CERAKEN.ID- Di antara deret karya yang mengisi Pameran Seni Rupa “Resonansi” di Galeri Taman Budaya NTB hingga 30 Desember 2025, lima lukisan Bambang Prasetya tampil tenang namun menyimpan kegelisahan. Realisme yang ia sodorkan tidak berhenti pada upaya meniru rupa, tetapi bergerak sebagai bahasa kritik, kadang lirih, kadang tajam, terhadap lingkungan sosial dan ekologis yang melingkupinya.
Bambang menyebut kecenderungan itu “nyrempet-nyerempet” saja. Namun justru pada kerendahan pengakuan itulah, kritik sosialnya terasa jujur. Ia tidak berkhotbah, tidak pula memaksa pembaca kanvas untuk menyetujui sudut pandangnya.
Lukisan-lukisannya bekerja pelan, menyusup melalui detail garis dan warna.
Karya berjudul “Pojok Kota Tua” (200 x 100 cm, AOC) menjadi pintu masuk yang kuat. Bambang merekam jejak peradaban lama yang masih bertahan di tengah arus modernitas. Kota tua dalam lukisan ini bukan sekadar lanskap arsitektural, melainkan penanda ingatan kolektif, bahwa sejarah bukan sesuatu yang selesai, melainkan terus hidup bersama kita sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan Nusantara.
Nada yang lebih gelap muncul dalam “Pagebluk” (200 x 100 cm, AOC). Pandemi Covid-19 yang mengguncang dunia direkam Bambang sebagai tragedi kemanusiaan. Lukisan ini tidak menampilkan sensasi kepanikan, melainkan kesunyian yang getir, sebuah refleksi atas rapuhnya manusia di hadapan peristiwa luar biasa yang melampaui kendali. Indonesia, dalam kanvas ini, hadir sebagai bagian dari luka global.
Sementara itu, “Harmony Bawah Laut” (100 x 100 cm, AOC) bergerak pada wilayah mimpi dan harapan. Keindahan alam bawah laut Indonesia digambarkan sebagai ruang ideal yang bebas sampah. Namun justru di sanalah kritiknya mengendap: betapa kebiasaan membuang sampah sembarangan telah merusak ekosistem yang seharusnya menjadi kebanggaan. Bambang menyodorkan ironi antara apa yang indah dan apa yang kita lakukan terhadapnya.
Pesan serupa berlanjut dalam “Symphony Esok Pagi” (195 x 120 cm, AOC). Lukisan ini menjadi ajakan reflektif tentang pentingnya menjaga kelestarian alam sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Alam tidak ditempatkan sebagai latar pasif, melainkan sebagai subjek yang ikut “bersuara”, mengingatkan manusia akan tanggung jawab moralnya.
Puncak kegelisahan ekologis Bambang tampak pada “The Last Fruit” (100 x 120 cm, AOC). Deforestasi dan pembalakan liar yang membabat ekosistem satwa langka, terutama di Sumatra, diterjemahkan sebagai ancaman nyata terhadap keberlanjutan hidup. Judulnya sendiri terasa seperti alarm: buah terakhir, kesempatan terakhir.
Ketika ditanya apakah kepedulian itu berakar dari perjalanan hidup atau didikan orang tua, Bambang tidak ragu. “Sebagian besar dari perjalanan hidup tentunya,” ujarnya.
Namun ada satu pesan bapak yang terus ia ingat hingga kini: ojo dumeh, sebuah nasihat sederhana yang mengajarkan kerendahan hati dan kesadaran posisi diri di tengah sesama.

Meski realisme menjadi pijakan awalnya, Bambang menegaskan bahwa ia tidak membatasi diri pada satu aliran.
“Saya berangkat dari realisme. Cuma dalam perjalanan memang saya mencoba memasuki banyak aliran-aliran. Dan saya merasa lebih nyaman memainkan kekuatan garis dan warna,” tuturnya.
Dalam pameran kali ini, hampir seluruh karyanya sengaja disisipi pesan-pesan kemanusiaan.
Perjalanan hidup Bambang sendiri adalah cerita tentang pilihan. Ia datang ke Lombok pada awal 1990-an, selepas lulus SMA, dengan kebutuhan paling dasar: bekerja untuk bertahan hidup.
Di antara berbagai kemungkinan, ia memilih dua hal yang paling dekat dengan jiwanya, seni rupa dan musik. Kini, ia dikenal sebagai perupa, pemilik galeri kecil, sekaligus pemukul drum yang kerap tampil di berbagai acara lokal.
Hidup yang ia jalani mungkin tidak selalu stabil, tetapi sarat makna. Mural sosial, aksi membersihkan jalan, hingga kritik melalui karya menjadi penanda bahwa bagi Bambang, seni adalah tindakan.
Ia menolak menjadi perupa yang hanya berkarya di dalam studio; ia memilih hadir di tengah persoalan publik.
“Jika saya sedang suntuk melukis, maka drum jadi pelampiasannya,” ujar Bambang sambil menunjuk seperangkat alat musik di studionya.
Kalimat itu merangkum dirinya: seorang perupa yang terus mencari keseimbangan antara bunyi dan rupa, antara kanvas dan jalanan, antara realisme visual dan realisme hidup. (aks)































