan Pilkada ?
Istiilah Gegandek kembali dicuatkan oleh aktiivis muda Muhammad Nawawi Ishaq, dia kerap dalam diberbagai diskusi di group whatshaap menyebut bahwa pemenang pilkada tergantung berapa besar isi gegandek para kandidat
Jika diartikan narasi ini bahwa seorang calon itu punya kans untuk menang adalah seberapa besar uang atau logistik yang dimiliki dalam bertarung di Pilkada
Pendapat diatas juga sesuai dengan kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri menyebutkan biaya politik untuk menjadi bupati atau wali kota rata-rata Rp30 miliar, sedangkan biaya menjadi gubernur bisa mencapai Rp100 miliar.
Sedangkan Pusat Edukasi Antikorupsi dalam laman websitenya menyebutkan rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh calon kepala atau wakil kepala daerah dalam pilkada mencapai miliaran rupiah. Bahkan, biayanya bisa di atas Rp10 miliar.
Sebagian pasangan calon juga harus mengeluarkan dana pilkada melebihi harta kas (total uang tunai, deposito, giro, tabungan) dan total harta kekayaan (sesuai LHKPN).
Kondisi itulah, menurut studi KPK, menyebabkan paslon menutup kekurangan biaya dengan mencari dana tambahan melalui donasi.
Elih Delilah dkk dalam Benturan Kepentingan Pendanaan Pilkada (INTEGRITAS: 2019) menyebutkan, secara umum pengusaha mendominasi sebagai donatur paslon dalam pemilihan.
“Penyandang dana perorangan pengusaha/pebisnis selalu mendominasi sejak Pilkada 2015 (18 persen), Pilkada 2017 (26,6 persen),” tulis Elih Delilah dkk.
Kontribusi besar donatur itu bukanlah tanpa kepentingan. “Tidak ada yang namanya makan siang gratis,” demikian idiom yang sering terdengar di politik.
Dari riset itu juga terbaca bahwa penyandang dana “tetap mengharapkan balasan di kemudian hari”. Harapan itu disampaikan “secara jelas dalam bentuk lisan maupun tertulis (perjanjian) dan sebagian besar calon kepala daerah akan memenuhi harapan itu ketika dia memenangkan pilkada atau menjabat.”
Menyoal mengapa biaya politik bisa memiliki nilai yang fantastis, faktornya berkaitan dengan citra calon tersebut.
Kajian Falguera et al (2014) dan Bryan dan Baer (2005) dalam buku Pembiayaan Pemilu di Indonesia (2018) yang dipublikasikan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menyebutkan, beberapa alasan uang politik begitu tinggi.
Pertama, biaya politik yang mahal disebabkan oleh semakin berkembangnya fenomena profesionalisasi politik dan kampanye.
Kedua, karena kian rendahnya dukungan finansial dari kelompok akar rumput terhadap para politisi. Inilah yang berimplikasi ketergantungan peserta pemilu kepada donatur swasta dan negara.
Analisis Falguera & Bryan dan Baer juga senada dengan temuan KPK, bahwa faktor pemicu biaya politik tinggi, karena “keinginan kelompok bisnis dalam memberikan dukungan pembiayaan untuk kampanye kepada para calon dengan kompensasi dan harapan akan adanya keuntungan kepada kelompok- kelompok bisnis itu manakala calon-calon tersebut berhasil mendapatkan jabatan- jabatan publik.”
Dan, keempat, karena lemahnya penegakan regulasi atau aturan main, terutama oleh lembaga penyelenggara pemilu dan para pemangku kepentingan terkait.
Dalam buku yang sama, Mellaz (2018) juga meyakini bahwa personalisasi politik atau reputasi personal yang mesti dibangun oleh seorang calon saat kampanye adalah penyebab mahalnya mahar politik.
Politik Uang
Dalam ekonomi pasar bebas, apa pun bisa menjadi komoditas selama memiliki nilai jual. Setiap menjelang pemilihan umum atau Pilkada ada satu komoditas yang nilai jualnya tiba-tiba meroket tinggi: suara rakyat.
Pasar jual-beli suara atau politik uang biasanya semakin ramai mendekati pemilihan bahkan pagi hari sebelum pemungutan suara, sehingga memunculkan istilah beken ”serangan fajar”. Sesuai analoginya, ada kandidat yang berusaha membeli suara dan ada rakyat yang sengaja ataupun tidak sengaja menjualnya.
Dr. Kuskrido Ambardi, peneliti senior di Social Research Center, Universitas Gadjah Mada melihat ini selayaknya prinsip ekonomi terkait penawaran dan permintaan.
“Ada politisi yang menawarkan dan memulai itu, sehingga masyarakat pemilihnya yang akan mengikutinya. Tetapi, bisa juga dari masyarakat memang ada permintaan,” ujarnya.
Kuskrido menyebut, dalam sejumlah kasus masyarakat memang langsung meminta politisi untuk tidak banyak berwacana. Yang mereka tanyakan adalah soal amplop, karpet, atau bantuan perbaikan jalan.
Kuskrido mengaku memiliki pengalaman empiris terkait ini, dimana politisi sama sekali tidak percaya dengan pengembangan strategi kebijakan atau strategi persuasi. Dia sepenuhnya percaya kepada kekuatan uang. Ketika politisi lain menggelontorkan uang untuk membeli suara di sebuah daerah pemilihan, dia membelanjakan uang lebih besar lagi.
Dalam bahasa kiasan, Kuskrido menyebut politisi ini tidak hanya melakukan serangan fajar, sebagai istilah untuk pembagian amplop di pagi hari menjelang saat pencoblosan, tetapi juga menggelar serangan tengah malam.
Eep Saefulloh Fatah, CEO lembaga survei politik PollMark Indonesia menyebut, ada gejala di tengah masyarakat yang menurutnya perlu dikaji soal praktik politik uang ini.
“Sebetulnya, dalam praktek pemilu, ada dua pertanyaan yang harus kita bedakan. Apakah politik uang itu marak? Yang kedua, apakah politik uang itu efektif,” ujarnya.
Eep tidak menolak kenyataan, bahwa politik uang semakin marak. Dalam banyak survei yang dia lakukan, mayoritas responden mengakui menerima uang atau pemberian yang lain, dari kandidat atau partai politik agar mereka memilih pihak pemberi.***