Akmal Sasak: Artistik Minimalis sebagai Kekuatan Adegan

Senin, 8 Desember 2025 - 06:03 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Artistik minimalis ini justru membuka ruang bagi makna untuk bergerak lebih bebas, dan bagi aktor untuk lebih leluasa hidup dalam panggung (Foto: ist)

Artistik minimalis ini justru membuka ruang bagi makna untuk bergerak lebih bebas, dan bagi aktor untuk lebih leluasa hidup dalam panggung (Foto: ist)

CERAKEN.ID- Mataram- Menceburkan diri sebagai penata artistik sekaligus penata cahaya dalam garapan Borka 2025 adalah pengalaman yang tidak sekadar menantang secara teknis, tetapi juga memperluas batas imajinasi visualnya. Menurut Akmal Sasak, Borka tahun ini menghadirkan kompleksitas yang berbeda dibanding pementasan sebelumnya.

Dari naskah, ia sudah merasakan bahwa lapisan-lapisan cerita yang ditawarkan menuntut bentuk artistik yang lebih matang, lebih subtil, dan lebih kaya secara simbolik. Bahkan kehadiran video mapping sebagai bagian dari artistik membuka ruang eksplorasi baru yang menuntut kehati-hatian dalam menciptakan kesatuan visual.

Tantangan tersebut diperkuat oleh arahan yang diberikan sutradara Eko Wahono, yang sejak awal menekankan pada konteks empat pilar Festival Teater Indonesia (FTI). Tekanan ini bukan dalam arti membatasi, melainkan memberikan batas konseptual agar gagasan artistik tidak liar, sekaligus tetap relevan dengan ide besar yang hendak dibangun.

“Hal ini menjadi pijakan penting dalam merancang komposisi ruang, cahaya, dan simbol-simbol visual yang harus muncul di panggung,”kata Akmal.

Dalam proses kreatifnya, perubahan demi perubahan terus terjadi. Pada awalnya, Akmal berusaha menghadirkan artistik yang semi semiotika dengan benang merah pada tema kelahiran.

Baca Juga :  Proses Kreatif R. Eko Wahono: Membaca Ulang Ruang Bawah Tanah

Namun dialektika yang berlangsung dengan naskah, aktor, dan sutradara membuatnya mencari bentuk baru yang lebih tepat.

Proses pencarian tersebut akhirnya mengerucut pada artistik yang lebih minimalis. “Bukan minimalis yang kosong, tetapi minimalis yang bekerja melalui simbol, mewakili ruang masa lalu, ruang imaji, ruang pikir, dan ruang masa kini,” ulas Akmal.

“Artistik minimalis ini justru membuka ruang bagi makna untuk bergerak lebih bebas, dan bagi aktor untuk lebih leluasa hidup dalam panggung,” tambahnya.

Pergeseran konsep ini tentu menghadirkan tantangan baru dalam tata cahaya. Akmal harus mampu menciptakan atmosfer yang mendukung setiap adegan tanpa dukungan benda-benda panggung yang kompleks.

Cahaya menjadi bahasa utama yang mengarahkan emosi penonton, membingkai tubuh aktor, dan mempertegas ruang-ruang simbolik yang ingin dihadirkan. Setiap adegan memerlukan kekuatan visualnya sendiri, dan tata cahaya harus mampu memberikan denyut pada adegan-adegan tersebut.

Cahaya, dalam konteks ini, menjadi jembatan antara minimalisme panggung dan intensitas dramatik para aktor.

Akmal menyadari bahwa seluruh proses ini tidak hanya menguji kemampuannya, tetapi juga memperkaya pengalaman artistiknya. Menantang diri untuk berpikir ulang, menata ulang, dan mencari bentuk yang paling tepat merupakan bagian penting dalam perjalanan kreatifnya.

Baca Juga :  KONGSO SUKOCO DAN KESETIAAN PANJANG PADA PANGGUNG: Pengabdian Seumur Hidup, Teater, dan Etika Merawat Kemanusiaan

Ia bersyukur diberi kepercayaan untuk kedua kalinya menangani artistik dan cahaya Borka, terutama karena pementasan tahun ini menuntut konsep visual yang sangat berbeda dari versi sebelumnya. Kepercayaan itu baginya adalah ruang belajar sekaligus ruang pembuktian.

Pada akhirnya, artistik minimalis yang dipilih menjadi kekuatan bagi setiap adegan. Ketika ruang visual disederhanakan, makna menjadi lebih fokus. Ketika panggung dibiarkan bernapas, aktor memiliki lebih banyak ruang untuk hidup.

Dan melalui cahaya, seluruh simbol yang hadir di panggung menemukan bentuknya. Baginya, Lakon Borka, yang akan di pentaskan di Taman Budaya Mataram pada 10 Desember 2025,  adalah bukti bahwa minimalisme tidak pernah berarti kekurangan, melainkan strategi estetika yang justru memperkuat daya dramatik pertunjukan.

Melalui pengalaman ini, Akmal Sasak melihat bahwa artistik bukan hanya soal wujud, tetapi juga soal ketepatan makna. Dalam Borka 2025, ia belajar bahwa kekuatan adegan justru sering lahir dari kesederhanaan yang dirancang dengan penuh kesadaran. (Aks)***

Penulis : Aks

Editor : Ceraken Editor

Sumber Berita : Liputan

Berita Terkait

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak
I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan
Artha Kusuma: Menari di Atas Kanvas, Merawat Raga, Irama, dan Rasa
S La Radek dan Sketsa yang Menyala dalam “The Rules of The Game”
Resonansi Batin dan Kebersamaan: Ekspresi Impresionistik Lalu Syaukani
Bambang Prasetya: Realisme yang Nyrempet ke Nurani Publik
Wang Arzaky: Street Art, Ruang Sunyi, dan Perayaan yang Rapuh
Ahmad Saifi P: Menolak Kemapanan, Mencari Estetika Baru

Berita Terkait

Senin, 22 Desember 2025 - 20:32 WITA

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Desember 2025 - 18:32 WITA

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Minggu, 21 Desember 2025 - 16:39 WITA

Artha Kusuma: Menari di Atas Kanvas, Merawat Raga, Irama, dan Rasa

Minggu, 21 Desember 2025 - 12:38 WITA

S La Radek dan Sketsa yang Menyala dalam “The Rules of The Game”

Jumat, 19 Desember 2025 - 08:55 WITA

Resonansi Batin dan Kebersamaan: Ekspresi Impresionistik Lalu Syaukani

Berita Terbaru

Apa yang mereka lakukan berangkat dari kesadaran sebagai manusia biasa  (Foto: ist)

AGENDA SOSIAL

Seni sebagai Kesaksian Zaman: Solidaritas dari Mataram untuk Sumatera

Selasa, 23 Des 2025 - 01:12 WITA

The Last Fruit mengandung metafora yang kuat. Ia terdengar sederhana, tetapi sekaligus menggetarkan (Foto: bp)

TOKOH & INSPIRASI

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Des 2025 - 20:32 WITA

Karya-karya Pak Kisid (kanan) hadir sebagai penanda bahwa seni tidak hanya berbicara tentang bentuk dan warna, tetapi juga tentang nilai dan tanggung jawab.(Foto: ist)

TOKOH & INSPIRASI

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Senin, 22 Des 2025 - 18:32 WITA

Dari Sumbawa, sebuah gagasan sedang dirajut: bahwa masa depan literasi daerah tidak harus gemerlap, tetapi harus berakar (foto: NR)

KEARIFAN LOKAL

Menggagas Perpustakaan Tematik: Jalan Sunyi Literasi dari Tana Samawa

Senin, 22 Des 2025 - 16:54 WITA

Dipsy Do tergolong band baru, lahir dari jam-jam sepulang kerja (Foto: Konser Lombok)

MUSIC & SHOW BIZZ

Dipsy Do di Soundrenaline 2025: Dari Mataram ke Pusat Hiruk-Pikuk Modernitas

Senin, 22 Des 2025 - 15:50 WITA