” ASN juga dianggap memiliki posisi rapuh dan mudah dimanipulasi oleh jaring kekuasaan akibat aturan netralitas dalam pemilu yang berlebihan”
Perhelatan pilkada lima tahunan di Indonesia seringkali turut berdampak pada Aparatur Sipil Negara (ASN).
Para pekerja negara tersebut rentan menjadi bulan-bulanan politikus yang mencalonkan diri dalam pemilihan umum (pemilu) untuk meraih simpati publik, namun di sisi lain, ASN juga kerap dijadikan mesin suara untuk mendukung calon petahana, terutama dalam pemilihan di daerah.
ASN juga dianggap memiliki posisi rapuh dan mudah dimanipulasi oleh jaring kekuasaan akibat aturan netralitas dalam pemilu yang berlebihan.
Pemangku kebijakan perlu memberi perhatian lebih pada hal ini dan mengantisipasinya agar tidak terjadi lagi di pikada 2024.
Strategi menyerang ASN untuk mendapatkan suara dari publik dikenal dengan istilah bureaucracy bashing.
Secara sederhana, bureaucracy bashing merujuk pada berbagai bentuk retorika oleh tokoh-tokoh publik yang cenderung mendiskreditkan birokrasi dan menampilkan ASN sebagai sarang penipuan, pemborosan, dan penyalahgunaan kekuasaan untuk menciptakan kesan bahwa sosok tokoh publik tersebut adalah pahlawan yang berusaha mengubah sistem yang buruk tersebut.
Di Indonesia, tokoh publik, khususnya politikus, melakukan praktik bureaucracy bashing untuk mendulang simpati publik dengan cara menampilkan citra mereka sebagai pemimpin yang tegas dan membela kepentingan masyarakat.
Contoh nyatanya bisa dilihat dari maraknya pemberitaan di media maupun berbagai video yang viral di media sosial yang menampilkan elit birokrasi sedang memaki-maki anak buah mereka. Alih-alih menumbuhkan semangat perbaikan, sikap para elit tersebut justru memperburuk citra pemerintah.
Beberapa elit birokrasi atau politikus yang kerap diliput media seputar aksi marah-marahnya diantaranya adalah mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menteri Sosial Tri Rismaharini, dan Bupati Bengkayang Sebastianus Darwis.
Aksi marah-marah di ruang publik itu biasanya terkait isu pungli atau ada pegawai yang dianggap mangkir dari kerjaan. Cara tersebut secara tidak langsung akan semakin memperkuat persepsi masyarakat bahwa ASN adalah sosok yang malas dan tidak layak diapresiasi.
Retorika bureaucracy bashing seolah dinormalisasi karena sejalan dengan wacana antikorupsi yang berkembang sejak akhir 1990-an yang memotret birokrat sebagai akar dari berbagai persoalan bangsa.
Jarang ada yang mempersoalkan bagaimana retorika para pemimpin publik ini berdampak negatif bagi semangat kerja para birokrat dan tata kelola secara keseluruhan.
ASN dan masyarakat perlu menyadari bahwa agenda neoliberalisme yang cenderung memotret birokrat sebagai sumber segala persoalan turut berkontribusi terhadap carut marutnya manajemen birokrasi.
Di saat yang sama, maraknya wacana “kepemimpinan” di Indonesia turut mendorong banyak pemimpin, baik di level pusat maupun daerah, untuk mengemas dirinya layaknya pahlawan namun minim pendekatan partisipatif yang pada akhirnya berujung pada pola kepemimpinan toksik
Di sisi lain, ASN menjadi mesin suara bagi pihak yang berlaga di pemilu, terutama oleh kandidat petahana. Sebagai mesin suara, ASN bukan hanya sekedar dihimbau untuk memilih, melainkan dirayu dengan hadiah tertentu, bahkan tidak sedikit dari mereka yang diancam.
Zudan Arif, Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Nasional (DPKN), pernah menyampaikan bahwa bentuk rayuan sekaligus ancaman semacam itu sudah biasa terjadi, biasanya dalam bentuk ungkapan “Nanti kalo saya menang, you dukung saya, you jadi kepala dinas pendidikan, you jadi kepala dinas PU, kepala dinas Kesehatan. Yang tidak bergerak, tidak berkeringat, biar saja di luar pagar”.
Salah satu sumber masalah terbesar adalah keberadaan pejabat politik yang juga diberi mandat sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK).
Sebagaimana diatur di Undang-Undang Otonomi Daerah, salah satu kewenangan Kepala Daerah adalah menjadi pembina umum di bidang kepegawaian, atau yang disebut dengan PPK. Dengan kewenangan tersebut, kepala daerah memiliki wewenang untuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan pegawai.
Sebetulnya telah banyak pihak yang mengusulkan dan mendorong agar PPK tidak lagi dipegang oleh menteri ataupun kepala daerah. Berbagai kalangan, baik aktivis politik, akademisi, maupun di kalangan birokrasi sendiri mendesak agar PPK sebaiknya dipegang oleh internal birokrasi saja, yakni sekretaris jenderal, sekretaris utama, atau sekretaris daerah.
Namun, sampai saat ini usulan itu tidak pernah ditindaklanjuti. Para elit birokrasi maupun politik belum menunjukkan kemauan untuk memperbaiki keadaan yang sebenarnya menjadi sumber masalah berulang setiap pemilu.
Selain dirayu dan diancam sebagai mesin suara, ASN juga terikat dengan aturan netralitas pemilu. Jangankan mengikuti kegiatan kampanye, memberi tanda jempol pada pihak yang sedang berlaga di pemilu pun akan terkena sanksi.
Sekilas, aturan tentang netralitas memang sesuatu yang wajar, bahkan diperlukan karena birokrasi harus berjalan rasional agar administrasi di pemerintahan dapat berjalan optimal.
Maka dari itu, para ASN hanya diperbolehkan melakukan tindakan yang secara rasional berguna untuk mencapai tujuan institusi. Tindakan berupa ‘sikap keberpihakan’ dianggap sebagai tindakan tidak rasional, tidak efisien, dan tidak relevan dengan administrasi birokrasi.
Konsep rasionalitas ini sebenarnya telah dikritik oleh para pakar administrasi publik kontemporer, seperti Ralph Hummel dari University of Akron dan Robert Denhardt dari University of Kentucky, Amerika Serikat, bahwa administrasi di birokrasi tidak semestinya memisahkan rasionalitas ekonomi dengan politik.
Lebih jauh, seperti yang dikatakan oleh Cornelis Lay, guru besar fakultas ilmu sosial dan politik dari Universitas Gadjah Mada, bahwa jargon netral membuat banyak orang menjadi apolitis.
Sikap apolitis ini justru akan membuat mereka menjadi apatis. Artinya, ASN semakin tidak terbiasa untuk peduli dengan kepentingan politik yang sebenarnya sangat berguna untuk peningkatan nilai publik.
Pada kondisi yang demikian, ASN ditempatkan pada posisi rapuh dan mudah dimanipulasi oleh jaring kekuasaan. Beberapa ASN yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan politikus, yang telah menjadi pimpinan di lembaganya, dapat ditelantarkan begitu saja.
Kami melihat, fenomena bureaucracy bashing dan ‘mesin suara’ yang terus-menerus menimpa ASN sekali lagi hanya dapat diatasi jika saja ASN memiliki wadah kolektif yang benar-benar peduli dan bisa memperjuangkan kemaslahatan ASN itu sendiri.
Dalam hal netralitas, negara perlu juga meninjau ulang tentang hak politik ASN. Jika memang diberikan hak suara, tentu saja tidak perlu ada aturan berlebihan tentang hal itu. Sebab, aturan yang berlebihan justru membuat ASN sulit dewasa dan bahkan menjadi apatis dengan kebijakan publik yang notabene adalah produk politik yang sarat kepentingan***