Catatan Agus K Saputra
CERAKEN.ID- Novel Menghadang Kubilai Khan (2021) karya AJ Susmana hadir sebagai salah satu ikhtiar sastra yang menghidupkan kembali satu episode penting dalam sejarah Nusantara abad ke-13. Upaya ekspedisi Mongol di bawah komando Kubilai Khan untuk menaklukkan Jawa.
Peristiwa yang kerap disebut dalam narasi sejarah politik Majapahit ini memang tidak pernah hilang dari ingatan kolektif bangsa. Namun justru jarang digarap secara detail sebagai cerita yang menyatukan unsur politik, diplomasi, dan pergulatan identitas Nusantara.
Melalui novel sepanjang 331 halaman yang diterbitkan PT Berdikari Nusantara Makmur ini, AJ Susmana menghadirkan narasi yang tidak hanya dramatik tetapi juga sarat muatan historis, sekaligus menjadi refleksi atas dinamika geopolitik kontemporer.
Dalam bedah buku yang diselenggarakan berkat kerjasama Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi NTB dengan Sentra Paramita Mataram Kementrian Sosial Republik Indonesia , 27 November 2025, penulis menjelaskan bahwa penciptaan novel ini berangkat dari pencarian sosok “berusia 20 tahun” sebagai metafora pemuda bangsa. Seorang tokoh yang bisa menjadi inspirasi kaum muda dan aktivis.
Ia menyebut bahwa tokoh 1945 terlalu dekat, tahun 1965 terlalu politis dan sarat konflik ideologis, maka pilihannya jatuh pada figur Ken Arok dan dunia Jawa abad ke-13. Tokoh di masa itu, menurutnya, memiliki nasionalisme, daya tarik heroik, sekaligus kekayaan sejarah yang relevan untuk dibaca generasi hari ini.
Dari alasan itu kita menangkap satu hal: meski berpijak pada dokumen sejarah, Menghadang Kubilai Khan adalah karya yang menjadikan kisah mendahului fakta, sebuah teknik naratif yang menurut AJ Susmana perlu untuk memberi ruang bagi pesan kebangsaan dan persatuan.
Ia mencontohkan bagaimana ia mengubah narasi Jayakatwang yang semula hendak ditampilkan sebagai pengkhianat, menjadi tokoh yang memilih tidak kembali bertakhta demi persatuan Singhasari dan Kediri. Sebuah tafsir kreatif yang berpihak pada upaya menyatukan kekuatan domestik dalam menghadapi ancaman asing.
“Faktanya bagaimana? Carilah sendiri,” ucap penulis sambil menegaskan bahwa efek dan nilai dari cerita menjadi pertimbangannya.
AJ Susmana menempatkan novel ini sebagai jembatan antara historiografi dan kesadaran nasional. Ia mengangkat kembali kegagalan Sriwijaya, yang menurutnya tidak mampu mengkonsolidasikan Jawa dan pada akhirnya tidak sanggup menghadapi Kubilai Khan.
Dari titik inilah momentum bagi Kertanegara muncul: ancaman invasi Mongol dan kondisi geopolitik Asia Tenggara menjadi batu loncatan bagi lahirnya figur-figur besar yang kemudian menjadi fondasi kemunculan Majapahit.
Novel ini menggambarkan tiga unsur utama: momentum, keberanian, dan konsolidasi internal. Ketiganya tidak hanya menjadi kerangka perjalanan Kartanegara, Jayakatwang, hingga Raden Wijaya dalam narasi novel, tetapi juga pembacaan politik penulis mengenai kebutuhan bangsa hari ini.
Dalam istilah AJ Susmana, bangsa Indonesia, seperti Jawa abad ke-13. perlu bersatu menghadapi ancaman “Kubilai Khan baru”: imperialisme, investasi asing yang serakah, birokrasi koruptif, dan oligarki internal. Ia menyebutnya dengan istilah yang dipopulerkan presiden: “serakahnomic.”
Konsep ini memperluas konteks novel, menjadikannya bukan sekadar kisah perang kuno, tetapi refleksi geopolitik modern. Di mata penulis, ancaman eksternal dan internal yang dihadapi Nusantara abad ke-13 ternyata tidak jauh berbeda dengan tantangan masa kini. Untuk itu, membaca novel berarti membaca diri sendiri, ajaran klasik sastra sejarah.
Perspektif Sastra dan Kebudayaan
Dalam bedah buku, Prof. Nuriadi (Guru Besar Sastra dan Budaya Unram) menyajikan analisis dua perspektif: sastra dan kebudayaan. Keduanya memberi cara pandang yang saling melengkapi mengenai bagaimana novel ini bekerja dan apa makna kulturalnya.

Dari perspektif sastra, Prof. Nuriadi menilai novel ini berat dan detail, sehingga tidak bisa disebut bacaan ringan bagi pemula. Karena secara naratologis novel ini ditulis tidak menggunakan pola penulisan plot, tapi tokoh atau penokohan.
“Atas sebab itu, novel ini tidak mempunyai suspensi yaitu bagian-bagian cerita yang membuat pembaca penasaran dan terdorong terus ingin membaca. Novel ini tidak begitu. Ia menekankan narasinya pada tokoh. Tokoh ceritalah yang bercerita dari sudut pandangnya masing-masing,” ujar Prof. Nuriadi.
Tidak mengherankan bila Prof. Nuriadi menyebut novel ini sebagai “novel sejarah politik yang maskulin.” Istilah ini merujuk pada karakter narasinya yang menonjolkan kepemimpinan, perebutan kekuasaan, keputusan strategis, dan benturan antar-elite Jawa pada masa itu:
- Jayakatwang membunuh Kartanegara dan mengambil alih Kediri
- Raden Wijaya memanfaatkan pasukan Mongol untuk menumbangkan Jayakatwang
- Raden Wijaya mendirikan Majapahit setelah membalik strategi dan mengusir pasukan Mongol
Rangkaian peristiwa tersebut menghidupkan kembali salah satu periode paling dramatis dalam sejarah Jawa, yang menjadi titik awal berdirinya kerajaan terbesar dalam sejarah Nusantara.
Dari perspektif kebudayaan, Prof. Nuriadi menekankan bahwa novel ini memotret Jawa sebagai pusat Nusantara yang berjuang untuk tidak dijajah. Namun lebih dari itu, novel ini menjadi bahan refleksi untuk membangun nasionalisme dari akarnya, yaitu kesadaran akan leluhur.
Jawaban Prof. Nuriadi kepada para penanya memperkuat pesan novel:
- Bangsa harus cerdas, strategi menentukan kemenangan
- Bangun jejaring persaudaraan, bertanya “siapa leluhur kita” untuk memperkuat identitas dan arah gerak
- Hindari menihilkan leluhur orang lain, sebagaimana Jayakatwang yang merasa lebih “berhak” sehingga mengabaikan posisi Kartanegara
Di akhir diskusi, ia menegaskan bahwa kecerdasan abad ke-21 adalah perpaduan critical thinking, kolaborasi, komunikasi, dan kreativitas. Itu semua mengarah pada satu hal: memperkuat literasi sebagai fondasi daya tahan bangsa.
Perspektif Komunitas Teman Baca
Sebagai pembaca sekaligus Ketua Komunitas Teman Baca, Dedy Ahmad Hermansyah memberikan perspektif pembaca sejarah dan sastra. Menurutnya, Menghadang Kubilai Khan memiliki keistimewaan dibandingkan karya-karya fiksi sejarah lain di Indonesia.
Ada tiga alasan utama:
Pertama:. Novel Ini Bisa Dibaca sebagai Sejarah Politik Jawa
Dengan latar geografis Jawa abad ke-13, novel ini memotret Singhasari era Kartanegara secara mendalam. Konflik politik, struktur kerajaan, hingga sebab historis ekspedisi Pamalayu dikupas dalam detail yang jarang ditemukan dalam fiksi populer.
Kedua: Novel Ini Juga Historis dari Sisi Politik Nusantara
Relasi Singhasari dengan wilayah luar Nusantara, bahkan hingga ke kawasan Asia Tenggara, ditampilkan melalui dialog diplomatik, strategi maritim, dan pemahaman politik regional. Novel ini memperlihatkan bahwa Nusantara pada masa itu bukan wilayah terpencil, melainkan bagian dari jejaring internasional.
Ketiga: Menghindari Mistisisme dan Menghadirkan Rasionalitas Tokoh
Berbeda dengan banyak fiksi sejarah Nusantara yang mengedepankan unsur metafisik, novel ini menempatkan gagasan intelektual, strategi politik, dan pemikiran para tokoh masa lalu sebagai pusat narasi. Dengan begitu, pembaca diajak memahami bahwa kejayaan masa lalu tidak selalu dibangun oleh mitos, tetapi oleh kecerdasan dan kalkulasi politik.
Dedy juga menyarankan tiga buku sejarah yang wajib dibaca kaum muda:
Arok Dedes, Arus Balik (Pramoedya Ananta Toer), dan Menghadang Kubilai Khan. Ketiganya memberikan gambaran utuh tentang bagaimana perubahan kekuasaan, arah sejarah, dan dinamika Nusantara dibentuk oleh strategi, kecerdasan, dan keberanian.
Novel, Geopolitik, dan Kesadaran Nasional
Salah satu nilai penting novel ini adalah kemampuannya menghubungkan sejarah dan masa kini. Apa yang terjadi di abad ke-13 menurut AJ Susmana bukan sekadar peristiwa masa lalu, melainkan modal untuk membaca gejolak geopolitik sekarang.
Ia menekankan perlunya masyarakat menjadi patriotik, mencintai sejarah leluhur, dan memahami bangsanya sendiri.
Persatuan adalah pelajaran utama novel ini. Dalam konteks hari ini, ancaman bangsa bukan hanya kekuatan asing atau kapital global, tetapi juga oligarki domestik, birokrasi korup, dan mentalitas serakah, baik dalam politik maupun ekonomi.
Novel ini mengajak pembacanya mengidentifikasi “Kubilai Khan kontemporer”, yaitu bentuk-bentuk imperialisme ekonomi baru yang masuk melalui investasi, penguasaan sumber daya, atau kepentingan geopolitik negara besar.
Melalui novel ini, Susmana menekankan bahwa strategi dan kecerdasan menjadi modal penting untuk melawan ancaman itu. Persatuan yang dibangun atas dasar kesadaran sejarah menjadi fondasi ketahanan bangsa, sama seperti Kartanegara, Raden Wijaya, dan masyarakat Jawa abad ke-13 yang bergandengan menghadapi ekspedisi Mongol.
Sebagai penutup, Menghadang Kubilai Khan adalah karya yang memadukan sejarah dan sastra, refleksi dan kritik, politik dan budaya. Bagi penulisnya, novel ini adalah seruan untuk membangun nasionalisme melalui literasi sejarah.
Bagi pembaca akademik seperti Prof. Nuriadi, novel ini menjadi pintu masuk pembacaan sastra sekaligus kebudayaan. Bagi komunitas pembaca seperti Dedy Ahmad Hermansyah, novel ini memperlihatkan bagaimana sejarah Nusantara dapat dibaca dengan perspektif yang kaya, rasional, dan bermakna.
Pada akhirnya, novel ini menegaskan bahwa bangsa yang kuat adalah bangsa yang membaca, memahami, dan menginterpretasi kembali sejarahnya. Ketangguhan Nusantara bukan mitos, melainkan rekam strategi, kecerdikan, dan keberanian.
Membaca novel ini berarti membaca ulang daya juang yang pernah dimiliki. Dan semestinya terus dimiliki oleh bangsa Indonesia.
#Akuair-Ampenan, 27-11-2025
Penulis : Aks
Editor : Ceraken Editor
































