Lakon Borka 2025: Adaptasi “Belfegor” Karya Kiki Sulistyo

Kamis, 11 Desember 2025 - 09:20 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Teater  adalah cermin terdalam manusia (Foto: Aks)

Teater adalah cermin terdalam manusia (Foto: Aks)

Catatan Agus K Saputra

CERAKEN.ID- Hari pertama Festival Teater Indonesia (FTI) digelar di Taman Budaya Mataram pada  10  Desember 2025. Teater Lho Indonesia mendapat kesempatan tampil pertama, kembali menunjukkan konsistensinya sebagai kelompok yang berani menembus batas antara teks sastra dan ruang pertunjukan.

Sutradara Teater Lho Indonesia R. Eko Wahono menghadirkan Lakon Borka, adaptasi dari cerpen “Belfegor” karya sastrawan Kiki Sulistyo. Karya ini bukan sekadar pengalihwahanaan dari prosa ke panggung, melainkan juga upaya menggali lapisan-lapisan simbolik dan metaforis dalam teks asal untuk diolah menjadi pengalaman teaterik yang mengguncang.

Dalam konteks FTI 2025, Lakon Borka bukan sekadar representasi naratif, tetapi semacam ritual pencarian makna di tengah dunia yang terus kehilangan orientasi spiritualnya. Ia menggabungkan mistisisme, trauma sejarah, dan kritik terhadap keserakahan kapitalistik dalam bentuk simbol-simbol panggung yang menggetarkan.

Para pemeran utama terdiri dari Yulianerny (Nenek), Bagus Maulana (Borka), Sopiyan Sauri (Paman), dan Witari Ardini (Sirin). Didukung oleh kru yang tak kalah penting: Gde Agus Mega sebagai penerjemah bunyi, Sanggaita sebagai penembang, Kharisma Priasa sebagai penata visual, Akmal Sasak sebagai penata artistik/lighting, Agus Saputra sebagai produser, dan “duo” Kru Artistik: Salam Efendi dan M. Wahyu Ramdani.

Nama-nama ini menunjukkan keterpaduan antara latar belakang aktor yang beragam dan generasi muda.  Antara penyair dan pemusik, antara penata bunyi dan penggerak visual, yang menjadikan Borka bukan hanya lakon, melainkan peristiwa artistik kolektif.

Konteks Produksi dan Estetika Adaptasi

“Belfegor” karya Kiki Sulistyo menjadi titik berangkat konseptual bagi Eko. Dalam mitologi, Belfegor adalah iblis yang melambangkan kemalasan, keserakahan, dan penemuan kekayaan.

Dalam versi Kiki Sulistyo, “Belfegor” bukan sekadar entitas mitologis. Melainkan simbol yang mengendap di bawah sadar manusia modern, yang menjadikan pengetahuan dan sains sebagai alat kekuasaan.

Eko membaca lapisan laten itu dengan perspektif teater. Eko mengalihkan “Belfegor” ke Borka, tokoh yang mewarisi ambisi, rasa bersalah, dan kutukan keluarga. Ruang bawah tanah dalam lakon menjadi metafora bagi ruang bawah sadar manusia, tempat tersimpannya hasrat terlarang dan pengetahuan gelap yang terus menggoda.

Siapa sebenarnya iblis itu: Borka, Nenek, Sirin, Paman atau diri kita sendiri? (Foto: Aks)

Secara estetis, pertunjukan ini menggabungkan realitas domestik (Nenek, Paman, Cucu) dengan simbolisme metafisik (bola cahaya, suara rantai, ruang bawah tanah). Ruang bawah tanah yang dilarang untuk dimasuki menjadi pusat ketegangan dramaturgis, pertemuan antara larangan moral, rasa ingin tahu, dan godaan kekuasaan.

Dari segi tata panggung, Eko tetap mempertahankan minimalisme yang khas Teater Lho Indonesia. Panggung dibangun dari peti-peti kayu, kursi tua, dan siluet cahaya suram, menciptakan atmosfer misterius yang membuat penonton seolah ikut terjebak dalam dunia Borka.

Bunyi-bunyian rantai, derit engsel, dan desis napas menjadi elemen dramaturgi audial yang memperkuat suasana psikologis.

Penataan artistik oleh Akmal Sasak menampilkan kontras antara ruang atas yang remang dan ruang bawah yang berlimpah simbol. Semua itu adalah metafora tentang regenerasi yang terkutuk: bahwa kelahiran pun bisa menjadi kelanjutan dari kejahatan sejarah.

“Konsepnya memang minimalis, namun bukan minimalis yang kosong. Tetapi minimalis yang bekerja melalui simbol, mewakili ruang masa lalu, ruang imaji, ruang pikir, dan ruang masa kini,” ulas Akmal.

Sementara itu, penerjemah bunyi (sound interpreter) oleh Gde Agus Mega menjadi salah satu elemen inovatif. Ia bukan sekadar penata suara, tetapi pengalih makna bunyi menjadi “bahasa bawah sadar” yang menuntun penonton masuk ke lapisan psikoakustik pertunjukan.

Bunyi rantai, langkah berat, dengus napas, bahkan keheningan, menjadi dialog yang sama pentingnya dengan teks lisan.

“Musik harus melampaui melodi. Setidaknya, ia harus menjadi tekstur, timbre, napas, dan gema dari sebuah kehidupan yang ditekan,” ujar Agus Mega.

Struktur dan Dramaturgi: Rahasia di Ruang Bawah Tanah

Struktur Borka dibangun melalui lima adegan yang menanjak dalam ketegangan simbolik. Dramaturgi Eko menolak linearitas. Eko lebih memilih sirkularitas, di mana awal dan akhir saling memantul, membentuk lingkaran tak berujung dari hasrat dan kutukan.

Baca Juga :  Kembalinya Senyum Dewi Rengganis: Wayang Sasak Menjaga Wastra dan Ingatan Budaya

Adegan Pertama: Kesunyian dan Kejatuhan

Panggung dibuka dengan kegelapan total. Ada pendar cahaya yang menyinari Borka di antara peti-peti kayu.

Borka berbicara kepada penonton dengan nada monolog yang menembus jarak fiksional. Dari sini, penonton segera tahu bahwa pertunjukan ini bukan sekadar drama realis, melainkan teater reflektif, antara realitas dan kesadaran yang terbelah.

Borka mengutuk Sirin, Nenek, dan Paman dalam satu napas yang getir. Ia berbicara pada penonton, menantang persepsi mereka tentang kewarasan. Di sinilah Eko mempermainkan batas antara aktor dan penonton, antara realitas dan delusi.

Adegan Kedua: Penurunan ke Dunia Bawah

Nenek menyeret Borka masuk ke ruang bawah tanah. Adegan ini menjadi inti simbolik lakon.

Lakon ini menyentuh persoalan yang lebih luas: kerakusan elite politik, eksploitasi sumber daya, dan hilangnya spiritualitas dalam peradaban materialistik (Foto: Aks)

Dalam tradisi mitologis, turun ke bawah adalah perjalanan spiritual menuju kegelapan diri. Bola cahaya yang muncul dari kegelapan menjadi lambang Belfegor, iblis pengetahuan dan kekayaan.

Melalui visual sinematik, layar yang menampilkan potongan-potongan sejarah kekerasan (perang, genosida, ledakan nuklir). Eko membawa tema iblis kekayaan ke wilayah sejarah manusia modern.

Seolah ia ingin berkata, iblis itu kini bernama kapitalisme, sains tanpa nurani, dan penemuan tanpa empati.

Adegan Ketiga: Eros dan Rahasia

Hubungan Borka dan Sirin menghadirkan ketegangan antara cinta, rahasia, dan dosa. Mereka menari di atas ranjang kayu. Tubuh mereka seolah kapas ditiup angin, gerak yang ringan tapi menyimpan potensi kehancuran.

Sirin adalah perempuan “berambut pirang dan bertato”, simbol tubuh modern yang dikuasai citra dan rahasia terbuka. Di tangan Eko, adegan ini bukan erotisme banal, melainkan sublimasi erotik: cinta sebagai bagian dari kutukan yang diwariskan.

Adegan Keempat: Benturan Ideologi dan Hasrat

Konflik antara Nenek dan Paman menandai pertarungan generasi. Nenek menjadi penjaga tradisi, Paman mewakili ambisi modernitas. Dialog mereka yang sarkastik memperlihatkan bagaimana kekuasaan pengetahuan dan keserakahan selalu mencari justifikasi moral.

Adegan ini mengingatkan pada gaya teater epic, penonton tidak larut dalam emosi, tetapi diajak berpikir. Setiap tawa Nenek yang parau adalah bentuk alienasi yang membuat penonton menyadari absurditas ambisi manusia.

Adegan Kelima: Kelahiran dan Kutukan

Puncak pertunjukan terjadi ketika ruang bawah tanah berubah menjadi kamar bersalin. Sirin melahirkan bayi yang mengeluarkan suara serak seperti burung malam. Tanda kelahiran kutukan baru.

Visualisasi kain putih ditingkahi lengkingan Sirin  menjadi simbol genealogis: bahwa iblis dan manusia lahir dari rahim yang sama. Ketika Borka tertawa di akhir adegan, itu bukan kemenangan, melainkan ironi dari siklus tak berujung. Manusia melahirkan iblis dari rahim peradabannya sendiri.

Secara simbolik, Borka berbicara tentang keturunan dosa. Warisan ambisi dan ketamakan yang turun-temurun. Tiga generasi: Nenek, Paman, dan Cucu (Borka), merupakan rantai sejarah yang tak pernah putus dari godaan kekuasaan.

Ruang bawah tanah adalah metafora dari kesadaran kolektif bangsa yang menyembunyikan trauma Sejarah. Kolonialisme, perang, penindasan, dan kerakusan ekonomi. Sementara bola Belfegor mewakili pengetahuan modern yang kehilangan moralitas.

Eko dengan visinya memanfaatkan simbol cahaya dan gelap sebagai oposisi ganda. Cahaya bukan hanya pencerahan, tetapi juga penyingkap dosa.

Gelap bukan hanya kebodohan, tetapi ruang refleksi spiritual. Maka, “turun ke ruang bawah tanah” berarti berani menghadapi kegelapan diri sendiri, dan itulah momen pencerahan sejati.

Dalam mitologi Arab, Sirin adalah nama bidadari, namun di sini ia menjelma sebagai perempuan bertato, pembawa rahasia, sekaligus pengkhianat. Sementara Borka (dari akar kata “bork” – pecahan, retak) menunjukkan manusia yang sudah tidak utuh—retak oleh ambisi dan kutukan leluhur (Foto: Aks)

Musik dan tembang yang mengalun lirih, hasil interpretasi Sanggaita, berfungsi bukan sebagai latar, melainkan “nafas spiritual” pertunjukan. Ia membawa aroma tradisi ke dalam modernitas panggung, menciptakan dialog lintas budaya antara mistisisme lokal dan wacana global tentang kekuasaan.

Bahkan, pilihan nama Sirin bukan kebetulan. Dalam mitologi Arab, Sirin adalah nama bidadari, namun di sini ia menjelma sebagai perempuan bertato, pembawa rahasia, sekaligus pengkhianat. Sementara Borka (dari akar kata “bork” – pecahan, retak) menunjukkan manusia yang sudah tidak utuh—retak oleh ambisi dan kutukan leluhur.

Ruang Eksperimen dan Etika Seni

Sejak berdiri, Teater Lho Indonesia dikenal sebagai kelompok yang menjadikan teater bukan sekadar hiburan, melainkan ruang penyelidikan eksistensial. Eko , sebagai sutradara, tidak hanya mengarahkan pemain, tetapi juga meneliti tata kesadaran manusia dalam tubuh dan ruang.

Dalam Borka, prinsip itu tampak jelas. Pemain tidak sekadar berakting, melainkan menjadi wadah peristiwa. Mereka membawa tubuhnya ke batas antara realitas dan halusinasi, sebagaimana antara lain dilakonkan Sopiyan Sauri (Paman).

Baca Juga :  Resonansi: Getaran Seni Rupa Mandalika Menyambut HUT NTB ke-67

“Paman, dikemas sebagai sosok licik, ambisius, dan penuh akal. Sebuah dimensi yang mengharuskannya mengolah tubuh dan teks dengan cara yang tidak kaku, bahkan cenderung merdeka,” tafsir Sopiyan

Yulianerny (Nenek) tampil memukau dengan suara seraknya yang menyerupai gema burung malam. Ia bukan lagi manusia, melainkan penjaga antara dua dunia.

Dalam proses kreatifnya, Yulianerny menghadapi tantangan yang jarang dibicarakan dalam dunia teater: keterlibatan tubuh dalam budaya yang tidak sehari-hari ia praktikkan. Salah satunya adalah adegan mengunyah sirih pinang, atau memamaq dalam bahasa Sasak.

Pada tahap awal, tubuhnya menolak: mual, pusing, bahkan sampai muntah. “Namun teater adalah ruang disiplin, tempat para aktor menundukkan ego dan melatih tubuh untuk menerima yang baru,” urai Erny.

Sementara Bagus Maulana (Borka) menghadirkan sosok muda yang terjebak antara nalar dan iman. Ia tidak berteriak, tetapi tubuhnya menggigil, menunjukkan pergulatan batin yang subtil.

“Memerankan Borka menuntut kesiapan mental dan fisik. Karakter ini tidak menawarkan kenyamanan: ia penuh lapisan, penuh kontradiksi, dan memiliki dunia batin yang rumit,” kata Bagus.

Witari Ardini (Sirin) menjadi wajah lain dari desire. Kecantikan yang berbahaya, pengetahuan yang menggoda, dan rahasia yang tak bisa ditutup.

“Sirin, bukan sekadar peran yang harus dipahami, melainkan karakter yang harus dihidupi. Mendalaminya berarti merasakan denyutnya, memahami gesturnya, bahkan menemukan ritme tubuh yang merepresentasikan diri Sirin,” jelas Witari.

Sirin melahirkan bayi yang mengeluarkan suara serak seperti burung malam. Tanda kelahiran kutukan baru (Foto: Aks)

Kehadiran penembang dan penerjemah bunyi menjadikan Lakon Borka sebagai teater interdisipliner. Di sini, suara, gerak, dan teks berpadu membentuk kesadaran bersama, sebuah pengalaman yang lebih mendekati ritual ketimbang pertunjukan konvensional.

Teater Lho Indonesia, lewat Lakon Borka, menunjukkan bahwa teater masih bisa menjadi ruang kritik moral di tengah zaman yang serba komodifikasi. Ia menegaskan bahwa seni tidak harus tunduk pada pasar, tetapi bisa menjadi tindakan spiritual dan etis.

Secara sosial, Borka dapat dibaca sebagai alegori atas masyarakat kontemporer yang dikuasai logika kapital dan obsesi kekayaan. Belfegor sebagai iblis kekayaan menjadi representasi sistem yang menuntun manusia untuk berambisi tanpa batas, dan akhirnya terperangkap dalam kutukan sendiri.

Dalam konteks Indonesia modern, lakon ini menyentuh persoalan yang lebih luas: kerakusan elite politik, eksploitasi sumber daya, dan hilangnya spiritualitas dalam peradaban materialistik.

Eko tidak menyodorkan moral hitam putih, tetapi membiarkan penonton menafsirkan: siapa sebenarnya iblis itu: Borka, Nenek, Sirin, Paman atau diri kita sendiri?

Dengan menghadirkan ruang bawah tanah sebagai ruang imaji kolektif, Borka menegur kesadaran publik: bahwa di balik kemajuan teknologi dan ekonomi, masih ada “suara rantai” yang diseret dari masa lalu: trauma, ketimpangan, dan dosa sejarah yang belum tuntas.

Antara Mimpi dan Kutukan

Lakon Borka menutup pertunjukan dengan tawa yang mengerikan. Tawa Borka bukan tanda kemenangan, tetapi pernyataan bahwa kutukan akan terus lahir.

Ia menegaskan tesis utama pertunjukan ini. Manusia modern tidak lagi dikutuk oleh iblis, melainkan menciptakan iblisnya sendiri melalui ambisi, keserakahan, dan ketidaksadaran spiritual.

Dengan adaptasi yang subtil, struktur non-linear, dan simbolisme kuat, Borka memperkaya khazanah teater kontemporer Indonesia. Ia bukan sekadar pertunjukan, tetapi pengalaman filosofis yang mengajak penonton merenungkan arti “ruang bawah tanah” dalam diri masing-masing.

Eko bersama Teater Lho Indonesia, sekali lagi menunjukkan bahwa teater adalah cermin terdalam manusia. Tempat segala rahasia, dosa, dan harapan bertemu dalam satu ruang yang disebut “panggung”.

Dengan Borka, Teater Lho Indonesia bukan hanya menafsir cerpen, tetapi menafsir dunia. Ia menembus batas seni, filsafat, dan spiritualitas, menghadirkan teater sebagai pengalaman yang menggetarkan, menggugat, dan menyembuhkan sekaligus.

#Akuair-Ampenan, 11-12-2025

Penulis : Aks

Editor : Ceraken Editor

Sumber Berita : Liputan

Berita Terkait

Dari Benang ke Panggung Budaya: Gelar Wastra Dekranasda NTB Hidupkan Tenun Dua Pulau
Kembalinya Senyum Dewi Rengganis: Wayang Sasak Menjaga Wastra dan Ingatan Budaya
“Melet Bedait”: Ratapan Lama dalam Napas Baru Lombok Ethno Fusion
Resonansi yang Menyatu: Pameran Perdana Mandalika Art Community di Taman Budaya NTB
Resonansi: Getaran Seni Rupa Mandalika Menyambut HUT NTB ke-67
Kongso Sukoco: Kesetiaan yang Melawan Ekosistem
Menjadikan Kebudayaan sebagai Isu Utama
Simposium Kebijakan Kebudayaan Warnai Rangkaian Festival Teater Indonesia 2025 di NTB

Berita Terkait

Sabtu, 20 Desember 2025 - 12:10 WITA

Kembalinya Senyum Dewi Rengganis: Wayang Sasak Menjaga Wastra dan Ingatan Budaya

Sabtu, 20 Desember 2025 - 09:25 WITA

“Melet Bedait”: Ratapan Lama dalam Napas Baru Lombok Ethno Fusion

Rabu, 17 Desember 2025 - 08:19 WITA

Resonansi yang Menyatu: Pameran Perdana Mandalika Art Community di Taman Budaya NTB

Senin, 15 Desember 2025 - 11:27 WITA

Resonansi: Getaran Seni Rupa Mandalika Menyambut HUT NTB ke-67

Minggu, 14 Desember 2025 - 20:17 WITA

Kongso Sukoco: Kesetiaan yang Melawan Ekosistem

Berita Terbaru

Apa yang mereka lakukan berangkat dari kesadaran sebagai manusia biasa  (Foto: ist)

AGENDA SOSIAL

Seni sebagai Kesaksian Zaman: Solidaritas dari Mataram untuk Sumatera

Selasa, 23 Des 2025 - 01:12 WITA

The Last Fruit mengandung metafora yang kuat. Ia terdengar sederhana, tetapi sekaligus menggetarkan (Foto: bp)

TOKOH & INSPIRASI

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Des 2025 - 20:32 WITA

Karya-karya Pak Kisid (kanan) hadir sebagai penanda bahwa seni tidak hanya berbicara tentang bentuk dan warna, tetapi juga tentang nilai dan tanggung jawab.(Foto: ist)

TOKOH & INSPIRASI

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Senin, 22 Des 2025 - 18:32 WITA

Dari Sumbawa, sebuah gagasan sedang dirajut: bahwa masa depan literasi daerah tidak harus gemerlap, tetapi harus berakar (foto: NR)

KEARIFAN LOKAL

Menggagas Perpustakaan Tematik: Jalan Sunyi Literasi dari Tana Samawa

Senin, 22 Des 2025 - 16:54 WITA

Dipsy Do tergolong band baru, lahir dari jam-jam sepulang kerja (Foto: Konser Lombok)

MUSIC & SHOW BIZZ

Dipsy Do di Soundrenaline 2025: Dari Mataram ke Pusat Hiruk-Pikuk Modernitas

Senin, 22 Des 2025 - 15:50 WITA