Kharisma Priasa: Menata Visual Borka, Menata Bahasa Sunyi

Senin, 8 Desember 2025 - 15:43 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

“Dari titik ini, saya mulai memahami bahwa visual dan musik sesungguhnya memiliki akar kesenyawaan, keduanya adalah bahasa atmosfer.” (Foto: ist)

“Dari titik ini, saya mulai memahami bahwa visual dan musik sesungguhnya memiliki akar kesenyawaan, keduanya adalah bahasa atmosfer.” (Foto: ist)

CERAKEN.ID- Mataram- Dalam dunia teater, visual kerap dianggap sebagai “bahasa diam”. Tidak bersuara, namun sanggup menyampaikan lapisan-lapisan makna yang justru tak mampu diungkapkan lewat dialog atau musik.

Bagi Kharisma Priasa, penata visual dalam Lakon Borka 2025, bahasa diam itu adalah tantangan sekaligus ruang eksplorasi yang membuka horizon kreatif baru. Ketika produksi ini dipersiapkan untuk tampil dalam Festival Teater Indonesia pada 10 Desember 2025 di Taman Budaya Mataram, ia memasuki proses kreatif yang diwarnai kebingungan di awal, tetapi kemudian berubah menjadi pengalaman yang menyenangkan dan memperkaya dirinya sebagai seniman.

Kharisma selama ini lebih akrab dengan dunia musik, sebuah medan yang baginya telah menjadi bahasa refleks, mengolah bunyi, ritme, dinamika, dan atmosfer. Musik memberinya fondasi tentang bagaimana tempo dan rasa dapat digerakkan, tetapi ketika ia didapuk untuk menata visual, situasinya berubah drastis.

Kini ia bekerja dengan bentuk, warna, ruang, dan citraan. Pada titik inilah kebingungan itu muncul, bagaimana caranya menghadirkan visual yang memiliki kekuatan “berbicara” setara dan seintens musik?

Pertanyaan itu menjadi pintu masuk menuju proses pencarian. Visual bukan lagi sekadar latar atau dekorasi, melainkan medium dramaturgis yang mengalir sejajar dengan tubuh aktor, bunyi, dan teks.

Baca Juga :  Akmal Sasak: Artistik Minimalis sebagai Kekuatan Adegan

“Saya menyadari bahwa visual pun memiliki ritme, yang bisa hadir sebagai aksen, jeda, atau tekanan emosional,” ujarnya.

Dapat pula menjadi bisikan yang menyelinap di balik adegan, atau sebaliknya, sebuah letupan gagasan yang menegaskan konflik dan gagasan lakon.

“Dari titik ini, saya mulai memahami bahwa visual dan musik sesungguhnya memiliki akar kesenyawaan, keduanya adalah bahasa atmosfer,” cerah Kharisma.

Proses kreatif ini tidak terlepas dari peran sutradara R. Eko Wahono, yang memberikan arahan detail pada setiap elemen visual. Lewat diskusi, interpretasi bersama, serta penjelajahan makna dalam naskah Borka, Kharisma diarahkan untuk melihat visual bukan sekadar estetika, melainkan bagian dari tubuh lakon itu sendiri.

Setiap Keputusan, apakah itu warna dominan, tekstur objek, tata cahaya, hingga komposisi ruang, selalu ditimbang untuk menciptakan resonansi emosional dengan adegan dan tema besar pementasan. Bimbingan sang sutradara menjadi semacam kompas yang membantu mengarahkan pencarian Kharisma agar tetap terikat pada dramaturgi, bukan sekadar preferensi artistik.

Baca Juga :  Pendekatan Jurnalistik dalam Penulisan Lakon

Pada akhirnya, kebingungan yang semula membayang justru menjadi bahan bakar kreatif. Dari dunia bunyi ia melompat ke dunia rupa, namun tetap membawa kepekaan musikalnya sebagai modal dasar.

Ia belajar bahwa visual pun bisa “dengar”, bahwa warna dapat berdetak, garis dapat beresonansi, dan cahaya dapat bernyanyi. Pengalaman ini membuka ruang baru dalam pemahaman estetisnya bahwa disiplin seni tidaklah berdiri sendiri; satu bahasa artistik dapat menyeberang ke bahasa lain tanpa kehilangan esensinya.

Lakon Borka 2025 akhirnya menjadi ruang bertumbuh bagi Kharisma. Sebuah proses yang menantangnya untuk menerjemahkan sunyi menjadi visual yang hidup, dan menghadirkan dunia peristiwa panggung tempat penonton dapat merasakan, bukan hanya melihat.

Kharisma menemukan bahwa menjadi penata visual bukan hanya soal menciptakan keindahan, tetapi menyusun kosmos dramatik yang membuat bahasa visual bernafas seperti halnya musik.

Dalam perjalanan inilah seni teater memperlihatkan kekuatannya, menghubungkan berbagai medium, menyatukan ragam sensibilitas, dan menjadikan kebingungan awal sebagai pintu menuju penemuan diri. (Aks)***

Penulis : Aks

Editor : Ceraken Editor

Sumber Berita : Liputan

Berita Terkait

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak
I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan
Artha Kusuma: Menari di Atas Kanvas, Merawat Raga, Irama, dan Rasa
S La Radek dan Sketsa yang Menyala dalam “The Rules of The Game”
Resonansi Batin dan Kebersamaan: Ekspresi Impresionistik Lalu Syaukani
Bambang Prasetya: Realisme yang Nyrempet ke Nurani Publik
Wang Arzaky: Street Art, Ruang Sunyi, dan Perayaan yang Rapuh
Ahmad Saifi P: Menolak Kemapanan, Mencari Estetika Baru

Berita Terkait

Senin, 22 Desember 2025 - 20:32 WITA

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Desember 2025 - 18:32 WITA

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Minggu, 21 Desember 2025 - 16:39 WITA

Artha Kusuma: Menari di Atas Kanvas, Merawat Raga, Irama, dan Rasa

Minggu, 21 Desember 2025 - 12:38 WITA

S La Radek dan Sketsa yang Menyala dalam “The Rules of The Game”

Jumat, 19 Desember 2025 - 08:55 WITA

Resonansi Batin dan Kebersamaan: Ekspresi Impresionistik Lalu Syaukani

Berita Terbaru

Apa yang mereka lakukan berangkat dari kesadaran sebagai manusia biasa  (Foto: ist)

AGENDA SOSIAL

Seni sebagai Kesaksian Zaman: Solidaritas dari Mataram untuk Sumatera

Selasa, 23 Des 2025 - 01:12 WITA

The Last Fruit mengandung metafora yang kuat. Ia terdengar sederhana, tetapi sekaligus menggetarkan (Foto: bp)

TOKOH & INSPIRASI

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Des 2025 - 20:32 WITA

Karya-karya Pak Kisid (kanan) hadir sebagai penanda bahwa seni tidak hanya berbicara tentang bentuk dan warna, tetapi juga tentang nilai dan tanggung jawab.(Foto: ist)

TOKOH & INSPIRASI

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Senin, 22 Des 2025 - 18:32 WITA

Dari Sumbawa, sebuah gagasan sedang dirajut: bahwa masa depan literasi daerah tidak harus gemerlap, tetapi harus berakar (foto: NR)

KEARIFAN LOKAL

Menggagas Perpustakaan Tematik: Jalan Sunyi Literasi dari Tana Samawa

Senin, 22 Des 2025 - 16:54 WITA

Dipsy Do tergolong band baru, lahir dari jam-jam sepulang kerja (Foto: Konser Lombok)

MUSIC & SHOW BIZZ

Dipsy Do di Soundrenaline 2025: Dari Mataram ke Pusat Hiruk-Pikuk Modernitas

Senin, 22 Des 2025 - 15:50 WITA