Catatan Agus K Saputra
CERAKEN.ID- Jagat musik Nusantara kembali “dibanjiri” warna etnik-modern. Pada 19 Desember 2025, Lombok Ethno Fusion (LEF) resmi merilis single keempat mereka berjudul “Melet Bedait”, menyusul tiga karya sebelumnya: Sesenggak Sasak, Timur Nusa, dan Mindu. Lagu ini dirilis di seluruh platform digital, sementara video musiknya tengah dipersiapkan untuk segera menyapa publik.
“Ya, rilis di semua digital platform. Untuk musik video segera rilis,” ujar Chandra Irawan, frontman sekaligus motor penggerak LEF, singkat namun penuh optimisme.
Berbeda dari tiga single sebelumnya, “Melet Bedait” memiliki bobot historis dan emosional yang lebih dalam. Lagu ini merupakan karya almarhum Al Mahsyar, sosok legendaris dan sohor di Lombok Timur, pentolan Orkes Pelita Harapan, grup musik yang namanya pernah menjadi penanda zaman dalam sejarah musik Sasak.
Karya-karya Al Mahsyar hingga kini dianggap sebagai kebanggaan budaya Nusa Tenggara Barat (NTB), sekaligus fondasi penting dalam upaya pelestarian musik tradisi Sasak.
Secara tematik, “Melet Bedait” bercerita tentang kehilangan dan kesedihan. Ratapan personal yang dekat dengan pengalaman manusia universal.
Namun di tangan Lombok Ethno Fusion, lagu ini tidak sekadar diulang, melainkan direkomposisi, diberi ruang tafsir baru agar memunculkan warna khas LEF.
Kesedihan yang semula lirih kini bergerak dalam lanskap bunyi yang lebih luas, dialogis, dan kontemporer.
Salah satu kejutan penting dalam single ini adalah hadirnya sentuhan Balawan. I Wayan Balawan, gitaris jazz Indonesia kelahiran Bali yang mendalami musik jazz di Australia, dikenal sebagai satu-satunya gitaris yang mahir memainkan gitar berleher ganda dengan kedua tangannya secara independen, lewat teknik petikan delapan jari.
Sentuhan Balawan memberi lapisan kosmopolitan pada “Melet Bedait”, mempertegas dialog antara Lombok dan dunia.
Kekuatan utama Lombok Ethno Fusion memang terletak pada keragaman latar dan karakter musikal para personelnya. Mereka datang dari dunia bunyi yang berbeda, namun bertemu dalam satu semangat: memperkenalkan budaya Lombok melalui bahasa musik modern.
Chandra Irawan (gitar) menjadi jembatan utama antara Fusion dan tradisi lokal, merajut tekstur harmoni yang menyatukan dua dunia bunyi. Syahrul Barak melalui suling bambu menghadirkan nafas etnik—aroma pegunungan, kesunyian desa, dan kesejukan alam Lombok—yang begitu terasa, terutama bagi pendengar Mindu.
Mariadi “Adi” Basri menjaga denyut tradisi lewat saron dan gendang, menghadirkan gema gamelan Lombok dan spirit gendang beleq. Ritme modern diramu Agustian Putra di drum, sementara Tanya “Anya” Efritzka di keyboard menjaga atmosfer lembut dan kontemporer. Kedalaman bunyi ditopang Lalu Sukmayadi lewat bass yang stabil, dan detail ritme tradisi diperkuat “Ayong” Ferdianto melalui saron dan rencek.
Rekomposisi “Melet Bedait” ini, diakui Syahrul Barak, memberi kebebasan kreatif yang lebih luas. “Supaya lebih leluasa garap musiknya,” ujarnya.
Pernyataan singkat itu justru menegaskan esensi fusion: kebebasan membaca ulang tradisi tanpa kehilangan ruhnya.
Fusion, bagi LEF, bukan sekadar konsep musikal, melainkan gagasan kultural. Ketika Chandra mengatakan bahwa fusion bisa “gabung ke semua jenis musik”, ia sedang berbicara tentang keterbukaan budaya.
Dunia hari ini tak lagi mengenal batas kaku antara “tradisional” dan “modern”. Musik menjadi ruang temu, tempat budaya saling meminjam dan saling memperkaya.
Dalam konteks Lombok, fusion adalah strategi kultural. Melalui pendekatan ini, gamelan dan gendang beleq tidak lagi terdengar asing bagi telinga urban, bahkan global.
Justru sebaliknya, instrumen-instrumen itu menjadi pusat perhatian baru karena diolah dalam pola ritme modern yang akrab bagi generasi hari ini.
Namun jalan ini bukan tanpa tantangan. “Di sini masih minim ketertarikan dengan world music,” aku Chandra. Meski begitu, LEF memilih bertahan pada jalur edukasi dan literasi musikal.
“Sebagai pilihan, kami tetap mengedukasi agar masyarakat di sini bisa mulai menerima jenis musik ini, seperti kami diterima di luar pulau Bali dan Jawa.”
Fakta bahwa LEF pernah tampil di Moscow Jazz Festival 2024 menjadi bukti bahwa musik Lombok memiliki daya jelajah global. Bahkan, undangan dari Sibiu Jazz Festival di Rumania sempat menanti, meski akhirnya batal karena kendala tertentu.
Bagi Chandra, yang akrab disapa Olenk, hal ini tidak mematahkan keyakinan. Ia justru melihatnya sebagai tanda bahwa jalan yang mereka tempuh memiliki resonansi internasional.
Keyakinan itu berpijak pada misi yang lebih besar dari sekadar karier musik. Jika Lombok Ethno Fusion mampu menembus panggung nasional dan internasional, maka budaya Lombok ikut menembus batas geografis dan bahasa.
Musik menjadi duta sunyi yang bekerja tanpa pidato, namun mampu menyentuh banyak telinga.
Karena itu pula, Chandra berharap ada perhatian lebih dari pemerintah. “Produk seperti ini sangat relate dengan pariwisata,” katanya.
LEF bukan hanya band, tetapi representasi identitas budaya yang bisa menjadi wajah Lombok di mata dunia.
Lewat “Melet Bedait”, Lombok Ethno Fusion menunjukkan bahwa ratapan lama tak harus tinggal di masa lalu. Ia bisa hidup kembali, berdialog dengan zaman, dan melangkah jauh.
Menjadi suara Lombok yang terus beresonansi di panggung dunia.
Penulis : aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : Liputan































