Oleh: Giri Arnawa
CERAKEN.ID- Di tengah tuntutan publik terhadap pelayanan yang cepat, transparan, dan bebas dari masalah hukum, pemerintah daerah tidak lagi cukup hanya bekerja “sebaik mungkin”. Yang dibutuhkan hari ini adalah bekerja dengan sadar risiko – atau dalam istilah teknisnya, menerapkan manajemen risiko di setiap urusan pemerintahan.
Sering kali kegagalan program pemerintah bukan karena niatnya buruk, tetapi karena risikonya tidak pernah dipetakan sejak awal. Akibatnya, masalah baru diketahui ketika sudah meledak di permukaan: proyek terlambat, anggaran tidak terserap, masyarakat kecewa, hingga temuan audit yang mencoreng nama daerah.
Di sinilah pentingnya manajemen risiko, terutama bagi Kepala Dinas sebagai pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD) di tingkat provinsi.
Apa Itu Manajemen Risiko di Pemerintahan?
Secara sederhana, manajemen risiko adalah cara kerja yang sistematis untuk:
- Mengenali apa saja yang bisa menghambat atau menggagalkan tujuan dinas,
- Mengukur seberapa besar kemungkinan dan dampaknya,
- Menentukan risiko mana yang harus ditangani lebih dulu, dan
- Melakukan tindakan untuk mengurangi atau mengendalikan risiko tersebut.
Risiko di pemerintahan bukan hanya soal bencana atau korupsi. Ada banyak jenis risiko:
- Risiko strategis – misalnya target RPJMD tidak tercapai.
- Risiko operasional – keterlambatan pengadaan, kelemahan sistem informasi.
- Risiko layanan publik – layanan lambat, antrian panjang, pengaduan menumpuk.
- Risiko keuangan – pengelolaan anggaran dan aset yang tidak tertib.
- Risiko SDM – mutasi tanpa perencanaan, kekurangan kompetensi tertentu.
- Risiko kepatuhan – terlambat menyusun laporan, melanggar regulasi.
- Risiko reputasi – pemberitaan negatif yang menurunkan kepercayaan publik.
Artinya, manajemen risiko bukan barang asing. Banyak yang selama ini sudah dilakukan, hanya belum disusun secara sadar, tertulis, dan terukur.
Kepala Dinas: Dari Manajer Rutin Menjadi “Risk Leader”
Kepala Dinas di provinsi memegang jabatan setara Eselon II. Jabatan ini bukan hanya memimpin urusan teknis, tetapi juga menjadi penjaga arah dan reputasi pemerintahan di sektor yang diampunya.
Peran Kepala Dinas sebagai “Risk Leader” antara lain:
- Menyadari bahwa setiap keputusan punya risiko.
Contoh: menunda lelang demi menunggu kepastian politik juga sebuah keputusan berisiko tinggi terhadap serapan anggaran dan kualitas layanan.
- Meminta peta risiko dari jajarannya.
Bukan hanya minta daftar kegiatan dan laporan serapan, tetapi juga:
“Apa risiko terbesar kegiatan ini, dan bagaimana rencana mitigasinya?”
- Menghubungkan risiko dengan target strategis daerah.
Jika misi gubernur adalah “meningkatkan kesejahteraan petani”, maka risiko yang mengganggu hilir dan hulu pertanian harus dipetakan lebih serius.
- Mendorong budaya jujur terhadap masalah.
Aparat sering enggan mengakui kelemahan karena takut dianggap gagal. Kepala Dinas harus bisa mengatakan:
“Lebih baik kita akui risikonya sekarang, daripada nanti jadi temuan atau bencana.”
Contoh Nyata: Mengapa Risiko Perlu Dipetakan dari Awal?
- Program Bantuan yang Tidak Tepat Sasaran
Bayangkan sebuah dinas meluncurkan program bantuan alat produksi bagi kelompok usaha kecil. Niatnya sangat baik. Namun dalam pelaksanaannya:
- Data penerima tidak diperbarui,
- Mekanisme verifikasi lemah,
- Monitoring paska bantuan minim.
Apa risikonya?
Alat bantuan bisa jatuh ke kelompok yang sama sekali tidak aktif, dijual kembali, atau hanya disimpan tanpa digunakan. Di mata publik, program itu terlihat hanya sebagai “bagi-bagi bantuan” dan bukan upaya pemberdayaan.
Jika sejak awal dilakukan identifikasi risiko, dinas bisa mengantisipasi dengan:
- Memperbarui basis data penerima,
- Mengatur mekanisme verifikasi berlapis,
- Menetapkan indikator keberhasilan paska bantuan (misalnya peningkatan omzet atau produksi).
- Proyek Infrastruktur yang Terlambat
Kasus lain yang sering terjadi adalah keterlambatan proyek fisik, seperti jalan, jembatan, atau jaringan irigasi. Sering kali penyebabnya bukan hanya satu:
- Dokumen teknis belum siap saat masuk tahun anggaran,
- Proses lelang molor,
- Kontraktor kurang kapabel,
- Pengawasan lapangan lemah.
Jika dinas sejak awal membuat peta risiko proyek infrastruktur, maka risiko-risiko itu bisa dipetakan: mana yang bisa dihindari, mana yang harus dikurangi, dan mana yang bisa dipindahkan (misalnya dengan menyusun kontrak yang lebih tegas).
Seorang Kepala Dinas Eselon II harus berperan sebagai: 1.Pengarah Strategi (Risk Leadership)
- Menetapkan konteks dan arah kebijakan risiko.
- Menentukan risk appetite: risiko mana yang boleh diterima, mana yang tidak. 2.Pengambil Keputusan Berbasis Risiko (Risk-Informed Decision Maker)
- Memastikan setiap kebijakan, program, RKPD, Renstra, Renja, dan anggaran telah melalui analisis risiko. 3.Pengendali dan Pengawas (Risk Governance)
- Mengawasi implementasi mitigasi risiko oleh bidang-bidang.
- Membuat laporan profil risiko secara berkala. 4.Penggerak Perubahan Organisasi (Risk Culture)
- Membangun budaya sadar risiko di seluruh dinas.
Lima Langkah Praktis Manajemen Risiko di Dinas
Agar tidak terjebak pada teori semata, manajemen risiko di OPD sebenarnya bisa dimulai dari lima langkah sederhana:
- Menentukan Tujuan yang Jelas
Pertama, dinas harus menjawab: apa tujuan utama kami tahun ini?
Misalnya: meningkatkan cakupan layanan air minum, menurunkan angka buang air besar sembarangan, atau memperluas akses pendidikan menengah.
Tanpa tujuan yang jelas, kita tidak tahu risiko apa yang relevan.
- Mengidentifikasi Risiko
Ajak para kepala bidang, kepala seksi, dan staf kunci untuk duduk bersama menjawab:
- Apa saja yang bisa membuat target ini gagal?
- Apa pengalaman buruk tahun lalu yang jangan sampai terulang?
- Apa yang dikeluhkan masyarakat terkait layanan dinas kita?
Jawaban-pertanyaan itu kemudian dituangkan dalam sebuah daftar risiko.
Contoh untuk program layanan perizinan:
- Sistem online sering gangguan,
- SDM loket kurang,
- SOP tidak dipahami masyarakat,
- Risiko titipan atau intervensi oknum tertentu.
- Menilai Besarnya Risiko
Setiap risiko dinilai berdasarkan:
- Seberapa sering mungkin terjadi? (jarang, kadang-kadang, sering)
- Seberapa berat dampaknya? (ringan, sedang, berat, sangat berat)
Misalnya, gangguan sistem IT mungkin tidak terjadi tiap hari, tapi kalau terjadi, layanan bisa lumpuh total dan keluhan publik membanjir. Berarti risikonya serius dan harus diprioritaskan.
- Menentukan Tindakan Mitigasi
Setelah tahu risiko mana yang paling besar, dinas menyusun langkah-langkah:
- Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah risiko?
- Apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak kalau risiko terjadi?
Contoh mitigasi untuk risiko gangguan sistem layanan:
- Menyiapkan SOP layanan manual sementara,
- Menjalin kerja sama dengan penyedia jaringan untuk respon cepat,
- Menyediakan nomor hotline pengaduan.
Yang penting: mitigasi tidak berhenti sebagai tulisan di kertas, tapi masuk ke rencana kerja dan anggaran.
- Memantau dan Meninjau Ulang
Lingkungan pemerintahan berubah terus: regulasi baru, dinamika politik, kondisi ekonomi, dan bencana alam. Karena itu, daftar risiko tidak boleh disusun sekali lalu dilupakan.
Minimal setiap tiga bulan, Kepala Dinas dapat memimpin rapat pendek:
“Risiko mana yang muncul? Mitigasi mana yang sudah dilakukan? Apakah ada risiko baru?”
Dengan cara ini, manajemen risiko menjadi bagian dari ritme kepemimpinan, bukan sekadar lampiran laporan.
Contoh Sederhana: Risiko di Sekitar Kita
Bagi pembaca umum, mungkin manajemen risiko terdengar rumit. Padahal dalam kehidupan sehari-hari, kita melakukannya tanpa sadar.
- Orang tua yang menyuruh anak memakai helm ketika naik motor sedang mengelola risiko kecelakaan.
- Petani yang menanam lebih dari satu jenis tanaman sedang mengelola risiko gagal panen.
- Pedagang yang menyisihkan sebagian laba untuk cadangan sedang mengelola risiko penurunan penjualan.
Yang membedakan di ranah pemerintahan adalah: skala dampak dan tanggung jawabnya jauh lebih besar, karena menyangkut uang negara dan nasib orang banyak. Karena itulah manajemen risiko harus dibuat lebih formal, tertulis, dan terukur.
Mengapa Masyarakat Perlu Peduli?
Manajemen risiko sering dianggap urusan internal pemerintah. Padahal masyarakat justru menjadi pihak yang paling terdampak jika risiko tidak dikelola.
- Ketika proyek air bersih terlambat, masyarakatlah yang tetap harus membeli air mahal.
- Ketika layanan kesehatan publik terganggu, warga kecil yang paling sulit mendapatkan akses.
- Ketika data tidak akurat, program bantuan bisa salah sasaran.
Masyarakat berhak menuntut pemerintah daerah untuk:
- Menjelaskan apa risiko utama yang mereka hadapi dalam menjalankan program.
- Menyampaikan langkah mitigasi yang sedang dilakukan.
- Melibatkan publik dalam pemantauan layanan.
Artinya, manajemen risiko bukan hanya soal teknik pemerintahan, tapi juga bagian dari akuntabilitas dan transparansi kepada rakyat.
Penutup: Dari Budaya “Memadamkan Api” ke Budaya “Mencegah Kebakaran”
Selama ini, birokrasi kita sering bekerja dengan pola “memadamkan api”: bertindak cepat setelah masalah muncul, tetapi tidak menyiapkan sistem untuk mencegah masalah yang sama berulang.
Manajemen risiko mengajak kita mengubah budaya itu menjadi “mencegah kebakaran”:
- Masalah diantisipasi sebelum terjadi.
- Program disusun dengan memperhitungkan hambatan sejak awal.
- Keputusan diambil dengan melihat dampak jangka panjang, bukan hanya citra jangka pendek.
Jika setiap Kepala Dinas di provinsi mampu memimpin dengan kesadaran risiko, maka pelayanan publik akan lebih stabil, anggaran lebih tepat sasaran, dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah akan menguat.
Pada akhirnya, manajemen risiko bukan soal rumus dan tabel, tetapi soal kesediaan pemimpin untuk jujur melihat kelemahan, berani menghadapinya, dan konsisten memperbaikinya.

R = Likelihood x Impact
Catatan:
Analisis Risiko
Menilai tingkat risiko berdasarkan:
1) Kemungkinan (Likelihood)
Indikator:
- frekuensi kejadian sebelumnya,
- probabilitas terulang,
- tren data.
2) Dampak (Impact)
Dampak terhadap:
- keuangan (besaran kerugian),
- layanan publik,
- keselamatan,
- reputasi,
- kinerja program.
Hasil analisis biasanya menghasilkan skor:
R = Likelihood x Impact
Penanganan/Mitigasi Risiko
Pilihan mitigasi:
- Avoid – menghindari kegiatan berisiko.
- Reduce – mengurangi kemungkinan/dampak.
- Transfer – asuransi, kerja sama pihak ketiga.
- Accept – menerima risiko dengan syarat.
Indikator mitigasi yang baik:
- Output terukur
- Batas waktu jelas
- Penanggung jawab jelas
- Anggaran tersedia
#Mataram, 12-12-2025
Penulis : Aks
Editor : Ceraken Editor































