CERAKEN.ID- Inilah peran seniman sebagai saksi zaman. Ia tidak berdiri di luar persoalan, tetapi hadir dan terlibat secara emosional sekaligus moral. Ketika bencana melanda dan meninggalkan luka kemanusiaan, seniman menjawabnya bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan karya, kehadiran, dan tindakan nyata.
Spirit inilah yang mengalir kuat dalam gelaran “Charity For Sumatera”, sebuah penggalangan dana bagi korban bencana di Sumatera melalui Pameran Lukisan dan Parade Musik yang berlangsung di Mall Epicentrum Mataram, pada 21–22 Desember 2025, sejak pukul 10.00 hingga 22.00 Wita.
Selama dua hari, ruang publik pusat perbelanjaan itu bertransformasi menjadi ruang solidaritas. Lukisan-lukisan dipajang berdampingan dengan panggung musik, menyatukan bahasa visual dan bunyi dalam satu pesan kemanusiaan.
Di tengah hiruk-pikuk aktivitas komersial, seni hadir sebagai pengingat bahwa di luar sana ada saudara-saudara sebangsa yang sedang berjuang di tengah bencana.
Pameran lukisan menghadirkan karya enam perupa: Bambang Prasetya, I Gusti Lingsartha Patra, Lalu Syaukani, I Gusti Lanang Putra, Nyoman Sandya, dan Reva “Pelukis Ikan”. Ragam gaya dan ekspresi visual yang mereka tampilkan menyatu dalam satu semangat: empati dan kepedulian.
Sementara itu, parade musik diisi oleh KPFC (Koes Plus Fan’s Club) NTB, Goldstrings, Restorasi Band, Hanix Hao Apache & Bambang Prasetya, serta Jingga & Friends, menjadikan musik sebagai medium yang menggerakkan rasa dan mengikat kebersamaan.
Di balik inisiatif ini berdiri I Gusti Lingsartha Patra, penggagas sekaligus inisiator acara. Dorongan utamanya lahir dari empati yang sangat personal.
“Terbayang andai kondisi itu menimpa kita, nggak dapat dibayangkan. Anak kecil nangis di atap rumah di tengah banjir, andai itu anak atau cucu kita,” tuturnya.
Bagi Lingsartha, adanya peluang untuk berdonasi adalah sesuatu yang sangat berarti. Ssebuah kesempatan untuk mengubah rasa iba menjadi tindakan nyata.

Nada kemanusiaan yang sama disuarakan FREDSY, vokalis Band Goldstrings. Ia menegaskan bahwa keterlibatan mereka berangkat dari kesadaran atas dampak bencana yang menimpa Sumatera dan sekitarnya.
Harapannya sederhana namun mendalam: dana yang terkumpul dapat sedikit meringankan beban saudara-saudara yang terdampak, terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka di masa darurat.
Empati juga datang dari Herman, vokalis KPFC NTB. Ia mengaku sangat senang sekaligus tergerak terlibat dalam konser musik amal ini. Penderitaan saudara-saudara di Aceh dan wilayah Sumatera lainnya, menurutnya, menimbulkan panggilan batin untuk ikut ambil bagian. Seni, baginya, menjadi sarana untuk menyalurkan kepedulian tersebut.
Sementara itu, Reva “Pelukis Ikan” menekankan pentingnya pameran lukisan dan parade musik sebagai ruang sinergi antar seniman. Namun lebih dari itu, titik terpentingnya adalah solidaritas. “Ini yang bisa kita lakukan,” ujarnya.
Reva mengingatkan kembali peristiwa gempa bumi Lombok berkekuatan 7,0 SR pada Agustus 2018, ketika bantuan datang dari berbagai daerah, termasuk Sumatera. “Sekarang giliran kita,” tegasnya, menandai siklus saling menolong dalam kemanusiaan.
Dimensi reflektif dan spiritual disampaikan oleh Yogi, vokalis Restorasi Band. Dengan rendah hati ia menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan berangkat dari kesadaran sebagai manusia biasa.
“Kami hanya manusia biasa yang punya rasa, punya iba, punya hati, punya cinta kepada sesama. Selebihnya, hanya Tuhan yang tahu,” ungkapnya. Ia menutup dengan doa dan harapan: “Damai dan sentosa selalu bangsaku.”
Melalui “Charity For Sumatera”, seni menunjukkan kekuatannya sebagai penggerak sosial. Ia mampu mengumpulkan orang, menghidupkan empati, dan menjembatani jarak geografis dengan rasa kebersamaan.
Di sinilah peran seniman sebagai saksi zaman menemukan maknanya: hadir, berpihak, dan bertindak. Seni pun kembali pada hakikatnya, sebagai suara nurani yang hidup, menyala, dan menautkan hati dari Mataram hingga Sumatera.(aks)
Penulis : aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : liputan































