CERAKEN.ID-Mataram, 13 Desember 2025 – Diskusi “Penulisan Lakon: Membaca Kalampuan dan Studi Penulisan Lakon Kini” yang digelar dalam rangkaian Festival Teater Indonesia (FTI) 2025 menjadi salah satu sesi yang menyita perhatian peserta di Sanggar Tari Taman Budaya NTB, Kamis, 11 Desember 2025.
Pemaparan Pikong Fitri Rachmawati mengenai Jurnalisme Teater muncul sebagai gagasan yang memancing percakapan lanjutan. Bukan karena pendekatannya yang berbeda, tetapi juga karena ia membuka ulang cara pandang terhadap bagaimana sebuah naskah teater dapat dibangun.
Pikong memulai penjelasannya dengan sebuah premis: sumber gagasan dalam penulisan lakon sejatinya berlimpah, hanya menunggu dipilih dan dipilah. Ia menunjuk pada cara kerja jurnalis dalam menentukan nilai berita (news value)—apakah unik, berdampak, memiliki kedekatan geografis atau emosional, mengandung tokoh sentral, konflik, atau memuat isu keagamaan dan kemanusiaan.
Semua kategori yang biasa digunakan dalam dunia pemberitaan itu, menurutnya, dapat berfungsi sebagai pintu masuk penulis naskah teater dalam mencari bahan cerita.
Baginya, naskah teater adalah fondasi sebuah pertunjukan. Tanpanya, pementasan kehilangan pijakan. Analogi itu disandingkan dengan prinsip dasar jurnalistik: sebuah peristiwa belum dapat disebut berita sebelum dipublikasikan.
Dengan cara pandang tersebut, naskah teater menjadi medan untuk memformulasikan ulang realitas, mengolah temuan-temuan faktual menjadi struktur dramatik yang mampu berbicara kepada penonton.
“Pendekatan jurnalistik,” ujar Pikong, “membuat cerita lebih tajam dan berlandaskan realitas. Fakta dan data menjadi fondasi, sementara imajinasi menjadi jembatan antara peristiwa dan pengalaman estetik.”
Menentukan Tema dan Memilih Sudut Pandang
Dalam menyusun naskah dengan pendekatan jurnalistik, tahap pertama adalah menentukan tema. Di sini, penulis dituntut untuk menjawab serangkaian pertanyaan mendasar: isu apa yang hendak diangkat, mengapa isu itu penting, siapa yang terdampak, dan pesan apa yang hendak disampaikan kepada penonton.
Setelah tema ditetapkan, langkah berikutnya adalah menentukan angle—sebuah sudut pandang yang menjadi tulang punggung cerita. Dalam dunia jurnalistik, angle adalah cara melihat satu peristiwa dari kacamata tertentu untuk menemukan inti persoalan. Pikong memberikan contoh pertanyaan angle yang dapat melahirkan cerita yang kuat:
“Bagaimana para penenun di Desa Gumantar (Lombok Utara) menjalankan Kinrohosi pada masa penjajahan Jepang, dan adakah cerminan pengalaman itu dalam kehidupan masyarakat Gumantar hari ini ketika mereka berhadapan dengan tekanan global hub?”
Pertanyaan semacam ini, kata Pikong, bukan hanya membuka ruang dramatik, tetapi juga menjaga kedekatan antara naskah dan kenyataan sosial di mana naskah itu berpijak.
Jika jurnalis melakukan liputan, maka penulis teater mesti melakukan reportase kreatif. Tahap ini mencakup observasi langsung di lapangan, wawancara dengan narasumber, pengumpulan testimoni, serta penelusuran literatur.
Pikong menyebut langkah ini sebagai belanja bahan. Penulis menampung segala temuan dari lapangan—dari percakapan kecil hingga ingatan kolektif masyarakat. Dalam banyak kasus, fragmen-fragmen itu justru menjadi elemen penting dalam membangun dramaturgi.
“Observasi memberi atmosfer, wawancara memberi suara, literatur memberi konteks,” ujar Pikong.
Ketiganya, jika diracik secara tepat, menghasilkan kekayaan data yang menjadi bahan baku naskah teater.
Dari Fakta ke Dramaturgi: Menjahit Cerita
Setelah data terkumpul, tahap berikutnya adalah meramu cerita dengan memadukan fakta, opini, dan imajinasi. Proses ini menuntut ketelitian sekaligus kreativitas.
Langkah pertama adalah memilih fokus cerita—apakah fokusnya pada perjalanan tokoh tertentu, pada proses sosial, atau pada konflik yang membelah masyarakat. Fokus ini menentukan pola alur: mulai dari eksposisi, latar waktu, pengenalan masalah awal, peningkatan konflik, klimaks, antiklimaks, hingga resolusi.
Pendekatan jurnalistik tidak menghapus unsur dramatik; justru ia memperkaya. Fakta menjadi tulang, imajinasi menjadi daging, dan struktur dramaturgi menjadi tubuh yang menggerakkan keseluruhan lakon.
Rekonstruksi peristiwa kemudian dilakukan untuk membangun emosi penonton. Penulis tidak hanya mengulang data apa adanya, melainkan menyusun ulang sehingga tekanan psikologis, ketegangan, dan laku dramatik dapat hadir secara organik.
Salah satu kekuatan utama pendekatan jurnalistik adalah penciptaan karakter yang lebih hidup dan meyakinkan. Karena berpijak pada data nyata, karakter tidak muncul sebagai figur fiksional semata, melainkan sebagai representasi pengalaman manusia yang konkret.
Penulis harus menelusuri:
- latar belakang kehidupan tokoh,
- motivasi pribadi,
- konflik batin yang dihadapi,
- bahasa tubuh dan gestur khas yang terekam selama proses observasi.
Dengan cara ini, dialog menjadi lebih natural, tidak artifisial, tetapi tetap mempertahankan kebutuhan dramatik panggung. Bahkan konflik antar tokoh sekalipun menjadi lebih kuat karena bertumpu pada dinamika sosial yang telah diteliti.
Mengapa pendekatan jurnalisme penting? Pertanyaan retoris ini dijawab Pikong dengan merangkum keunggulan pendekatan ini dalam beberapa poin:
- Cerita menjadi lebih hidup dan realistis.
- Karakter berbasis data nyata sehingga terasa meyakinkan.
- Dialog mengalir alami, tetapi tetap memiliki tensi dramatik.
- Konflik lebih kuat karena berpijak pada fakta lapangan.
Dalam konteks teater kontemporer yang berusaha dekat dengan persoalan sosial, pendekatan ini menjadi relevan, terutama ketika teater ingin berfungsi sebagai ruang bicara bagi kelompok yang selama ini tidak memiliki ruang menyuarakan pengalaman mereka.
Pikong kemudian menyebut dua karya yang ia susun dengan metode ini. Pertama, Kinrohosi dan Hikayat Tolak Bala (Kalampuan II Menafsir Ritual, 2022), sebuah naskah yang menggali tradisi masyarakat Lombok dengan pendekatan etnografis dan jurnalistik.
Kedua, Leang (2025), yang menelusuri suara-suara lokal dan pengalaman sosial masyarakat tertentu dalam menghadapi perubahan zaman.
Kedua karya itu menjadi bukti bahwa pendekatan jurnalistik tidak mengurangi kekuatan artistik teater. Justru sebaliknya: ia menambah kedalaman, membuat panggung menjadi ruang yang lebih dekat dengan denyut nyata kehidupan.
Di akhir presentasi, Pikong menyampaikan sebuah kalimat yang menjadi inti dari seluruh pemaparannya:
“Layaknya sebuah jurnalisme, sebuah naskah teater mesti menyuarakan suara mereka yang tak bisa bersuara.”
Kalimat itu seakan memiliki gema di ruang diskusi. Di tengah pergeseran peran teater dalam lanskap budaya kini, pendekatan jurnalistik menawarkan jalan baru untuk menjembatani seni pertunjukan dengan kenyataan sosial.
Sebuah jalan yang tidak hanya estetis, tetapi juga etis, dan semakin diperlukan dalam kerja penciptaan teater Indonesia hari ini. (aks)
Penulis : Aks
Editor : Ceraken Ediror































