Cerpen Salam Efendi
CERAKEN.ID- “Senja terakhir dihutan Permana, jelmaan yang bersinar dari Alam Permata, sang penunggu hutan dan penjaga gerbang gaib Jaka Permana”. –Alam Gaib & Dunia manusia
“Mungkin, yang kita sebut misteri hanyalah bagian dari hidup yang belum sempat kita pahami. Dan yang kita sebut gaib, mungkin hanyalah saudara jauh yang terlalu lama tinggal di seberang. Suatu hari, ketika semua rahasia terbuka, kita akan tahu, batas itu tidak pernah ada, kecuali dalam kepala kita sendiri. Tak ada garis batas yang benar-benar kokoh. Saat senja tiba dan kabut merayap, saat mimpi lebih nyata daripada kenyataan, manusia dan makhluk gaib berjalan di tepian yang sama. Tidak ada pemenang atau pecundang, hanya dua dunia yang saling mengintip, saling meraba, lalu kembali ke tempatnya masing-masing.”
Mukti masih ingat sore itu, senja yang memerah bagai luka yang tak berhenti mengucur masih ia lihat. Langit seperti merangkai anyaman warna darah dan emas, berlapis-lapis di atas cakrawala yang sekarat. Udara sarat dengan rasa kehilangan, seolah setiap helaan napas mengandung serpihan debu masa lalu.
Hutan Permana, yang dulu teduh dan rimbun, kini berdiri sekarat. Rindang yang pernah menjadi naungan para burung kini hanya menyisakan tulang-tulang pohon yang menghitam. Pohon-pohon besar yang pernah menjadi penyangga langit tergeletak rebah, batangnya terbelah, kulitnya menghitam oleh mata gergaji. Bau getah yang membeku bercampur dengan aroma kematian daun-daun yang tak sempat gugur pada waktunya.
Angin membawa bau serbuk kayu dan tanah yang tercabik. Di ujung pandang, Mukti melihatnya, perempuan itu. Rambutnya hitam tergerai, panjangnya seperti mengalir dari puncak malam. Setiap helainya memantulkan cahaya senja seperti benang sutra yang terbakar dari dalam. Laksita Ratnaloka Permana Sari, nama yang lebih sering dibisikkan dengan takut-takut ketimbang disebut lantang.
Dulu, orang bilang ia adalah penunggu hutan, roh jelmaan cahaya dari alam permata, yang menjaga gerbang gaib di tengah rimba. Namanya mengalir di sungai-sungai, hadir di bisikan ibu kepada anaknya saat malam terlalu sunyi, dan menghuni mimpi-mimpi tua yang dilupakan orang. Tapi sejak hutan ini dibabat untuk lahan sawit, ia tak lagi terlihat, sampai pada suatu sore, di tepi sungai mati.
Laksita lahir bukan dari rahim manusia, tapi dari desir angin yang mengelus pucuk bambu, dari air hujan pertama yang jatuh di tanah suci, dan dari sinar bulan yang memantul di kelopak bunga liar. Ia adalah harmoni dari unsur-unsur yang tak mengenal kelahiran atau kematian. Setidaknya, begitu kata orang tua dulu. Ia tumbuh tanpa umur yang jelas, wajahnya tak pernah berubah, matanya bening seperti menampung seluruh rahasia malam. Tatapannya bukan sekadar melihat, tapi menembus hingga ke lapisan terdalam jiwa yang menatapnya.
Ia jarang menampakkan diri, kecuali pada hewan-hewan yang terluka atau pada anak-anak yang tersesat di hutan. Bagi mereka, ia adalah tangan yang menyentuh tanpa meninggalkan jejak, suara yang membimbing tanpa pernah terlihat. Bila ia lewat, daun-daun bergetar tanpa angin, dan bunga liar bermekaran tanpa musim. Seolah alam bersekongkol untuk merayakan keberadaannya.
Sampai suatu hari, ia bertemu seorang pemuda pemburu yang tersesat di rimba, mata tajam, suara lembut, dan hati yang terpikat pada keindahan yang tak bisa dimiliki manusia. Mereka berbicara berjam-jam di tepi sungai yang kala itu masih hidup.
Pemuda: “Siapakah engkau, yang membuat air ini memantulkan cahaya meski bulan belum naik?”
Laksita: “Aku hanya bayangan yang tak ingin dikenang.”
Pemuda: “Kalau begitu, izinkan aku menjadi cahaya yang tetap mengingatmu.”
Sejak pertemuan singkat itu, mereka sering bertemu diam-diam. Hutan menjadi saksi bisu, menyimpan rindu di antara gemerisik dedaunan dan bisik air sungai. Cinta tumbuh, tapi seperti bunga hutan yang indah, ia juga rapuh. Pemuda itu terikat pada dunia manusia, pada janji yang tak bisa ia lepaskan. Kabar pernikahannya dengan gadis lain sampai ke telinga Laksita, bagai petir di langit yang sudah kelam. Rasa yang dulu mekar kini layu, meninggalkan duri yang menusuk dari dalam.
Hari itu, langit seperti meratap. Awan menggumpal kelabu, angin menampar dedaunan yang tersisa. Mukti melihatnya dari jauh, duduk di tepi sungai mati, airnya tak lagi mengalir, hanya genangan coklat yang memantulkan senja seperti darah beku.
Ia menyisir rambutnya pelan, setiap helai jatuh bagai waktu yang tak bisa diulang. Gerakannya begitu tenang, tapi di baliknya tersimpan badai yang siap memutus tali kehidupan. Di pangkuannya, tergeletak keris pusaka bergagang burung runting, warisan gaib yang katanya bisa memutuskan ikatan jiwa dengan dunia.
Mukti: “Jangan… hidupmu lebih indah dari semua ini.”
Laksita: tersenyum pahit “Kau salah… aku tak pernah hidup di dunia yang kau pijak.”
Mukti: “Kalau begitu, tetaplah di dunia yang kau miliki.”
Laksita: “Hutan ini adalah duniaku… dan ia telah mati.”
Ia berdiri. Matahari terakhir menimpa wajahnya, membuatnya tampak bercahaya sekaligus hancur. Dalam cahaya itu, ada kemegahan yang nyaris ilahi, namun juga kehancuran yang tak bisa disembuhkan. Lalu, dengan gerakan lambat seperti tarian perpisahan, ia menusukkan keris itu ke dadanya. Waktu seperti berhenti, bahkan angin menahan napasnya. Darahnya jatuh ke tanah yang dulu subur, meresap seperti ingin membangunkan hutan yang telah tiada.
Kini, setiap kali Mukti melewati kebun sawit itu, Mukti masih mencari jejaknya. Tidak ada lagi aroma bunga liar, tidak ada desir daun bambu. Yang tersisa hanyalah barisan pohon yang sama tinggi dan sama dingin, menatap kosong tanpa sejarah. Tapi kadang, di tepi sungai mati, Mukti melihat bayangan rambut panjang dan selendang merah yang berkibar tanpa angin. Orang bilang itu hanya halusinasi. Mukti tak peduli. Karena di senja terakhir hutan Permana, Mukti melihat sendiri, penunggu hutan itu memilih mati bersama dunia yang ia cintai.
Malam itu, bulan separuh tergantung di langit seperti luka putih yang tak sembuh. Hutan Permana sudah sunyi. Tak ada lagi kicau burung malam, hanya desir angin yang membawa bau tanah lembab bercampur sisa arang dari pembakaran hutan beberapa minggu lalu.
Laksita duduk di tepi sungai mati, airnya hitam dan nyaris tak bergerak, seperti cermin yang menolak memantulkan masa depan. Rambutnya tergerai, jari-jarinya yang ramping mengurai setiap helai seakan ingin melepaskan beban yang menjerat hatinya.
Dari jauh, terdengar langkah seseorang. Suara itu familiar, suara yang dulu membuat dadanya berdebar, tetapi kini hanya memicu perih. Ia menoleh, dan di antara bayang pepohonan yang meranggas, muncullah Arga, pemuda yang pernah bersumpah akan menjaganya.
Namun mata Arga kini asing, dingin seperti bilah baja yang pernah ia ciumkan ke keningnya.
Arga: “Laksita… pulanglah. Hutan ini tak lagi menjadi rumahmu.”
Laksita: (tersenyum pahit) “Bagaimana aku pulang, Arga, jika rumahku adalah pepohonan yang telah kau tumbangkan?”
Arga: “Aku… hanya menjalankan perintah.”
Laksita: “Dan aku… hanya menjalankan takdir.”
Angin malam menyibakkan selendang merahnya, memperlihatkan kilatan emas gagang keris pusaka Burung Runting di genggamannya. Keris itu diwariskan dari leluhur, senjata yang katanya mampu membuka gerbang dunia gaib.
Laksita berdiri perlahan, tatapannya menembus Arga seperti menembus tirai hujan.
Laksita: “Kau tahu, Arga, cinta itu seperti hutan. Jika akar-akarnya dicabut, ia akan mati. Kau telah menebangnya dari pangkal.”
Arga terdiam. Bibirnya bergerak, tapi tak ada kata yang lahir. Dalam diam itu, Laksita melangkah mundur, merasakan dinginnya air sungai mati yang menyentuh kakinya.
Laksita: “Aku akan kembali, bukan sebagai manusia, tapi sebagai bisik yang tak akan membiarkanmu tidur.”
Cahaya bulan memantul di bilah keris saat ia mengangkatnya ke dada. Sekali helaan napas panjang, ia menutup mata. Satu detik, dua detik… lalu terdengar suara air terbelah.
Arga berlari, tapi terlambat. Selendang merah itu terapung di permukaan air, perlahan terbawa arus yang tak mengalir. Dan di tepi sungai, hanya tersisa sepasang jejak kaki yang menghilang di batas lumpur dan air.
Malam itu, sungai mati kembali sunyi. Namun sejak saat itu, setiap senja yang turun di bekas hutan Permana, orang-orang sempat sekali dua kali melihat bayangan seorang gadis berkebaya kuning dengan selendang merah, duduk menyisir rambutnya, menatap ke arah yang tak pernah bisa dijangkau mata manusia.
Sejak kemunculan itu, kabar pun berembus dari mulut ke mulut. Anak-anak kecil yang lewat di tepian sungai akan menoleh takut-takut, sementara orang tua hanya menggeleng pelan, seperti menyimpan rahasia yang terlalu tua untuk diurai. Angin senja di bekas hutan Permana membawa aroma basah dedaunan dan tanah, seakan menyelipkan bisikan yang hanya bisa dimengerti mereka yang pernah kehilangan.
Tak ada yang tahu siapa gadis itu, atau dari zaman mana ia datang. Sebagian mengira ia penunggu setia yang menanti seseorang yang tak pernah kembali. Sebagian lain percaya ia hanyalah ilusi mata, lahir dari pertemuan cahaya senja dan riak air yang membeku di muara. Namun bagi mereka yang pernah menatap langsung ke arah wajahnya, ada tatapan jauh yang menusuk, seolah mata itu menyimpan laut tanpa tepi.
Pada malam-malam tertentu, ketika kabut turun terlalu cepat, bayangan berkebaya kuning itu akan tampak lebih dekat dari biasanya. Selendang merahnya berkibar tipis, tak mengikuti arah angin, seperti bergerak mengikuti kehendaknya sendiri. Rambut panjangnya yang basah memantulkan cahaya bulan, sementara sisir kayu di tangannya bergerak pelan, mengurai setiap helai seperti mengurai waktu.
Orang-orang mulai menghindari tepian sungai saat senja menjelang. Bukan karena takut akan celaka, melainkan takut terjebak dalam tatapan itu, tatapan yang bisa membuatmu lupa siapa dirimu, dan menuntun langkahmu menuju tepi air yang gelap. Sungai mati, ia menyimpan nyawa yang tak pernah benar-benar meninggalkan tempat itu.
Namun bagi yang percaya pada cerita, gadis itu bukan ancaman. Ia adalah doa yang tak selesai, tertinggal di udara, menunggu seseorang untuk mengucapkannya dengan benar. Dan selama belum ada bibir yang sanggup melakukannya, setiap senja di bekas hutan Permana akan selalu ditemani oleh gemericik air, aroma tanah basah, dan bayangan seorang gadis berkebaya kuning dengan selendang merah, duduk menyisir rambutnya, menatap ke arah yang tak pernah bisa dijangkau manusia.***
Bulik Timur-Lamandau, Kalteng, 11 Agustus 2025
Penulis : Aks
Editor : Ceraken Editor































