Ampenan: Kota Tua Dalam Cerita Penulis Dunia

Sabtu, 31 Mei 2025 - 20:42 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penulis : Buyung Sutan Muchlis (Jurnalis Senior NTB)

 

Mungkin kita perlu belajar mencintai tempat-tempat yang ditinggalkan waktu. Kota-kota pelabuhan tua yang tidak lagi hingar-bingar, tidak lagi sibuk dengan kapal, tidak lagi sesak oleh saudagar.

Kota-kota seperti Ampenan di barat Lombok—yang di masa silam pernah menjadi simpul dagang, dan kini lebih banyak ditengok oleh angin laut dan kenangan. Namun justru dari sunyinya hari ini, kita dapat menafsir ulang mengapa tempat seperti Ampenan pernah menarik minat para penulis dunia!

Ampenan memang tidak lahir dari kekosongan. Ia tumbuh dari percakapan panjang antarperadaban. Willem Cool, dalam bukunya “With the Dutch in the East” (1885), mencatat Ampenan sebagai pelabuhan kecil yang penting. Di sini, menurutnya, komoditas lokal—kopra, rotan, kuda dari Sumbawa, bahkan candu—diangkut oleh kapal dagang yang menuju Makassar, Bali, dan jauh ke Batavia.

Cool bukan pengagum eksotisme murahan; ia menyebut Ampenan dalam nada fungsional. Ia tak sedang bercerita tentang keindahan, tetapi tentang lalu-lintas dunia di kota kecil ini.

Dalam dunia akademik yang lebih kontemporer, Hans Hagerdal—sejarawan Swedia yang teliti menyisir celah-celah sejarah Timur Indonesia—membaca Ampenan bukan sekadar pelabuhan, melainkan bagian dari network dagang dan kekuasaan Islam awal.

Baca Juga :  Aruna Senggigi Tawarkan Promo Angkringan dan Pertunjukan Budaya Tiap Akhir Pekan

Dalam tulisannya “Islamisation and Expansion in Indonesia: The Role of Trade and Coastal Cities,” Hagerdal menyebut Ampenan sebagai bagian dari jalur penting yang menghubungkan Makassar, Bali, dan pesisir Sumbawa.

Ada sesuatu yang cair dalam kota ini, sesuatu yang selalu berpindah—barang, manusia, dan tentu saja cerita.

Namun, tak semua tokoh menulis tentang Ampenan dalam bingkai sejarah. Beberapa justru mencatatnya dengan sentuhan sastra dan spiritualitas.

James Cowan, penulis Australia yang banyak menjelajahi Bali dan Lombok, pernah menyebut Ampenan sebagai kota yang “terlupakan oleh modernitas namun menyimpan aura kolonial yang anggun dan suram.” Dalam bukunya “A Mapmaker’s Dream: The Meditations of Fra Mauro, Cartographer to the Court of Venice”, Cowan tidak berbicara tentang Ampenan secara langsung, tapi dalam surat-surat perjalanannya yang tak dibukukan secara resmi, ia menyebut kota ini sebagai “penghubung antara pulau dan mitos.”

Dan tentu, ada A. Teeuw. Filolog besar itu memang tidak menjadikan Ampenan sebagai bahan telaah utama, tetapi dalam catatan otobiografisnya yang disusun dalam “In Search of a Voice: On Indonesian Literature” (1994), ia menyinggung masa-masa kunjungannya ke Lombok, dan mengakui bahwa ia pernah merenungi kekayaan bahasa dan ekspresi manusia dari sebuah pelabuhan tua bernama Ampenan.

Baca Juga :  Aruna Senggigi Kenalkan Batik Sasambo, Tawarkan Pengalaman Budaya Otentik untuk Wisatawan

Dalam diam, pelabuhan itu menyimpan puisi-puisi lisan dan kisah-kisah rakyat yang tak terjaring oleh akademi.

Cornelis Christiaan Berg, seorang etnobotanis Belanda, juga menapakkan kakinya di Ampenan. Baginya, pelabuhan ini adalah titik masuk menuju riset-riset flora endemik Lombok.

Tidak banyak tulisannya yang bersifat naratif, tetapi dalam jurnal ilmiah tahun 1960-an, Ampenan ia sebut sebagai “gateway” ke lanskap Lombok yang kompleks, dari pinggiran pesisir sampai kaki Rinjani.

Saya tidak tahu, apakah warga Ampenan hari ini masih mengingat nama-nama itu. Atau barangkali mereka tak pernah tahu, bahwa kotanya pernah dicatat oleh orang-orang asing dalam catatan dunia.

Ampenan tidak tumbuh dari narasi tunggal; ia adalah kota multi-aksara, kota yang disusun oleh pedagang Sasak, Tionghoa, Bali, Timur Tengah, pejabat kolonial, pelaut Bugis, dan kadang juga mimpi-mimpi orang Belanda.

Hari ini Ampenan seperti kota yang sedang beristirahat. Jalan-jalannya lengang. Tembok-tembok kolonialnya mulai lapuk.

Tetapi sejarah yang tertulis diam-diam telah menjadikannya bagian dari kosmopolis lama—tempat perjumpaan yang tak lagi ramai, tapi tak sepenuhnya mati.

 

Penulis : Buyung Sutan Muhlis

Editor : Editor Ceraken

Berita Terkait

LMND NTB Pilih Dukung ZulUhel, Arif Haryadi Beberkan Visi Pendidikan yang Jadi Harga Mati!
Relawan Sahabat TGB Bima-Dompu: Fokus Menangkan Zul-Uhel, Instruksi TGB Jelas
Dukung Zul-Uhel di Pilgub, KNPI NTB Ingin Program Berkelanjutan untuk Anak Muda
Hendri Satrio: Tradisi Pembangunan NTB Berkelanjutan, Tak Diganti di Tengah Jalan
Indonesia Leaders Talk: Bang Zul, Rocky Gerung, Dahlan Iskan, dan Mardani Ali Sera Diskusikan Kunci Keberhasilan Lee Kuan Yew. Saksikan Malam Ini!
Miq Dar: Saya Mendukung Zul-Uhel di Pilgub NTB 2024
TGB dan Bang Zul : Salam Dua Jari, Netizen Heboh!
Rintun Raih Nomor Urut 1, Siap Lanjutkan Sejarah Kemenangan di Pilkada Lobar 2024

Berita Terkait

Sabtu, 31 Mei 2025 - 20:42 WITA

Ampenan: Kota Tua Dalam Cerita Penulis Dunia

Rabu, 13 November 2024 - 11:52 WITA

LMND NTB Pilih Dukung ZulUhel, Arif Haryadi Beberkan Visi Pendidikan yang Jadi Harga Mati!

Minggu, 3 November 2024 - 16:57 WITA

Relawan Sahabat TGB Bima-Dompu: Fokus Menangkan Zul-Uhel, Instruksi TGB Jelas

Rabu, 16 Oktober 2024 - 23:00 WITA

Dukung Zul-Uhel di Pilgub, KNPI NTB Ingin Program Berkelanjutan untuk Anak Muda

Minggu, 13 Oktober 2024 - 01:28 WITA

Hendri Satrio: Tradisi Pembangunan NTB Berkelanjutan, Tak Diganti di Tengah Jalan

Berita Terbaru

WISATA

PHRI dan Warga Kompak, Siap Sukseskan MotoGP Mandalika 2025

Sabtu, 30 Agu 2025 - 17:27 WITA