“Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun ini, isu mahar politik kembali mencuat. Praktik inilah yang membuat biaya pilkada menjadi mahal dan menghasilkan pemimpin daerah berkualitas rendah.”
Salah satu musuh utama dalam setiap penyelenggaraan pesta demokrasi, baik nasional maupun lokal di Indonesia adalah praktek politik uang. Istilah politik uang dimaksudkan sebagai praktek pembelian suara pemilih oleh peserta pemilu, maupun oleh tim sukses, baik yang resmi maupun tidak, biasanya sebelum pemungutan suara dilakukan.
Dengan politik uang, pemilih kehilangan otonominya untuk memilih kandidat pejabat publik melalui pertimbangan rasional, seperti rekam jejak, kinerja, program maupun janji kampanye karena memilih kandidat hanya karena pemberian uang belaka.
Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun ini, isu mahar politik kembali mencuat. Praktik inilah yang membuat biaya pilkada menjadi mahal dan menghasilkan pemimpin daerah berkualitas rendah.
Namun pungutan semacam mahar politik ini tidak hanya terjadi sekarang. Dalam sejarah Indonesia, cara-cara seperti itu sudah lama terjadi dalam pemilihan kepala desa di Jawa. Koran-koran kolonial yang terbit pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20 banyak menyoroti praktik-praktik kotor penyuapan dan jual-beli suara dalam banyak kasus pemilihan kepala desa.
Kalau berkaca pada pemilihan legislstif 2024 hampir sebagian calon DPRD dan DPR RI terpilih melakukan transaksi uang atau money politik. dan gejala itu akan merambah dalam Pilkada serentak Nopember 2024
Slogan No Money No Vote ( Tidak Ada Uang Tidak Suara ) akan menjalar di masyarakat, siapa yang punya uang dia terpilih, masyarakat tidak terpengaruh dengan visi dan janji calon kepala daerah, bagi masyarakat siapa pun yang terpilih menjadi pemimpin tidak akan memberikan dampak yang positif dalam kehidupan mereka
Ada sebagian masyarakat beranggapan bahwa Pilkada adalah ruang bagi para ASN (Aparatur Sipil Negara) untuk cari jabatan ” kita yang capek, ASN menikmati ” itu mungkin sekarang berkembang dalam pikiran orang yang pernah menjadi tim sukses atas pengalaman Pilkada sebelumnya
Selain itu juga dalam Pilkada tahun 2024 kecenderungan masyarakat apatis dalam menyambut pesta tahunan ini
Mengapa Politik Uang Susah Dihilangkan?
Dosen politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo mengatakan, money politic sulit dihilangkan dari perpolitikan Indonesia. Apalagi, kata dia, praktik politik uang sudah ada sejak pemilihan kepala desa di zaman Belanda. Konon, kata dia, ketika pemilih diberikan uang sebenarnya bukan untuk membuat mereka memilih, tapi untuk sekadar mengganti uang buruh mereka di hari itu.
“Banyak orang Jawa dan Indonesia enggak enakan orangnya. Ketika dikasih uang, mereka gak enak akhirnya mereka nyoblos orang yang kasih duit. Akhirnya ini jadi praktik yang umum hari ini. Orang gak lagi gak enak kalau terima duit. Bahkan enak-enak aja, sehingga ini yang menyebabkan sebenarnya dari supply and demand-nya tak jelas gitu, maksud saya apakah pemilih yang meminta duit, gak juga? Enggak ada eksplisit seperti itu,” kata Kunto
Namun, kata Kunto, tidak semua calon melakukan praktik politik uang. Masalahnya, kata dia, politik uang sudah membudaya dalam politik di Indonesia, sehingga sangat susah dihilangkan.
“Di 2024 saya melihatnya pasti masih ada politik uang itu. Baik politik uang itu dalam bentuk uang ke caleg atau kandidat ke warga maupun kandidat ke partai bahkan. Jadi, menurut saya politik uang ini akan sangat susah dihilangkan,” ucap Kunto.
Kunto menegaskan, politik uang bukan semata-mata karena sistem pemilu terbuka yang diterapkan di Indonesia. Namun, praktik ini sudah seperti lingkaran setan.
Kunto menilai, saat ini parpol tak mampu melakukan apa pun untuk menekan praktik politik uang di Indonesia. Bahkan, kata Kunto, parpol justru akan dirugikan jika mereka menghukum calon yang melakukan praktik politik uang.
“Kalau pun partai menghukum calon, misalnya yang melakukan money politic, tetapi dia terpilih dan dia mendapatkan kursi, itu justru merugikan si partai itu sendiri karena di pemilu berikutnya banyak caleg yang kemudian tidak mau masuk ke partai itu. Menurut saya yang efektif adalah terkesan klise kayaknya enggak mungkin juga ya penegakan hukum yang kuat,” tutup Kunto.
Hal senada diungkapkan peneliti dari Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah. Ia menyakini, praktik politik uang pada Pemilu 2024 akan terus terjadi. Ia mengungkap sejumlah alasan.
Pertama, kata dia, kondisi parpol yang tidak sehat. Herdiansyah mengatakan, demokratisasi internal parpol belum terbangun dengan baik, sehingga masih tersandera oleh kelompok oligarki alias para pemodal.
“Bibit pragmatisme dipelihara dalam situasi ini,” kata Herdiansyah kepada reporter Tirto.
Kedua, kata dia, tumpulnya parpol dalam menjalankan mesin kaderisasi. Syahdan, parpol masih cenderung merekrut para pesohor atau mereka yang memiliki modal besar sebagai pendulang suara.
“Ini juga yang menyuburkan praktik tawar menawar yang berujung politik transaksional,” ucap Herdiansyah.
Ketiga, kata dia, parpol juga gagal menjalankan fungsi pendidikan politik untuk publik. Ini berdampak terhadap pragmatisme pemilih yang seolah terus dilanggengkan.
“Faktanya, kendatipun calon memiliki rekam jejak buruk, masih saja terpilih. Ini, kan, anomali dalam politik kita,” kata Herdiansyah***