CERAKEN.ID- Asosiasi Lawyer Lingkungan (ALL) Indonesia menggelar Sharing Session Environment Law secara daring pada Senin malam, 15 Desember 2025. Diskusi yang berlangsung intens ini mengangkat tajuk “Kartografi Hukum Lingkungan di Indonesia”, sebagai upaya memetakan ulang wajah hukum lingkungan nasional di tengah dinamika regulasi dan tekanan kepentingan ekonomi.
Kegiatan ini difasilitatori oleh Dr. Shri Lalu Gde Pharma, Wakil Ketua Umum DPP Perkumpulan Advokat Muslim Indonesia, yang bertindak sebagai host. Ia menegaskan bahwa forum ini dimaksudkan sebagai ruang berbagi pengetahuan sekaligus konsolidasi kesadaran hukum bagi para advokat, aktivis, dan masyarakat sipil yang peduli pada isu lingkungan.
Narasumber utama, Moh. Syafiq Khan, advokat senior sekaligus Ketua Presidium Forum Alumni Universitas Mataram, memaparkan secara komprehensif posisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) sebagai fondasi utama hukum lingkungan di Indonesia. Menurutnya, UU tersebut dirancang untuk memastikan upaya sistematis dalam melestarikan fungsi lingkungan hidup, mencegah pencemaran dan kerusakan, serta mengatur pengelolaan lingkungan secara menyeluruh, termasuk perizinan lingkungan dan sanksi pidana bagi pelanggar.
Namun, Syafiq Khan menekankan bahwa sebagian substansi UU 32/2009 mengalami perubahan signifikan pasca terbitnya UU Cipta Kerja (UU No. 6 Tahun 2023) beserta aturan turunannya, terutama PP No. 22 Tahun 2021. Perubahan tersebut, menurutnya, telah menggeser “roh ekologis” yang sebelumnya kuat dalam UU PPLH.
“UU 32/2009 sejatinya mengatur hak rakyat, kewajiban negara dan pelaku usaha, prinsip pencegahan, sanksi tegas, serta partisipasi publik. Tapi dalam praktiknya, setelah Cipta Kerja, partisipasi publik justru dipersempit dan mekanisme pengawasan dilemahkan,” ujarnya.
Dalam sesi tersebut, Syafiq Khan juga memaparkan langkah-langkah yang dapat ditempuh rakyat ketika menghadapi pelanggaran lingkungan. Ia menegaskan bahwa konstitusi memberi ruang gugatan, merujuk pada Pasal 28H ayat (1) serta Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945. “UU 32/2009 harus tetap dijalankan sebagai rujukan utama, meskipun ada perubahan regulasi,” tegasnya.
Bentuk gugatan yang dapat dilakukan, lanjutnya, meliputi gugatan terhadap korporasi secara perdata maupun pidana, gugatan terhadap negara melalui PTUN dan mekanisme citizen lawsuit, gugatan kelompok atau class action, serta gugatan oleh organisasi masyarakat.
Meski demikian, Syafiq Khan mengungkapkan realitas pahit bahwa rakyat kerap kalah dalam sengketa lingkungan. Penyebabnya antara lain lemahnya bukti ilmiah, tekanan politik dan ekonomi yang kuat, serta gerakan masyarakat yang belum terorganisir dengan baik. Karena itu, ia menekankan pentingnya kontrol publik terhadap negara. “Negara harus terus dikontrol. Pengadilan seharusnya menjadi sahabat rakyat,” ujarnya.
Ia juga mengkritik keras kecenderungan regulasi pasca Cipta Kerja yang dinilai menempatkan negara di bawah kepentingan investor. Kemudahan perizinan dan penyederhanaan persyaratan saksi lingkungan, menurutnya, membuka ruang dominasi modal yang berujung pada apa yang ia sebut sebagai neo-kolonialisme.
“Kita seperti dijajah kembali oleh negara dan korporasi asing yang menguasai sumber daya alam Indonesia. UU Cipta Kerja merusak sistem perlindungan lingkungan dalam UU 32/2009 dan bahkan menyimpang dari amanat UUD 1945. Keserakahan sebagian pejabat dan konglomerat membuat negeri ini seolah dijajah ulang,” tegasnya.
Sesi diskusi ditutup dengan sekapur sirih dari Ahmad Junaidi, Advokat sekaligus Koordinator Nasional ALL Indonesia. Ia menyoroti carut-marut tata kelola lingkungan oleh negara yang berdampak langsung pada meningkatnya bencana ekologis. Menurutnya, ketika negara abai dan tidak taat hukum, masyarakat sipil harus tampil mengingatkan dan mendesak perubahan.
“Kita perlu mempertajam peta, membaca raut wajah bumi di masing-masing daerah, mempersiapkan sikap dan mental, serta mengkaji regulasi dan perizinan lingkungan yang tidak berdasar,” ujar Ahmad Junaidi. Ia menegaskan, jika seluruh persiapan tersebut telah matang, ALL Indonesia siap mengambil tanggung jawab dengan melakukan gugatan dan perlawanan hukum demi Indonesia yang lebih adil dan lestari secara ekologis.
Diskusi ini menegaskan kembali posisi ALL Indonesia sebagai salah satu simpul penting advokasi hukum lingkungan, yang tidak hanya memetakan persoalan, tetapi juga menyiapkan langkah konkret perlawanan hukum di tengah tantangan regulasi dan dominasi kepentingan modal. (aks)
Penulis : aks
Editor : Ceraken Indonesia































