Oleh: R. Eko Wahono (Teater Lho Indonesia)
CERAKEN.ID- Di penghujung kemarau 1993, teater tidak hadir sebagai kemewahan. Ia menjelma jalan sunyi yang harus ditempuh dengan tubuh letih, perut kosong, dan keyakinan yang diuji berkali-kali. Dalam perjalanan menuju Temu Teater di Solo—lalu berlanjut memenuhi undangan Putu Wijaya dan Teguh Karya di Jakarta—kami nyaris terdampar.
Uang saku menipis. Kendaraan yang kami tumpangi rusak parah. Masa depan beberapa hari ke depan tak lebih jelas dari debu yang kami telan di jalan.
Jakarta kami masuki dengan segala keterbatasan. Tidur berpindah-pindah di rumah kawan-kawan teater, mengandalkan solidaritas yang kala itu menjadi satu-satunya sandaran.
Namun Temu Teater di Solo tetap menjadi magnet terbesar. Di sanalah kami merasa harus hadir, apa pun risikonya.
Delapan belas orang pekerja teater asal Mataram tetap mengusung lakon Matinya Demung Sandhubaya, meski tak ada kepastian bagaimana kami akan bertahan hidup selama tujuh hari di kota itu.
Rasa lapar dan cemas kami tepis. Bukan karena kami kebal terhadapnya, melainkan karena ada sesuatu yang lebih besar yang kami jaga. Teater, pada masa itu, bukan sekadar peristiwa artistik.
Ia adalah pertaruhan harga diri, keberanian, dan kejujuran. Dan di titik inilah peran Kongso Sukoco menjadi sangat menentukan.
Sebagai sutradara, Kongso tak pernah berhenti memompa daya hidup kami. Latihan berlangsung keras—nyaris seperti semi militer.
Kami berlari di tengah puncak siang, membiarkan matahari membakar kulit, memaksa napas terengah, dan menguji batas ketahanan tubuh.
Tak ada kelonggaran. Tak ada alasan. Semua seolah harus ditundukkan demi satu panji yang kami sepakati bersama: teater.
Pengalaman itu, kini saya sadari, adalah pelajaran yang tak mungkin kami dapatkan di bangku sekolah. Ia bukan sekadar disiplin fisik, melainkan disiplin batin.
Kami belajar bahwa seni menuntut pengorbanan yang nyata, bukan slogan. Bahwa panggung bukan tujuan akhir, melainkan ruang untuk membuktikan keteguhan sikap.
Maka ketika hari ini Kongso Sukoco didapuk menerima penghargaan tertinggi di dunia teater, bagi saya itu terasa sangat layak. Bukan semata karena beliau paling sepuh atau paling lama mendirikan dan mengelola kelompok teater—meski alasan itu tentu memiliki kebenarannya sendiri.
Yang lebih penting adalah cara beliau menanamkan kesadaran tentang kemanusiaan dan daya hidup, terutama pada masa-masa ketika kami berada di titik paling rapuh.
Kongso mengajarkan tanpa menggurui. Dingin dan bersahaja. Ia tidak sibuk membangun mitos tentang dirinya, tetapi menghadirkan keteladanan dalam laku sehari-hari.
Dari sanalah kami belajar bahwa teater tidak berhenti pada latihan vokal aktor, olah rasa yang tersembunyi, atau gestur tubuh yang peka dan liat. Bukan. Sekali lagi, bukan itu semata.
Teater adalah soal menjaga daya hidup. Tentang bagaimana manusia tetap berdiri tegak di tengah tekanan.
Bagaimana lisan dijaga agar tetap beradab, sekalipun situasi mendorong kita untuk saling menjatuhkan. Bagaimana kebenaran harus terus dikabarkan, di tengah kepungan gaya hidup materialistik yang sering kali mengaburkan nilai-nilai paling dasar.
Kami hidup compang-camping kala itu. Namun justru dari kondisi itulah kami belajar bahwa kebenaran tidak boleh ikut compang-camping.
Ia harus tetap utuh, meski risiko mengintai. Meski ujung sangkur yang tajam terasa menekan nadi yang kian tak berdaya. Teater, dalam pengertian Kongso Sukoco, adalah ruang untuk merawat keberanian itu.
Kenangan kemarau 1993 kini menjelma cermin. Ia mengingatkan bahwa teater pernah—dan seharusnya tetap—menjadi sekolah kehidupan. Tempat manusia belajar bertahan, belajar jujur, dan belajar setia pada nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam perjalanan panjang itu, Kongso Sukoco bukan hanya sutradara. Ia adalah penjaga daya hidup.
Dan penghargaan yang diterimanya hari ini, bagi saya, adalah pengakuan atas sebuah laku panjang: menghidupi teater, sambil diam-diam menghidupkan manusia-manusia di dalamnya.
Ampenan, 14 Desember 2025
Penulis : aks
Editor : Ceraken Editor































