I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Senin, 22 Desember 2025 - 18:32 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Karya-karya Pak Kisid (kanan) hadir sebagai penanda bahwa seni tidak hanya berbicara tentang bentuk dan warna, tetapi juga tentang nilai dan tanggung jawab.(Foto: ist)

Karya-karya Pak Kisid (kanan) hadir sebagai penanda bahwa seni tidak hanya berbicara tentang bentuk dan warna, tetapi juga tentang nilai dan tanggung jawab.(Foto: ist)

Catatan Agus K Saputra

CERAKEN.ID- Dalam perjalanan panjang seorang perupa, proses kreatif kerap menjadi wilayah yang paling sunyi sekaligus paling menentukan. Pada sosok I Nengah Kisid, proses itu justru menemukan bentuknya yang jernih dan reflektif melalui tiga aktivitas sederhana namun mendasar: membaca, mendengarkan, dan melakukan. Tiga kata kerja ini bukan sekadar metode, melainkan fondasi pengkaryaan yang menuntun perjalanan artistik dan spiritualnya selama puluhan tahun.

“Ada tiga hal yang selalu saya lakukan dalam proses melukis: membaca, mendengarkan, dan melakukan. Ketiga kegiatan ini berkontribusi pada pengembangan keterampilan, pemahaman, dan ekspresi kreatif pengkaryaan,” ujar Pak Kisid, sapaan akrab I Nengah Kisid.

Baginya, melukis bukan sekadar aktivitas visual, melainkan hasil dari pergulatan intelektual, kepekaan batin, dan kerja tangan yang terus diasah.

Membaca menjadi pintu awal: membaca teks, membaca realitas, membaca kehidupan. Dari sana, mendengarkan hadir sebagai ruang penerimaan: mendengarkan nasihat, kritik, suara alam, dan bisikan nurani.

Sementara melakukan adalah tahap pembuktian, ketika ide dan perenungan diwujudkan ke atas kanvas.

“Proses melukis menjadi paling efektif ketika ketiga elemen ini digabungkan secara sinergis,” lanjutnya. Dalam sinergi itulah, gagasan menemukan bentuk, dan nilai menemukan bahasa rupa.

Jejak perjalanan Pak Kisid berangkat dari Bali. Ia merupakan lulusan S1 Seni Rupa IKIP Singaraja, sebuah institusi yang membentuk dasar akademik dan pedagogisnya. Tahun 1981 menjadi tonggak penting ketika ia menetap di Mataram dan mengabdikan diri sebagai guru seni rupa di Sekolah Menengah Atas.

Dari ruang kelas, Pak Kisid tak hanya mengajarkan teknik dan teori seni, tetapi juga menanamkan kesadaran estetik dan etika berkesenian kepada generasi muda.

Empat tahun berselang, pada 1985, Pak Kisid memelopori lahirnya sebuah sanggar seni lukis bagi kalangan guru-guru seni di Mataram. Inisiatif ini menandai kesadarannya untuk ikut membangun ekosistem seni rupa di Lombok.

Sanggar tersebut menjadi ruang temu, diskusi, dan produksi, sekaligus wadah berbagi semangat berkarya di tengah keterbatasan fasilitas seni kala itu. Secara tidak langsung, langkah ini menempatkan Pak Kisid sebagai salah satu figur penting dalam sejarah perkembangan seni lukis modern di Lombok.

Baca Juga :  Di Balik Riuh Pesta Seni NTB, Dody Setiawan Menjadi Penggerak Suasana

Kesadaran dan kecintaannya pada seni lukis terus bertumbuh seiring waktu. Hingga akhirnya, ia memiliki ruang khusus yang menjadi perpanjangan dari dirinya sebagai perupa: “I Nengah Kisid Art Gallery.”

Galeri ini secara khusus mengoleksi karya-karyanya sendiri. Di ruang itulah ia menghabiskan waktu luang: melukis, merenung, dan berdialog dengan kanvas. Galeri bukan semata ruang pamer, tetapi ruang spiritual tempat proses kreatif berlangsung dalam keheningan.

Secara visual, karya-karya Pak Kisid mudah dikenali. Ia kerap menggunakan warna-warna kontras, dengan dominasi warna gelap yang berpadu kuat dengan merah dan putih.

Warna-warna ini bukan hadir secara kebetulan, melainkan sebagai simbol dan penegasan makna. Merah, putih, dan hitam menjadi medan emosi sekaligus medan spiritual tempat gagasan-gagasannya bergerak.

Objek-objek dalam lukisannya digarap secara dekoratif, menghadirkan figur-figur imajinatif yang merepresentasikan kehidupan sosial manusia.

Sosok-sosok tersebut sering kali tidak terikat pada realisme anatomis, melainkan dibentuk melalui bahasa simbolik. Tubuh manusia, alam, dan elemen metaforis bertaut dalam satu bidang kanvas, menciptakan narasi visual yang mengajak penonton untuk merenung, bukan sekadar melihat.

Yang membedakan Pak Kisid dari banyak perupa lain adalah konsistensinya mengangkat tema spiritualitas sebagai medium ungkap. Spiritualitas dalam karyanya tidak hadir secara dogmatis, melainkan sebagai dialog batin.

Bahasa rupa yang dibangun bergerak secara vertikal, relasi manusia dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta, dan secara horizontal, relasi manusia dengan sesamanya serta dengan alam. Dua arah komunikasi ini membentuk struktur utama dalam hampir seluruh karyanya.

Pada Pameran Mandalika Art Community bertema “Resonansi” yang berlangsung di Galeri Taman Budaya NTB hingga 30 Desember 2025, Pak Kisid menyertakan dua lukisan yang merepresentasikan dengan kuat arah spiritual pengkaryaannya.

Karya pertama berjudul “Keluar Dari Kegelapan Menuju Terang” (130 x 110 cm, acrylic on canvas). Lukisan ini menghadirkan dikotomi dua kehidupan: hidup dalam kegelapan dan hidup dalam terang.

“Keluar Dari Kegelapan Menuju Terang” : 130 x 110 cm, acrylic on canvas (Foto: aks)

Kegelapan dimaknai sebagai kondisi rohani yang jauh dari kebenaran dan jauh dari Tuhan, ditandai dengan keputusasaan, kebohongan, dan keegoisan.

Baca Juga :  Ketua APWI NTB Kupas Kekuatan Penokohan dalam Novel Menghadang Kubilai Khan

Namun Pak Kisid tidak berhenti pada narasi muram. Ia menghadirkan jalan keluar melalui iman: langkah menuju terang, menuju kehidupan yang selaras dengan kebenaran.

Terang dalam lukisan ini bukan sekadar cahaya visual, melainkan simbol keselamatan, kedamaian, dan panggilan untuk menjadi pelita bagi sesama. Melalui komposisi warna dan figur yang saling bertaut, Pak Kisid menyampaikan pesan bahwa perubahan selalu dimungkinkan, bahwa manusia memiliki pilihan untuk keluar dari gelap menuju terang.

Karya kedua berjudul “Dialog di Eden” (120 x 100 cm, acrylic on canvas). Eden, taman yang indah dan penuh warna, digambarkan sebagai ruang awal relasi harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Pohon-pohon berbuah warna-warni, binatang yang bersukacita, dan suasana yang menyenangkan menjadi latar visual yang memikat. Namun, di balik keindahan itu, tersimpan kritik yang tajam.

Dialog di Eden: 120 x 100 cm, acrylic on canvas (Foto: aks)

Tuhan menempatkan manusia pertama di Eden dengan tugas merawat alam ciptaan-Nya. Ketidaktaatan manusia dalam menjalankan tanggung jawab tersebut menjadi sumber kerusakan, bukan hanya kerusakan alam, tetapi juga kerusakan relasi antarmanusia.

Melalui “Dialog di Eden”, Pak Kisid mengaitkan kisah spiritual dengan realitas ekologis kontemporer, menegaskan bahwa krisis lingkungan hari ini berakar pada krisis moral dan spiritual.

Bagi Pak Kisid, tema spiritual bukanlah pilihan estetik semata, melainkan panggilan hidup. “Setidaknya tema spiritual ini berguna untuk diri sendiri, keluarga, dan orang lain dalam menyeru kepada kebaikan,” katanya.

Pernyataan ini merangkum sikap berkesenian yang ia jalani: seni sebagai jalan refleksi, edukasi, dan pengabdian.

Dalam lanskap seni rupa NTB, karya-karya Pak Kisid hadir sebagai penanda bahwa seni tidak hanya berbicara tentang bentuk dan warna, tetapi juga tentang nilai dan tanggung jawab.

Melalui proses membaca, mendengarkan, dan melakukan, ia merawat kesadaran bahwa melukis adalah kerja rohani.

Sebuah ikhtiar panjang untuk memahami manusia, alam, dan Sang Pencipta, sekaligus mengajak publik untuk turut merenung dalam sunyi kanvas.

Penulis : aks

Editor : Ceraken Editor

Sumber Berita : Liputan

Berita Terkait

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak
Artha Kusuma: Menari di Atas Kanvas, Merawat Raga, Irama, dan Rasa
S La Radek dan Sketsa yang Menyala dalam “The Rules of The Game”
Resonansi Batin dan Kebersamaan: Ekspresi Impresionistik Lalu Syaukani
Bambang Prasetya: Realisme yang Nyrempet ke Nurani Publik
Wang Arzaky: Street Art, Ruang Sunyi, dan Perayaan yang Rapuh
Ahmad Saifi P: Menolak Kemapanan, Mencari Estetika Baru
Tia Sofiana: Kardus, Anak-Anak, dan Satir yang Bertanya

Berita Terkait

Senin, 22 Desember 2025 - 20:32 WITA

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Desember 2025 - 18:32 WITA

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Minggu, 21 Desember 2025 - 16:39 WITA

Artha Kusuma: Menari di Atas Kanvas, Merawat Raga, Irama, dan Rasa

Minggu, 21 Desember 2025 - 12:38 WITA

S La Radek dan Sketsa yang Menyala dalam “The Rules of The Game”

Jumat, 19 Desember 2025 - 08:55 WITA

Resonansi Batin dan Kebersamaan: Ekspresi Impresionistik Lalu Syaukani

Berita Terbaru

Apa yang mereka lakukan berangkat dari kesadaran sebagai manusia biasa  (Foto: ist)

AGENDA SOSIAL

Seni sebagai Kesaksian Zaman: Solidaritas dari Mataram untuk Sumatera

Selasa, 23 Des 2025 - 01:12 WITA

The Last Fruit mengandung metafora yang kuat. Ia terdengar sederhana, tetapi sekaligus menggetarkan (Foto: bp)

TOKOH & INSPIRASI

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Des 2025 - 20:32 WITA

Karya-karya Pak Kisid (kanan) hadir sebagai penanda bahwa seni tidak hanya berbicara tentang bentuk dan warna, tetapi juga tentang nilai dan tanggung jawab.(Foto: ist)

TOKOH & INSPIRASI

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Senin, 22 Des 2025 - 18:32 WITA

Dari Sumbawa, sebuah gagasan sedang dirajut: bahwa masa depan literasi daerah tidak harus gemerlap, tetapi harus berakar (foto: NR)

KEARIFAN LOKAL

Menggagas Perpustakaan Tematik: Jalan Sunyi Literasi dari Tana Samawa

Senin, 22 Des 2025 - 16:54 WITA

Dipsy Do tergolong band baru, lahir dari jam-jam sepulang kerja (Foto: Konser Lombok)

MUSIC & SHOW BIZZ

Dipsy Do di Soundrenaline 2025: Dari Mataram ke Pusat Hiruk-Pikuk Modernitas

Senin, 22 Des 2025 - 15:50 WITA