CERAKEN.ID- Oleh waktu, hutan Indonesia kian menyusut. Oleh keserakahan, ruang hidup satwa-satwa langka perlahan terhapus. Dan oleh kegelisahan, sejumlah seniman memilih bersuara. Salah satunya Bambang Prasetya, perupa yang menjadikan kanvas sebagai medium perlawanan sunyi.
Dalam karyanya berjudul “The Last Fruit” (100 x 120 sentimeter, AOC), yang ditampilkan dalam Pameran Mandalika Art Community “Resonansi” di Galeri Taman Budaya NTB, ia tidak sekadar melukis pemandangan atau objek.
Bambang melainkan menghadirkan sebuah peringatan keras tentang rapuhnya ekosistem. Khususnya di Sumatra, yang selama puluhan tahun terus digerus oleh deforestasi dan pembalakan ugal-ugalan.
Judul The Last Fruit sendiri mengandung metafora yang kuat. Ia terdengar sederhana, tetapi sekaligus menggetarkan: buah terakhir, kesempatan terakhir, sisa terakhir dari sebuah siklus kehidupan yang nyaris putus.
Di balik judul itu, tersimpan kecemasan ekologis yang bukan lagi bersifat abstrak, melainkan sangat nyata. Terlihat, terukur, dan dirasakan langsung dampaknya oleh manusia dan satwa.
Bambang Prasetya dikenal dengan kecenderungan realisme sebagai bahasa visualnya. Namun realisme yang ia tawarkan bukan realisme dingin yang hanya menyalin rupa, melainkan realisme yang sarat muatan etis dan empatik.
Dalam The Last Fruit, pendekatan ini terasa semakin tajam. Objek-objek visual yang dihadirkan, baik berupa sisa-sisa vegetasi, simbol buah, maupun kehadiran implisit satwa, dibangun dengan ketelitian yang seolah mengajak pemirsa untuk menatap lebih lama, merenung lebih dalam.
Media AOC (akrilik di atas kanvas) memberi Bambang keleluasaan untuk mengolah warna secara kontras. Warna-warna alam yang seharusnya subur dan hidup, dalam karya ini terasa tegang, bahkan muram.
Hijau tidak lagi sepenuhnya hijau; ia tercampur dengan nada kusam, coklat kering, atau gelap yang menandai luka. Buah yang menjadi pusat perhatian bukan simbol kesuburan, melainkan penanda kelangkaan.
Karya ini lahir dari puncak kegelisahan ekologis Bambang. Ia menyerap berbagai kabar tentang hutan Sumatra yang terus tergerus, habitat harimau, gajah, orangutan, dan satwa langka lainnya, yang satu per satu terdesak keluar dari ruang hidup alaminya.
Deforestasi bukan lagi sekadar istilah kebijakan atau laporan lembaga lingkungan; ia menjelma tragedi harian yang sunyi, tetapi mematikan.
“Aku lukis orang utan itu, menangis menggendong anaknya. Kegetiran yang luar biasa. Buram betul masa depan mereka. Hutan dibabat habis tanpa sisa,” Bambang tercekat.
Sumatra dan Luka yang Terbuka
Sumatra menjadi konteks penting dalam pembacaan The Last Fruit. Pulau ini selama puluhan tahun dikenal sebagai salah satu paru-paru Indonesia, sekaligus rumah bagi keanekaragaman hayati yang luar biasa. Namun dalam beberapa dekade terakhir, laju pembalakan liar, alih fungsi lahan, dan ekspansi industri telah mengubah lanskapnya secara drastis.
Bambang tidak menghadirkan peta atau statistik di dalam kanvasnya. Namun justru di situlah kekuatan karya ini. Ia bekerja pada wilayah rasa dan kesadaran.
Buah terakhir dalam lukisan itu dapat dibaca sebagai simbol sisa sumber pangan alami, sisa ruang hidup, bahkan sisa harapan. Ketika hutan habis, bukan hanya satwa yang kehilangan rumah, manusia pun kehilangan masa depan.
Dalam pendekatan jurnalistik seni, karya ini dapat diposisikan sebagai bentuk visual dari laporan investigatif. Ia tidak menyebut nama perusahaan, tidak menunjuk pelaku secara eksplisit, tetapi menyodorkan akibat yang tak terbantahkan.
Pemirsa dipaksa berhadapan dengan hasil akhir dari keserakahan: kehampaan ekologis.
Judul The Last Fruit terasa seperti alarm yang terus berdentang, meski tanpa suara. Bambang seolah berkata bahwa kita telah berada di titik genting.
Buah terakhir bukan hanya milik hutan, melainkan milik peradaban. Jika ia jatuh dan membusuk tanpa sempat diselamatkan, maka yang tersisa hanyalah penyesalan.
Dalam konteks seni rupa kontemporer Indonesia, karya ini menegaskan peran seniman sebagai saksi zaman. Bambang Prasetya tidak berdiri di luar persoalan; ia terlibat secara emosional dan moral.
Kegelisahannya diterjemahkan menjadi bahasa visual yang komunikatif, tanpa kehilangan kedalaman makna.
Karya ini juga membuka ruang dialog dengan pemirsa. Setiap orang yang berdiri di depan The Last Fruit diajak bertanya: sejauh mana kita berkontribusi pada kehancuran ini?
Apakah kita masih memiliki waktu untuk menyelamatkan buah terakhir itu, ataukah ia hanya akan menjadi artefak kenangan tentang hutan yang pernah ada?
Menjaga yang Tersisa
The Last Fruit bukan karya yang menawarkan solusi teknis. Ia tidak mengajukan kebijakan, tidak menyusun langkah-langkah praktis. Namun justru di situlah perannya menjadi penting.
Seni bekerja pada wilayah kesadaran, dan tanpa kesadaran, kebijakan hanya akan menjadi teks kosong.
Melalui kanvas berukuran 100 x 120 sentimeter, Bambang Prasetya menghadirkan cermin bagi kita semua. Cermin tentang relasi manusia dengan alam yang timpang, tentang hutan yang terus diperas, dan tentang masa depan yang kian menyempit.
Buah terakhir itu kini ada di hadapan kita. Tinggal menunggu apakah akan dijaga, atau dibiarkan lenyap bersama waktu. (aks)
Penulis : aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : Liputan































