Catatan Agus K Saputra
CERAKEN.ID- Mataram, 13 Desember 2025 — “Selamat kepada KONGSO SUKOCO sebagai penerima Penghargaan Pengabdian Seumur Hidup Festival Teater Indonesia 2025, titik temu: Mataram.”
Kalimat singkat itu muncul sebagai headline di linimasa Festival Teater Indonesia (FTI) 2025. Namun, di balik pengumuman resmi tersebut, tersimpan sebuah perjalanan panjang tentang kesetiaan, kegigihan, dan keyakinan bahwa teater bukan sekadar pertunjukan, melainkan cara hidup.
Jumat malam, 12 Desember 2025, Gedung Tertutup Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat dipenuhi suasana khidmat. Di hadapan para seniman, akademisi, pekerja kebudayaan, dan generasi muda teater dari berbagai daerah, sutradara Bengkel Aktor Mataram, Kongso Sukoco, menerima Penghargaan Pengabdian Seumur Hidup FTI 2025.
Sebuah penghargaan yang tidak sekadar menandai usia pengabdian, tetapi menegaskan peran panjangnya dalam membangun ruang berekspresi dan menjaga api kesenian tetap menyala.
“Saya berdiri di sini bukan sebagai ‘yang paling berjasa’,” ucap Kongso dalam sambutannya, “melainkan sebagai salah satu dari sekian banyak pekerja seni yang percaya bahwa teater memiliki kemampuan untuk menghidupkan kembali ruang-ruang kepekaan.”
Teater sebagai Kebutuhan, Bukan Ambisi
Kongso tidak memulai kisahnya dengan daftar pencapaian. Ia justru memulai dari pengakuan sederhana: bahwa teater hadir dalam hidupnya bukan sebagai ambisi, melainkan sebagai kebutuhan.
“Kebutuhan untuk memahami manusia, untuk memahami diri sendiri, dan untuk memahami dunia yang terus berubah,” katanya.
Masa remajanya di Surabaya menjadi titik awal perjumpaan itu. Ia tumbuh bersama teater rakyat, menikmati ludruk sebagai ruang kritik sekaligus tawa. Salah satu sosok yang paling membekas baginya adalah Markeso, pemain monolog ludruk garingan yang bercerita sambil ngidung, menirukan bunyi seperangkat gamelan hanya dengan mulutnya.
Markeso mengisahkan rentenir, tukang kredit keliling, remaja putri yang gemar keluar malam, suami beristri dua yang ribut rumah tangga, hingga oknum ustaz yang perilakunya menyimpang.
Cerita-cerita itu selalu mengundang gelak tawa, namun ditutup dengan kalimat khas: “Itu semua tidak terjadi di kampung ini, tapi di kampung sebelah.” Sebuah sindiran tajam khas Surabaya, jenaka, tapi menggigit.
Pengalaman itu, bagi Kongso, membentuk kesadaran awal bahwa teater rakyat bukan sekadar hiburan. Ia adalah cermin sosial, alat kritik, sekaligus medium untuk menjaga kewarasan kolektif.
Teater, dalam hidup Kongso, juga bukan sesuatu yang datang dari ruang hampa. Ayahnya pernah memimpin kelompok ludruk. Lingkungan keluarga dan pergaulan dengan para seniman ludruk membentuk karakter artistiknya—kocak, egaliter, penuh persahabatan, namun tajam dalam membaca realitas.

“Saya tidak merasa sebagai seniman yang sedang bekerja,” ujarnya, mengenang masa-masa menyutradarai lakon. “Saya menjalani pekerjaan dari lingkungan yang mendewasakan saya.”
Kesadaran itu menjelaskan mengapa, dalam perjalanan panjangnya, Kongso selalu menempatkan proses sebagai inti. Bagi dia, latihan bukan hanya soal teknik, tetapi ruang pembentukan karakter: belajar mendengar, belajar bekerja bersama, dan belajar menerima ketidaksempurnaan.
Teater, Perang, dan Ketahanan Manusia
Dalam sambutannya, Kongso juga menyebut kisah yang diceritakan anaknya, yang pernah belajar di Polandia. Dari sana, muncul percakapan dengan Andriy Bondarenko, dramaturg Teater Boneka di Lviv, Ukraina—seorang seniman yang justru semakin termotivasi berkarya di tengah invasi Rusia.
Sebagian seniman di Ukraina, kata Kongso, tetap membuat pertunjukan. Teater menjadi medium untuk menceritakan pengalaman-pengalaman paling menyedihkan selama perang. Di tengah kehancuran, teater hadir bukan sebagai pelarian, tetapi sebagai kesaksian.
Kisah itu menjadi penguat keyakinannya: bahwa teater selalu menemukan jalannya, bahkan di situasi paling ekstrem. Ketika dunia runtuh, manusia tetap membutuhkan ruang untuk bercerita.
Bertahun-tahun berkecimpung di dunia teater membuat Kongso sampai pada satu kesimpulan: pengabdian dan konsistensi tidak lahir dari keteguhan tanpa goyah. Justru sebaliknya, keduanya lahir dari kesetiaan pada kegelisahan.
“Kegelisahan yang menuntun kita mencari jawaban di dalam laku artistik, bukan di luar,” tuturnya.
Ia mengakui, tidak semua tahun terasa mudah. Ada masa kelompok bubar, panggung tidak tersedia, dana menghilang, dan dunia lebih tergoda oleh hiburan instan ketimbang kerja artistik yang mendalam. Namun, justru pada momen-momen sunyi itulah teater menunjukkan kekuatannya.
“Ia selalu memanggil kita kembali,” kata Kongso, “bukan karena glamornya, tetapi karena ia menantang kita untuk tetap manusiawi.”
Dalam refleksi yang lebih konseptual, Kongso menyebut kajian performativitas yang memandang teater bukan sekadar seni pertunjukan, melainkan ruang produksi makna. Teater hidup dalam relasi: antara pemain dan penonton, antara teks dan tubuh, antara ingatan dan imajinasi.

Karena itu, pengabdian pada teater sejatinya adalah pengabdian pada relasi-relasi kemanusiaan. Di atas panggung, setiap tindakan kecil memiliki resonansi; setiap keputusan artistik memuat etika.
Ia percaya, pembentukan karakter manusia yang paling kuat justru lahir dari proses teater: disiplin kolektif, keberanian menghadapi kegagalan, kemampuan mendengar, dan kesediaan untuk terus berubah. Nilai-nilai ini, baginya, melampaui teknik artistik semata.
Kerja Kolektif yang Tak Pernah Tunggal
Penghargaan Pengabdian Seumur Hidup, menurut Kongso, bukan milik individu. Teater tidak pernah tumbuh oleh satu orang. Ia adalah kerja kolektif yang ditopang oleh banyak tangan yang jarang terlihat: mentor, rekan, teknisi, penonton, hingga generasi muda.
“Saya ingin menghaturkan penghormatan kepada semua yang pernah bekerja bersama saya,” ujarnya. “Tanpa kalian, perjalanan ini tidak akan pernah lengkap.”
Pernyataan itu menegaskan satu hal penting: bahwa penghargaan ini bukan puncak karier personal, melainkan pengakuan atas sebuah ekosistem yang tumbuh bersama.
Di tengah rasa syukur, Kongso menyelipkan refleksi kritis. Ia menyoroti kenyataan bahwa di banyak tempat, teater masih dipandang sebagai kegiatan pinggiran. Padahal, teater adalah laboratorium sosial—tempat konflik diolah, tubuh menjadi medium pernyataan politik, dan bahasa diuji daya etiknya.
Ia mendorong lembaga budaya, institusi pendidikan, dan pemerintah untuk lebih serius memikirkan keberlanjutan ekosistem seni pertunjukan: ruang latihan yang layak, akses pendidikan artistik, pendampingan kelompok muda, dan jaringan kolaborasi lintas daerah.
“Teater bukan hanya milik masa lalu,” tegasnya. “Teater adalah arena masa depan.”
Bagi Kongso Sukoco, penghargaan ini bukan akhir perjalanan. Ia justru menjadi pengingat bahwa kerja pengabdian tidak pernah selesai. Di luar gedung pertunjukan, generasi baru sedang mencari bahasa artistiknya sendiri, sering kali dalam keterbatasan, sering kali tanpa sorotan.
Ia berharap perjalanannya menjadi bukti bahwa konsistensi itu mungkin, ketulusan tetap relevan, dan teater masih menemukan tempatnya di tengah masyarakat.
Tugas bersama, menurutnya, bukan hanya mempertahankan, tetapi memperluas: cakrawala estetika, jangkauan sosial, dukungan institusional, dan keberanian untuk berkata jujur di tengah dunia yang semakin bising.

Epilog: Teater sebagai Ruang Bertemu
Menutup sambutannya, Kongso menyampaikan terima kasih kepada Festival Teater Indonesia, TITIMANGSA, PENASTRI, para kolega, murid, sahabat, dan keluarga yang memberinya alasan untuk bertahan.
“Semoga teater selalu menjadi ruang kita bertemu,” katanya, “ruang di mana kita membaca ulang manusia, merawat harapan, dan membangun kesadaran bahwa hidup yang benar-benar kuat hanya mungkin ketika dijalani bersama.”
Malam itu, di Mataram, penghargaan Pengabdian Seumur Hidup bukan sekadar seremoni. Ia menjadi penanda bahwa kesetiaan panjang pada teater, dengan segala jatuh-bangunnya, masih memiliki tempat terhormat dalam lanskap kebudayaan Indonesia.***
#Akuair-Ampenan, 13-12-2025































