CERAKEN.ID- Mataram- Menceburkan diri sebagai penata artistik sekaligus penata cahaya dalam garapan Borka 2025 adalah pengalaman yang tidak sekadar menantang secara teknis, tetapi juga memperluas batas imajinasi visualnya. Menurut Akmal Sasak, Borka tahun ini menghadirkan kompleksitas yang berbeda dibanding pementasan sebelumnya.
Dari naskah, ia sudah merasakan bahwa lapisan-lapisan cerita yang ditawarkan menuntut bentuk artistik yang lebih matang, lebih subtil, dan lebih kaya secara simbolik. Bahkan kehadiran video mapping sebagai bagian dari artistik membuka ruang eksplorasi baru yang menuntut kehati-hatian dalam menciptakan kesatuan visual.
Tantangan tersebut diperkuat oleh arahan yang diberikan sutradara Eko Wahono, yang sejak awal menekankan pada konteks empat pilar Festival Teater Indonesia (FTI). Tekanan ini bukan dalam arti membatasi, melainkan memberikan batas konseptual agar gagasan artistik tidak liar, sekaligus tetap relevan dengan ide besar yang hendak dibangun.
“Hal ini menjadi pijakan penting dalam merancang komposisi ruang, cahaya, dan simbol-simbol visual yang harus muncul di panggung,”kata Akmal.
Dalam proses kreatifnya, perubahan demi perubahan terus terjadi. Pada awalnya, Akmal berusaha menghadirkan artistik yang semi semiotika dengan benang merah pada tema kelahiran.
Namun dialektika yang berlangsung dengan naskah, aktor, dan sutradara membuatnya mencari bentuk baru yang lebih tepat.
Proses pencarian tersebut akhirnya mengerucut pada artistik yang lebih minimalis. “Bukan minimalis yang kosong, tetapi minimalis yang bekerja melalui simbol, mewakili ruang masa lalu, ruang imaji, ruang pikir, dan ruang masa kini,” ulas Akmal.
“Artistik minimalis ini justru membuka ruang bagi makna untuk bergerak lebih bebas, dan bagi aktor untuk lebih leluasa hidup dalam panggung,” tambahnya.
Pergeseran konsep ini tentu menghadirkan tantangan baru dalam tata cahaya. Akmal harus mampu menciptakan atmosfer yang mendukung setiap adegan tanpa dukungan benda-benda panggung yang kompleks.
Cahaya menjadi bahasa utama yang mengarahkan emosi penonton, membingkai tubuh aktor, dan mempertegas ruang-ruang simbolik yang ingin dihadirkan. Setiap adegan memerlukan kekuatan visualnya sendiri, dan tata cahaya harus mampu memberikan denyut pada adegan-adegan tersebut.
Cahaya, dalam konteks ini, menjadi jembatan antara minimalisme panggung dan intensitas dramatik para aktor.
Akmal menyadari bahwa seluruh proses ini tidak hanya menguji kemampuannya, tetapi juga memperkaya pengalaman artistiknya. Menantang diri untuk berpikir ulang, menata ulang, dan mencari bentuk yang paling tepat merupakan bagian penting dalam perjalanan kreatifnya.
Ia bersyukur diberi kepercayaan untuk kedua kalinya menangani artistik dan cahaya Borka, terutama karena pementasan tahun ini menuntut konsep visual yang sangat berbeda dari versi sebelumnya. Kepercayaan itu baginya adalah ruang belajar sekaligus ruang pembuktian.
Pada akhirnya, artistik minimalis yang dipilih menjadi kekuatan bagi setiap adegan. Ketika ruang visual disederhanakan, makna menjadi lebih fokus. Ketika panggung dibiarkan bernapas, aktor memiliki lebih banyak ruang untuk hidup.
Dan melalui cahaya, seluruh simbol yang hadir di panggung menemukan bentuknya. Baginya, Lakon Borka, yang akan di pentaskan di Taman Budaya Mataram pada 10 Desember 2025, adalah bukti bahwa minimalisme tidak pernah berarti kekurangan, melainkan strategi estetika yang justru memperkuat daya dramatik pertunjukan.
Melalui pengalaman ini, Akmal Sasak melihat bahwa artistik bukan hanya soal wujud, tetapi juga soal ketepatan makna. Dalam Borka 2025, ia belajar bahwa kekuatan adegan justru sering lahir dari kesederhanaan yang dirancang dengan penuh kesadaran. (Aks)***
Penulis : Aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : Liputan































