Menjaga Daya Hidup di Jalan Teater ala Kongso Sukoco

Senin, 15 Desember 2025 - 08:46 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kongso Sukoco (kiri), R. Eko Wahono (kanan). Dalam perjalanan panjang itu, ia adalah penjaga daya hidup (Foto: Aks)

Kongso Sukoco (kiri), R. Eko Wahono (kanan). Dalam perjalanan panjang itu, ia adalah penjaga daya hidup (Foto: Aks)

Oleh: R. Eko Wahono (Teater Lho Indonesia)

CERAKEN.ID- Di penghujung kemarau 1993, teater tidak hadir sebagai kemewahan. Ia menjelma jalan sunyi yang harus ditempuh dengan tubuh letih, perut kosong, dan keyakinan yang diuji berkali-kali. Dalam perjalanan menuju Temu Teater di Solo—lalu berlanjut memenuhi undangan Putu Wijaya dan Teguh Karya di Jakarta—kami nyaris terdampar.

Uang saku menipis. Kendaraan yang kami tumpangi rusak parah. Masa depan beberapa hari ke depan tak lebih jelas dari debu yang kami telan di jalan.

Jakarta kami masuki dengan segala keterbatasan. Tidur berpindah-pindah di rumah kawan-kawan teater, mengandalkan solidaritas yang kala itu menjadi satu-satunya sandaran.

Namun Temu Teater di Solo tetap menjadi magnet terbesar. Di sanalah kami merasa harus hadir, apa pun risikonya.

Delapan belas orang pekerja teater asal Mataram tetap mengusung lakon Matinya Demung Sandhubaya, meski tak ada kepastian bagaimana kami akan bertahan hidup selama tujuh hari di kota itu.

Rasa lapar dan cemas kami tepis. Bukan karena kami kebal terhadapnya, melainkan karena ada sesuatu yang lebih besar yang kami jaga. Teater, pada masa itu, bukan sekadar peristiwa artistik.

Ia adalah pertaruhan harga diri, keberanian, dan kejujuran. Dan di titik inilah peran Kongso Sukoco menjadi sangat menentukan.

Baca Juga :  Peran Strategis BUMN dan Perguruan Tinggi dalam Akselerasi Pariwisata Berkelanjutan di NTB

Sebagai sutradara, Kongso tak pernah berhenti memompa daya hidup kami. Latihan berlangsung keras—nyaris seperti semi militer.

Kami berlari di tengah puncak siang, membiarkan matahari membakar kulit, memaksa napas terengah, dan menguji batas ketahanan tubuh.

Tak ada kelonggaran. Tak ada alasan. Semua seolah harus ditundukkan demi satu panji yang kami sepakati bersama: teater.

Pengalaman itu, kini saya sadari, adalah pelajaran yang tak mungkin kami dapatkan di bangku sekolah. Ia bukan sekadar disiplin fisik, melainkan disiplin batin.

Kami belajar bahwa seni menuntut pengorbanan yang nyata, bukan slogan. Bahwa panggung bukan tujuan akhir, melainkan ruang untuk membuktikan keteguhan sikap.

Maka ketika hari ini Kongso Sukoco didapuk menerima penghargaan tertinggi di dunia teater, bagi saya itu terasa sangat layak. Bukan semata karena beliau paling sepuh atau paling lama mendirikan dan mengelola kelompok teater—meski alasan itu tentu memiliki kebenarannya sendiri.

Yang lebih penting adalah cara beliau menanamkan kesadaran tentang kemanusiaan dan daya hidup, terutama pada masa-masa ketika kami berada di titik paling rapuh.

Kongso mengajarkan tanpa menggurui. Dingin dan bersahaja. Ia tidak sibuk membangun mitos tentang dirinya, tetapi menghadirkan keteladanan dalam laku sehari-hari.

Dari sanalah kami belajar bahwa teater tidak berhenti pada latihan vokal aktor, olah rasa yang tersembunyi, atau gestur tubuh yang peka dan liat. Bukan. Sekali lagi, bukan itu semata.

Baca Juga :  Lalu Anis Mujahid Akbar Terima “Pinangan” Peserta Muswil, Siap Pimpin Dekopinwil NTB

Teater adalah soal menjaga daya hidup. Tentang bagaimana manusia tetap berdiri tegak di tengah tekanan.

Bagaimana lisan dijaga agar tetap beradab, sekalipun situasi mendorong kita untuk saling menjatuhkan. Bagaimana kebenaran harus terus dikabarkan, di tengah kepungan gaya hidup materialistik yang sering kali mengaburkan nilai-nilai paling dasar.

Kami hidup compang-camping kala itu. Namun justru dari kondisi itulah kami belajar bahwa kebenaran tidak boleh ikut compang-camping.

Ia harus tetap utuh, meski risiko mengintai. Meski ujung sangkur yang tajam terasa menekan nadi yang kian tak berdaya. Teater, dalam pengertian Kongso Sukoco, adalah ruang untuk merawat keberanian itu.

Kenangan kemarau 1993 kini menjelma cermin. Ia mengingatkan bahwa teater pernah—dan seharusnya tetap—menjadi sekolah kehidupan. Tempat manusia belajar bertahan, belajar jujur, dan belajar setia pada nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam perjalanan panjang itu, Kongso Sukoco bukan hanya sutradara. Ia adalah penjaga daya hidup.

Dan penghargaan yang diterimanya hari ini, bagi saya, adalah pengakuan atas sebuah laku panjang: menghidupi teater, sambil diam-diam menghidupkan manusia-manusia di dalamnya.

Ampenan, 14 Desember 2025

 

Penulis : aks

Editor : Ceraken Editor

Berita Terkait

Pengabdian yang Dihidupi: Kongso Sukoco, Teater, dan Etika Kesetiaan
Lalu Anis Mujahid Akbar Terima “Pinangan” Peserta Muswil, Siap Pimpin Dekopinwil NTB
Laporan Muswil Dekopinwil NTB 2025: LPJ Diterima Aklamasi, Sinergi dengan Pemerintah Jadi Penegas Arah Baru
Gubernur NTB Buka Muswil Dekopin 2025: “Akhirnya Dekopin Ada Juga”
Peran Strategis BUMN dan Perguruan Tinggi dalam Akselerasi Pariwisata Berkelanjutan di NTB
Transition: Membaca Ruang Batin, Budaya, dan Perubahan dalam Perupa Lalu Syaukani
Dua Ulama Aswaja dalam Satu Panggung Tabligh Akbar di Lombok: TGB Zainul Majdi dan Ustad Abdul Somad
Gelar Turnamen Esport Super Seru, Hotel Aruna Senggigi Lombok Perluas Pangsa Pasar

Berita Terkait

Senin, 15 Desember 2025 - 08:46 WITA

Menjaga Daya Hidup di Jalan Teater ala Kongso Sukoco

Minggu, 14 Desember 2025 - 20:48 WITA

Pengabdian yang Dihidupi: Kongso Sukoco, Teater, dan Etika Kesetiaan

Rabu, 10 Desember 2025 - 14:23 WITA

Lalu Anis Mujahid Akbar Terima “Pinangan” Peserta Muswil, Siap Pimpin Dekopinwil NTB

Rabu, 10 Desember 2025 - 08:51 WITA

Laporan Muswil Dekopinwil NTB 2025: LPJ Diterima Aklamasi, Sinergi dengan Pemerintah Jadi Penegas Arah Baru

Selasa, 9 Desember 2025 - 17:24 WITA

Gubernur NTB Buka Muswil Dekopin 2025: “Akhirnya Dekopin Ada Juga”

Berita Terbaru

Apa yang mereka lakukan berangkat dari kesadaran sebagai manusia biasa  (Foto: ist)

AGENDA SOSIAL

Seni sebagai Kesaksian Zaman: Solidaritas dari Mataram untuk Sumatera

Selasa, 23 Des 2025 - 01:12 WITA

The Last Fruit mengandung metafora yang kuat. Ia terdengar sederhana, tetapi sekaligus menggetarkan (Foto: bp)

TOKOH & INSPIRASI

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Des 2025 - 20:32 WITA

Karya-karya Pak Kisid (kanan) hadir sebagai penanda bahwa seni tidak hanya berbicara tentang bentuk dan warna, tetapi juga tentang nilai dan tanggung jawab.(Foto: ist)

TOKOH & INSPIRASI

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Senin, 22 Des 2025 - 18:32 WITA

Dari Sumbawa, sebuah gagasan sedang dirajut: bahwa masa depan literasi daerah tidak harus gemerlap, tetapi harus berakar (foto: NR)

KEARIFAN LOKAL

Menggagas Perpustakaan Tematik: Jalan Sunyi Literasi dari Tana Samawa

Senin, 22 Des 2025 - 16:54 WITA

Dipsy Do tergolong band baru, lahir dari jam-jam sepulang kerja (Foto: Konser Lombok)

MUSIC & SHOW BIZZ

Dipsy Do di Soundrenaline 2025: Dari Mataram ke Pusat Hiruk-Pikuk Modernitas

Senin, 22 Des 2025 - 15:50 WITA