Catatan Agus K Saputra
CERAKEN.ID- Dialog Pemajuan Kebudayaan Nusa Tenggara Barat (NTB) Seri ke-4 yang digelar pada Rabu, 3 Desember 2025, di Senggigi, menjadi ruang penting untuk melihat ulang arah gerak kebudayaan daerah. Para peserta berasal dari pemangku kebudayaan Kabupaten Lombok Barat, Kota Mataram, dan Kabupaten Lombok Utara.
Ketua Dewan Kebudayaan Daerah NTB, Prof. Dr. Abdul Wahid, M.Ag., M.Pd, menegaskan bahwa pembagian dialog per wilayah bukan semata teknis penyelenggaraan, melainkan strategi untuk memastikan isu, kebutuhan, dan dinamika lokal terserap lebih fokus dan intensif.
Ia menekankan bahwa kekuatan kebudayaan justru berada di akar rumput, pada komunitas kecil, sanggar, lembaga adat, pelaku seni, dan masyarakat sehari-hari yang menghidupi tradisi dan inovasi.
“Ini baru awal dialog. Tugas kita adalah menghubungkan pemikiran di akar rumput. Di setiap akar rumput ada dinamika kebudayaan, tetapi belum terorkestrasi dengan baik sesuai amanat undang-undang,” ujarnya.
Pernyataan ini mencerminkan kegelisahan sekaligus optimisme bahwa ekosistem kebudayaan NTB sesungguhnya kaya, namun masih terfragmentasi.
Konteks ini semakin relevan ketika melihat performa Indeks Pembangunan Kebudayaan Daerah (IPKD) NTB beberapa tahun terakhir. Data menunjukkan fluktuasi yang menandakan tantangan pada beberapa dimensi strategis.
Penurunan skor IPKD dari 62,56 pada 2019 menjadi 61,26 (2020), dan turun signifikan pada 2021 menjadi 54,73, memperlihatkan adanya persoalan mendasar pada aspek-aspek tertentu yang belum tertangani. Dialog pemajuan kebudayaan yang difokuskan per wilayah, dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan akar rumput, sebenarnya adalah upaya untuk memperbaiki struktur dasar tersebut.
Peta Tantangan Kebudayaan NTB
IPKD NTB 2021 sebesar 54,73 menempatkan NTB dalam kategori sedang, tetapi skor ini menyimpan catatan penting. Empat dimensi berada dalam kategori merah atau kritis, yaitu ekonomi budaya, warisan budaya, kesetaraan gender, dan ekspresi budaya.
Pertama, ekonomi budaya yang hanya mencatat skor 47,97 mengindikasikan bahwa potensi industri kreatif, produk budaya, dan karya seni belum menjadi sumber ekonomi yang kuat bagi masyarakat. Banyak produk budaya lokal, mulai dari kriya, seni pertunjukan, kuliner tradisional, sampai ritual adat, belum mendapat dukungan pemberdayaan dan pemasaran yang memadai.
Kedua, warisan budaya (47,08) menunjukkan minimnya perlindungan aset sejarah, cagar budaya, arsip, tradisi lisan, serta kurangnya dokumentasi yang sistematis. Padahal, NTB memiliki kekayaan warisan budaya Sasak, Samawa, dan Mbojo yang kuat namun rentan hilang oleh modernisasi.
Ketiga, kesetaraan gender dalam kegiatan dan akses budaya (43,18) memperlihatkan bahwa Perempuan, serta kelompok rentan lainnya, belum memiliki ruang representasi yang memadai dalam sektor kebudayaan.
Keempat, dimensi ekspresi budaya berada pada titik terendah (31,43), mencerminkan rendahnya penciptaan dan penyajian karya budaya di masyarakat. Rendahnya angka partisipasi seni terkonfirmasi oleh data 2023: hanya 1,5% masyarakat terlibat dalam kegiatan seni, kunjungan perpustakaan hanya 8,8%, sementara partisipasi ritual adat hanya 21%. Angka-angka ini menunjukkan kecilnya ruang interaksi masyarakat dengan kegiatan budaya formal maupun nonformal.
Sementara itu, dimensi pendidikan budaya, literasi budaya, dan ketahanan budaya menunjukkan performa yang lebih baik. Ini menyiratkan bahwa fondasi untuk menguatkan kualitas manusia dan kapasitas intelektual sebenarnya cukup tersedia. Namun masih ada kesenjangan antara potensi tersebut dengan implementasi kebijakan kebudayaan yang menyentuh kebutuhan lokal.
Dalam dialog tersebut, Prof. Abdul Wahid juga menyoroti pentingnya perguruan tinggi untuk membuka diri dan menjadi bagian aktif dalam gerakan kebudayaan. Ia menekankan bahwa kampus tidak boleh hanya menjadi menara gading akademik, tetapi harus bergerak ke lapangan, mendukung pencatatan, pendampingan, serta penyusunan data yang menjadi dasar pembangunan indeks pemajuan kebudayaan.
Keterlibatan kampus menjadi sangat penting dalam tiga aspek:
- Riset kebudayaan untuk memperkuat data IPKD.
- Pemberdayaan komunitas budaya melalui program pengabdian masyarakat.
- Pengembangan kurikulum dan pelatihan SDM kebudayaan, terutama bagi guru dan fasilitator budaya.
Kontribusi kampus bukan hanya administratif, tetapi juga konseptual: menghasilkan gagasan, metodologi, dan evaluasi berkala terhadap kebijakan pemajuan kebudayaan daerah.
Salah satu tantangan besar NTB adalah sinkronisasi kebijakan yang belum optimal. Banyak kabupaten/kota belum menuntaskan dokumen Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD), padahal PPKD adalah fondasi kebijakan untuk lima tahun ke depan. Tanpa PPKD, arah kebudayaan daerah sulit terukur, tidak terhubung dengan RPJMD, dan tidak dapat dimonitor.
Skema pendanaan juga masih tumpang tindih. Banyak inisiatif budaya mandiri di akar rumput yang tidak mendapat dukungan organisasi perangkat daerah (OPD), sementara program-program pemerintah daerah sering tidak terhubung dengan kebutuhan komunitas.
Masalah lain yang mencolok adalah minimnya data budaya digital, yang berakibat pada lemahnya monitoring IPKD. Data tidak terdokumentasi dengan baik sehingga banyak potensi budaya tidak tercatat dalam indikator nasional.
Meski berbagai tantangan mengemuka, ruang peningkatan kebudayaan NTB sebenarnya cukup luas. Kekuatan utama NTB adalah keberagaman budaya, dinamika komunitas seni, dan ketahanan tradisi lokal.
Ruang peningkatan tersebut dapat difokuskan pada empat bidang utama:
- Peningkatan ekspresi budaya melalui festival, pertunjukan, ruang kreatif, serta dukungan regulasi bagi seni komunitas.
- Penguatan ekonomi budaya melalui program inkubator UMKM budaya, pendampingan pemasaran produk kreatif, sertifikasi, dan pengembangan ekosistem industri kreatif.
- Digitalisasi warisan budaya, termasuk pendataan situs budaya, tradisi lisan, tokoh budaya, karya seni, hingga arsip yang terserak.
- Kebijakan afirmasi gender dan inklusi, terutama dalam pelatihan, kepesertaan, kurasi program, dan akses pendanaan.
Ruang ini harus disertai komitmen anggaran yang lebih terukur serta mekanisme kolaborasi lintas sektor antara pemerintah daerah, kampus, komunitas, dan sektor swasta.
Strategi Rencana Aksi: Menyatukan Langkah Menuju 2029
Untuk memperkuat ekosistem kebudayaan NTB, beberapa strategi rencana aksi telah disusun sebagai bagian dari kerangka pemajuan kebudayaan 2025–2029.
- Finalisasi PPKD dan Integrasi Kebijakan
Prioritas pertama adalah memastikan seluruh kabupaten/kota menyelesaikan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) yang terintegrasi ke dalam RPJMD dan Renstra OPD. Tanpa dokumen ini, kebijakan tidak memiliki arah yang jelas.
- Program Prioritas yang Terukur
Tiga program yang disebutkan sebagai prioritas antara lain:
- Kalender Budaya NTB untuk memastikan kegiatan budaya berlangsung rutin, terjadwal, dan menjadi agenda publik yang diperhitungkan.
- Inkubator UMKM Budaya, untuk mendorong pelaku budaya menghasilkan produk bernilai ekonomi.
- Program Literasi Budaya yang menyasar sekolah, desa, komunitas, dan ruang publik.
- Penguatan SDM Kebudayaan
Pelatihan bagi guru, fasilitator budaya, dan pelaku seni menjadi kunci untuk memperluas kompetensi. SDM yang kuat akan menciptakan ekosistem budaya yang produktif dan berkelanjutan.
- Digitalisasi Data dan Monitoring IPKD
Penguatan basis data digital menjadi prioritas untuk memastikan indikator IPKD dapat dicapai: dokumentasi warisan budaya, kegiatan seni, pelaku budaya, hingga jumlah kegiatan komunitas.
Digitalisasi tidak hanya untuk pencatatan, tetapi juga promosi, edukasi, dan diplomasi budaya.
Boleh dikata, Dialog Pemajuan Kebudayaan NTB menjadi awal dari sebuah proses panjang. Pernyataan Prof. Abdul Wahid menggarisbawahi bahwa dialog bukan kegiatan seremonial, melainkan gerakan kolektif yang harus mempertemukan pemikiran dari bawah ke atas.
Kebudayaan tidak dapat diatur secara top-down; ia tumbuh dari masyarakat, diciptakan komunitas, dan diwariskan melalui praktik sehari-hari.
Dengan memperkuat dialog, menyatukan gagasan, dan membangun kolaborasi lintas sektor, NTB memiliki peluang besar untuk meningkatkan IPKD sekaligus membangun ekosistem kebudayaan yang produktif, inklusif, dan berkelanjutan.
Jika strategi ini dijalankan dengan komitmen yang kuat, NTB dapat bergerak dari kategori sedang menuju kategori unggul dalam pemajuan kebudayaan nasional. Tentu saja, seraya memastikan bahwa akar rumput tetap menjadi pusat dari segala gerak pembangunan budaya.***
#Akuair-Ampenan, 06-12-2025
Penulis : Aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : Liputan
































