Oleh: M. Rusli
CERAKEN.ID- Program Manajemen Talenta Nasional (MTN) 2025 merupakan sebuah inisiatif yang digagas oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia bekerja sama dengan Forum Lenteng, Galeri Nasional Indonesia, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), serta Milisi Film. Program ini menjadi ruang residensi dan pembelajaran yang dilaksanakan di Jakarta selama kurang lebih dua minggu, dengan fokus utama pada pengembangan pemikiran dan praktik kesenian kontemporer.
MTN 2025 mengangkat tema “Rules of the Game”, sebuah upaya untuk kembali mempertanyakan, membaca ulang, dan menafsirkan ulang berbagai persoalan kesenian di masa kontemporer. Tema ini tidak hanya mengajak peserta untuk berkarya, tetapi juga mendorong refleksi kritis terhadap sistem, aturan, dan wacana yang selama ini membentuk praktik seni.
Berbeda dari program residensi yang hanya berfokus pada produksi karya, MTN 2025 menempatkan proses diskusi dan pertukaran pengetahuan sebagai bagian penting dari keseluruhan rangkaian kegiatan.
Peserta terlibat dalam penyampaian materi, diskusi bersama, hingga proses menerjemahkan kembali gagasan-gagasan yang diperoleh ke dalam konteks praktik masing-masing. Dari proses tersebut, muncul upaya kolektif untuk merumuskan kembali: seperti apa sebenarnya seni kontemporer itu.
Diskursus seni kontemporer sendiri, khususnya di wilayah Global South, menjadi pembahasan yang cukup kompleks. Kalau kita meninjau di Indonesia sendiri, Seni kontemporer baru mulai mengemuka dan diperdebatkan secara lebih luas pada tahun 1970-an, ditandai dengan penggunaan istilah “Seni Kontemporer” oleh Gregorius Sidharta dan perlawanan seniman muda dalam peristiwa “Desember Hitam” (1974) serta lahirnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) pada 1975, yang kemudian menjadi fondasi bagi praktik seni yang lebih bebas dan eksperimental hingga kini.
Sementara secara historis tradisi seni yang berkembang di Barat memiliki perjalanan yang jauh lebih panjang dan terstruktur. Di Eropa, sejarah seni dibaca melalui periodisasi yang jelas—mulai dari Dark Age, Renaissance, Gothic, modern sampai era kontemporer. Namun, kerangka tersebut tidak dapat begitu saja diterapkan pada konteks Indonesia.
Sebagai wilayah dengan pengalaman kolonial, Indonesia tidak memiliki periodisasi sejarah seni rupa yang linier seperti Barat. Praktik kesenian yang hadir saat ini bisa jadi masih berada dalam ranah modern, bahkan pra-modern, meskipun hidup di masa kini.
Oleh karena itu, sejarah seni di Indonesia lebih relevan dibaca melalui konteks pergolakan sosial, politik, dan kekacauan peradaban, bukan melalui periodisasi estetika semata.
Kondisi inilah yang membuat upaya mendefinisikan “kontemporer” menjadi rumit. Secara sederhana, beberapa pemikir menyebut bahwa seni kontemporer adalah seni yang hadir hari ini, sezaman dengan pembuatnya.

Apa pun karya yang diciptakan di masa kini dapat disebut kontemporer. Namun, ketika ditelaah lebih dalam, definisi tersebut kembali diperdebatkan karena akan selalu muncul pertanyaan: seni mana yang benar-benar kontemporer dan mana yang tidak.
Melalui MTN 2025, kerumitan-kerumitan tersebut tidak dicari jawabannya secara mutlak, melainkan dibuka sebagai ruang diskusi. Program ini menjadi wadah untuk merayakan ketidakpastian, mempertanyakan ulang definisi, serta menyadari bahwa seni kontemporer bukanlah sesuatu yang tunggal, melainkan hasil dari konteks, sejarah, dan posisi sosial yang terus bergerak dan berubah.
Setelah melalui rangkaian kegiatan yang dimulai dari kelas intensif, kunjungan galeri, hingga sesi mentoring, Program MTN kemudian berlanjut pada tahap produksi karya dan penyelenggaraan pameran. Seluruh partisipan didorong untuk berkolaborasi, baik dalam peran sebagai seniman maupun kurator.
Dalam pameran ini, saya tertarik untuk membaca serta mengkuratori praktik artistik empat seniman yang memanfaatkan unsur bunyi sebagai medium artistik, yaitu Agusto Simor dari Maumere, NTT; Juan Arminandi dari Singkawang, Kalimantan Barat; Wilda Yanti Salam dari Makassar; dan Lestri dari Yogyakarta.
Pernyataan kuratorial Aktivasi Arsip Resonansial: “Tubuh yang Menyimpan” Ingatan
dan Pengalaman Sosial”
Berangkat dari keyakinan sederhana bahwa bunyi merupakan bunyi adalah cara lain untuk memahami dan mengingat peristiwa di sekitar kita.
Dalam konteks ini, bunyi bukan sekadar getaran atau sesuatu yang dapat didengar telinga, tetapi juga dipahami sebagai artefak yang melekat pada tubuh, pengalaman, kerja, dan pertemuan sehari-hari—hal-hal yang kerap luput dari perhatian.

Dengan membingkai sejumlah praktik bunyi, kuratorial ini menelusuri relasi antara pendengaran dan keseharian, dengan kesadaran bahwa setiap bunyi adalah bentuk keberadaan: sebuah cara untuk menyatakan, mewujudkan, dan menampilkan sesuatu.
Selain itu, kuratorial ini mendudukkan bunyi bukan sebagai narasi besar, melainkan sebagai pengalaman yang hidup, cair, dan terus berputar di dalam lingkaran sosial serta ruang-ruang yang melingkupinya—bunyi sebagai narasi kecil.
Kalau kita meninjau sejenak ke tradisi pengetahuan Barat, arsip yang kita pahami, atau yang biasa kita lihat, umumnya berwujud tulisan: dokumentasi yang disimpan dalam ruang penyimpanan yang teratur. Dalam konteks tradisi “pengetahuan modern” kita sekarang, arsip yang berbentuk kertas, foto, naskah, atau benda lainnya masih mendominasi.
Seiring dengan isi mereka yang menandai masa lalu, aspek kesekarangan mereka hadir sebagai sesuatu yang umumnya dicerap oleh indra visual dan perabaan, sedangkan arsip yang menuntut indra pendengaran relatif tidak banyak dibicarakan.
Padahal, dalam banyak tradisi di Nusantara, ingatan kolektif—yang sebenarnya jugalah arsip—justru dirawat dalam bentuk bebunyian, yaitu lewat nyanyian, mantra, ritus dan percakapan sehari-hari.
Judul: Transmisi Ingatan; Syair sebagai Kontrakolonial. Karya: Agusto Simor
Pulau Flores, seperti banyak wilayah lain di Indonesia Timur, memiliki tradisi lisan yang kuat. Dalam konteks ini, mantra dan doa-doa bukan sekadar teks spiritual, tetapi juga bentuk pengetahuan ekologis dan sosial yang diwariskan lintas generasi.
Setiap bunyi dalam syair dipercaya mengandung kekuatan: tidak hanya lantunan kata, tetapi juga energi yang bergerak, meneguhkan hubungan antar manusia, hubungan manusia dengan alam/tanah, dan hubungan manusia dengan Leluhur dan Pencipta.
Agusto Simor, seniman asal Flores, mendekatkan praktik bebunyiannya dengan medium video untuk mendeklamasikan arsip bunyi—berupa syair tradisi berisi mantra-mantra keselamatan dari Maumere, Nusa Tenggara Timur—merepresentasikan nilai-nilai budaya dan keseharian masyarakatnya.
Konon, suara dari syair-syair ini tidak sempat terdokumentasikan oleh Jaap Kunst, seorang entnomusikolog asal Belanda, yang terkait dengan studi gamelan musik Indonesia, yang kerap diacu dalam stu- di-studi sejarah dan arsip kolonial.
Di sini, syair itu sendiri merupakan arsip bunyi. Video yang tayang di monitor vertikal berisi tiga bagian yang masing-masing menampilkan se- buah syair berbeda. Dalam konteks sajiannya, masing-masing bagian memiliki modus deklam- asi yang berbeda pula satu sama lainnya.
Judul: Album Pulau Penang; Interaksi Budaya antara Penang dan Singkawang. Karya Juan Arminandi
Bagian kedua dari kuratorial ini membingkai eksplorasi Juan Arminandi terhadap alat musik tradisional. Eksplorasi tersebut ia kembangkan dengan praktik yang menggabungkan riset material, intuisi tubuh, dan eksperimen bunyi, yang pada akhirnya menghasilkan suatu instrumen buatan menggunakan bahan-bahan bekas.
Instrumen itu terbuat dari besi bekas yang didapat dari sebuah pelabuhan. Setiap bahan membawa memori dan resonansinya sendiri. Pembuatan alat musik bukan sekadar proses teknis, melainkan tindakan performatif yang menegaskan relasi antara manu- sia dan lingkungan.
Setiap ketukan dan gesekan adalah negosiasi dengan material—sebuah bentuk percakapan yang menghasilkan suara.
Juan Arminandi berasal dari Singkawang, Kalimantan Barat. Ia merefleksikan isu-isu ekologi dan sosial, seperti kebakaran hutan, pembangunan kota, suara sungai, dan suara aktivitas di pelabuhan, sebagai ruang pertemuan budaya.
Proyek panjangnya ini kemudian menghasilkan album suara, bertajuk Pulau Penang. Kuratorial ini lantas memamerkan semua isi dari album Pulau Penang itu sebagai instalasi bunyi.

Judul: Kata-Kata Hari Ini; Kosa-Kata Vernakular, Tuak sebagai ruang pertemuan. Karya Wilda Yanti Salam
Praktik riset tentang minuman tradisional tuak yang dilakukan oleh Wilda Yanti Salam, seorang seniman dari Makasar, menggabungkan pendekatan antropologi secara eksperimentatif dengan menggunakan metode wawancara, serta residensi.
Data yang dihimpun kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk teks-teks yang mengimajinasikan relasi antara tuak, manusia, dan kehidupan sehari-hari.
Wilda membatasi penelitiannya di berbagai lokasi di kawasan Indonesia Timur, seperti Enrekang, Makassar, Galesong, Pulau Rote, Pulau Timor di Nusa Tenggara Timur, Pulau Buton, dan Biak.
Dari hasil penelitian yang panjang dan masih berlangsung ini, Wilda menemui banyak fakta menarik tentang tradisi minum tuak di Indonesia, di mana minuman ini bukan sekedar menjadi produk ekonomi, tapi juga tidak lepas dari trasdisi yang diturunkan bergenerasi.
Selain digunakan untuk berpesta dan bersenang-senang, tuak yang berkualitas tinggi kerap digunakan dalam kegiatan spiritual adat sebagai medium transendensi.
Judul: Kemari, Dengarkan; Narasi Kecil, Ralasi Perempuan Pedagang dengan Sekitarnya. Karya Lestari
Lestari, seniman yang berasal dari Yogyakarta, menyoroti suara ibu-ibu pedagang dan pekerja di sekitar lingkungan kota melalui pendekatan audio wawancara. Karya ini memetakan pengalaman dan narasi-narasi kecil yang lahir dari keseharian mereka.
Melalui proses merekam, seniman menelusuri jalur dan ruang yang dilewati para pedagang tersebut. Hasilnya diwujudkan dalam bentuk mapping yang memvisualisasikan pertemuan dan percakapan mereka sebagai perempuan di berbagai titik di kota Jakarta.
Setiap garis pada peta dilengkapi dengan barcode berisi arsip audio wawancara—berisi kisah tentang hubungan ibu-ibu dengan pelanggan, dengan masakan, dengan pekerjaan, dan dengan ruang-ruang yang menopang hidup mereka.
Dalam pameran ini, suara mereka dihadirkan bukan sebagai objek dokumentasi, melainkan sebagai ruang dengar empatik.
Melalui percakapan atau bahkan keheningan di antara mereka, kita mendengar dinamika kehidupan yang membentuk struktur sosial. Suara menjadi bukti keberadaan, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap ketidakterlihatan.
Kuratorial ini ingin merefleksikan tentang politik pendengaran. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak semua suara mendapat tempat yang sama. Ada suara yang diangkat dan diberi ruang, ada pula yang diredam atau diabaikan.
Dalam struktur sosial, kuasa sering bekerja melalui pengaturan bunyi: siapa boleh berbicara, siapa harus diam, suara apa yang dianggap “bernilai”, dan apa yang dianggap “kebisingan.”
Keempat praktik ini menegaskan bahwa mendengar dan merekam bukan sekadar tindakan teknis ketubuhan sehari-hari, melainkan tindakan sosial dan politis. Dengan mendengar, kita membuka diri terhadap pengetahuan-pengetahuan yang kerap terpinggirkan.
Dengan merekam, kita mendokumentasikan sekaligus merawat lokalitas dan dinamika sosio-kultural, dari lagu rakyat hingga instrumen kontemporer, dari permainan teks hingga suara warung-warung di tengah kota.
Melalui kerja performatif atas aksi perekaman, ruang bunyi menjelma menjadi ruang pertemuan antara tubuh, ingatan, dan relasi sosial.
Lombok Utara, 21-12-2025
Penulis : aks
Editor : Ceraken Editor































