CERAKEN.ID- Mataram- Dalam dunia teater, visual kerap dianggap sebagai “bahasa diam”. Tidak bersuara, namun sanggup menyampaikan lapisan-lapisan makna yang justru tak mampu diungkapkan lewat dialog atau musik.
Bagi Kharisma Priasa, penata visual dalam Lakon Borka 2025, bahasa diam itu adalah tantangan sekaligus ruang eksplorasi yang membuka horizon kreatif baru. Ketika produksi ini dipersiapkan untuk tampil dalam Festival Teater Indonesia pada 10 Desember 2025 di Taman Budaya Mataram, ia memasuki proses kreatif yang diwarnai kebingungan di awal, tetapi kemudian berubah menjadi pengalaman yang menyenangkan dan memperkaya dirinya sebagai seniman.
Kharisma selama ini lebih akrab dengan dunia musik, sebuah medan yang baginya telah menjadi bahasa refleks, mengolah bunyi, ritme, dinamika, dan atmosfer. Musik memberinya fondasi tentang bagaimana tempo dan rasa dapat digerakkan, tetapi ketika ia didapuk untuk menata visual, situasinya berubah drastis.
Kini ia bekerja dengan bentuk, warna, ruang, dan citraan. Pada titik inilah kebingungan itu muncul, bagaimana caranya menghadirkan visual yang memiliki kekuatan “berbicara” setara dan seintens musik?
Pertanyaan itu menjadi pintu masuk menuju proses pencarian. Visual bukan lagi sekadar latar atau dekorasi, melainkan medium dramaturgis yang mengalir sejajar dengan tubuh aktor, bunyi, dan teks.
“Saya menyadari bahwa visual pun memiliki ritme, yang bisa hadir sebagai aksen, jeda, atau tekanan emosional,” ujarnya.
Dapat pula menjadi bisikan yang menyelinap di balik adegan, atau sebaliknya, sebuah letupan gagasan yang menegaskan konflik dan gagasan lakon.
“Dari titik ini, saya mulai memahami bahwa visual dan musik sesungguhnya memiliki akar kesenyawaan, keduanya adalah bahasa atmosfer,” cerah Kharisma.
Proses kreatif ini tidak terlepas dari peran sutradara R. Eko Wahono, yang memberikan arahan detail pada setiap elemen visual. Lewat diskusi, interpretasi bersama, serta penjelajahan makna dalam naskah Borka, Kharisma diarahkan untuk melihat visual bukan sekadar estetika, melainkan bagian dari tubuh lakon itu sendiri.
Setiap Keputusan, apakah itu warna dominan, tekstur objek, tata cahaya, hingga komposisi ruang, selalu ditimbang untuk menciptakan resonansi emosional dengan adegan dan tema besar pementasan. Bimbingan sang sutradara menjadi semacam kompas yang membantu mengarahkan pencarian Kharisma agar tetap terikat pada dramaturgi, bukan sekadar preferensi artistik.
Pada akhirnya, kebingungan yang semula membayang justru menjadi bahan bakar kreatif. Dari dunia bunyi ia melompat ke dunia rupa, namun tetap membawa kepekaan musikalnya sebagai modal dasar.
Ia belajar bahwa visual pun bisa “dengar”, bahwa warna dapat berdetak, garis dapat beresonansi, dan cahaya dapat bernyanyi. Pengalaman ini membuka ruang baru dalam pemahaman estetisnya bahwa disiplin seni tidaklah berdiri sendiri; satu bahasa artistik dapat menyeberang ke bahasa lain tanpa kehilangan esensinya.
Lakon Borka 2025 akhirnya menjadi ruang bertumbuh bagi Kharisma. Sebuah proses yang menantangnya untuk menerjemahkan sunyi menjadi visual yang hidup, dan menghadirkan dunia peristiwa panggung tempat penonton dapat merasakan, bukan hanya melihat.
Kharisma menemukan bahwa menjadi penata visual bukan hanya soal menciptakan keindahan, tetapi menyusun kosmos dramatik yang membuat bahasa visual bernafas seperti halnya musik.
Dalam perjalanan inilah seni teater memperlihatkan kekuatannya, menghubungkan berbagai medium, menyatukan ragam sensibilitas, dan menjadikan kebingungan awal sebagai pintu menuju penemuan diri. (Aks)***
Penulis : Aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : Liputan































