CERAKEN.ID- Di antara deretan karya yang mengisi Pameran Seni Rupa “Resonansi” Mandalika Art Community (MAC) di Galeri Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dua lukisan Ahmad Saifi P—akrab disapa Ojik—mengundang tanya dengan keberaniannya mengusik kemapanan visual. Dua karya itu merupakan bagian dari seri “Exploited”, sebuah gagasan yang telah ia olah dalam dua tahun terakhir.
Exploited berangkat dari wajah perempuan sebagai representasi estetika. Bagi Ojik, wajah perempuan kerap dijadikan visual utama dari standar keindahan yang dibangun oleh opini masyarakat.
Keindahan itu kemudian mengeras menjadi kemapanan: sesuatu yang diterima begitu saja, nyaris tak pernah dipertanyakan. Melalui seri ini, Ojik justru memilih jalan sebaliknya, mengeksploitasi kemapanan tersebut untuk ditolak.
Penolakan itu hadir lewat distorsi dan coretan yang sekilas tampak “tidak penting”: lingkaran pada mata, garis-garis yang mengelilingi wajah, goresan yang seolah mengganggu komposisi. Namun justru pada titik itulah sikap artistiknya bekerja.
Distorsi bukan sekadar perusakan bentuk, melainkan upaya meretas kenyamanan visual. “Bagi saya, itu bertujuan untuk menolak kemapanan,” ujarnya. Harapannya sederhana namun radikal: dari penolakan itu lahir estetika baru.
Dalam konteks aliran, Ojik memilih sikap yang cair. Ia menyadari bahwa di era seni rupa kontemporer, batas-batas aliran mengalami banyak benturan. Lukisannya mungkin tampak realis dalam representasi objek, tetapi diolah dengan gestur yang sangat ekspresif.
Warna-warna yang ia pilih cenderung terang, berani, dan dekat dengan karakter pop. “Amannya, saya berani sebut aliran saya pop art,” katanya, sambil menegaskan bahwa klasifikasi bukan tujuan utama, melainkan alat baca.
Soal pengaruh, Ojik tidak menunjuk satu nama atau satu aliran tertentu. Ia justru memadupadankan banyak referensi: pemilihan warna, bentuk model, hingga corak karya seniman modern, baik dari seni digital maupun seni murni.
“Tidak ada seniman spesifik mengenai pilihan tema dan teknik,” ujarnya. Sikap ini membuat karyanya terasa lentur, terbuka pada kemungkinan-kemungkinan visual yang terus bergerak.
Menariknya, meski tinggal di desa, visual yang memengaruhi karya Ojik justru banyak bersumber dari dunia urban. Warna-warna terang dan corak dekoratif yang ia gunakan, menurut pengakuannya, merupakan hasil dari penjelajahan di internet, tempat ia kerap menjumpai karya-karya seniman kota.
Namun ia buru-buru memberi jarak dari kesan ingin “mewarnai” urbanitas. “Hanya dipengaruhi, bukan maksud untuk turut mewarnai,” ujarnya, menegaskan posisi sebagai pengamat sekaligus penyerap, bukan peniru.
Ketika berbicara tentang ekosistem seni rupa di NTB, Ojik memilih bersikap realistis. Ia mengaku tidak bisa menjawab terlalu dalam, tetapi mencatat satu gejala penting: kemunculan seniman muda yang semakin banyak, dengan karya-karya yang berbeda dari generasi sebelumnya yang cenderung bercorak tradisi.
Menurutnya, keawaman masyarakat terhadap seni rupa juga perlahan berkurang, seiring pergerakan perupa muda yang aktif mencari ruang alternatif hingga ke pelosok kampung.
Ia menyebut sejumlah inisiatif komunitas sebagai bukti. Komunitas SENINE, misalnya, pernah menggelar program pameran dari kampung ke kampung. UTARA BERGERAK berpameran di bekas gudang penyimpanan beras di Lombok Tengah.
SAKART memilih rumah kosong di tengah perumahan padat penduduk sebagai ruang pamer. STREET ART LOMBOK menjalankan program ISLAND ATTACK dengan menggambar di tembok-tembok gang kampung.
Semua itu, bagi Ojik, adalah tanda bahwa seni rupa di NTB sedang mencari jalannya sendiri. Lebih dekat dengan publik, lebih berani keluar dari ruang konvensional.
Ojik sendiri telah aktif berkesenian sejak 2011, bermula dari masa kuliahnya di Jurusan Seni Rupa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Sejak saat itu hingga kini, seni rupa bukan sekadar aktivitas kreatif, melainkan cara hidup.
“Dari seni rupa saya bisa hidup dan menghidupi,” ujarnya.
Pernyataan itu terdengar sederhana, tetapi mengandung keyakinan yang kuat: bagi Ahmad Saifi P, berkesenian adalah panggilan jiwa. Dan “Exploited” adalah salah satu cara ia menjawab panggilan itu, dengan menolak kemapanan demi kemungkinan estetika yang baru. (aks)
Penulis : aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : Liputan































