CERAKEN.ID- Mataram- Sutradara sekaligus penulis naskah R. Eko Wahono mengisyaratkan bahwa Lakon Borka 2025 bukan sekadar sebuah pementasan yang menandai perjalanan 35 tahun Teater Lho Indonesia. Lebih dari itu, Borka menjadi ladang pertumbuhan, ruang tempat naskah berevolusi, para aktor menjelma ulang, dan seluruh perangkat estetika teater menemukan relevansinya dalam lanskap seni pertunjukan hari ini.
Pertumbuhan itu tidak hadir secara tiba-tiba, melainkan melalui pergulatan panjang yang mempertemukan ingatan kolektif, pengalaman tubuh, dan dinamika sosial yang terus berubah.
Sejak awal proses, Eko bergulat dengan gagasan bagaimana Borka harus dibaca ulang dan dipahami kembali. Pementasan tahun ini, yakni pada 10 Desember 2025 di Taman Budaya Mataram dalam Festival Teater Indonesia, bukanlah pengulangan, tetapi pembacaan baru yang mencoba mendekatkan teks pada kenyataan sosial dan artistik masa kini.
Dari ruang diskusi hingga proses kreatif di lantai latihan, muncul pertanyaan besar: bagaimana menghadirkan “ruang bawah tanah” secara dramatik dan visual tanpa menjadikannya sekadar metafora kosong? Di mana letak ruang itu, apakah ia ruang fisik, ruang imajiner, atau bahkan ruang bawah sadar manusia?
“Perdebatan tersebut justru membuka jalan bagi kesadaran baru. Borka bukan hanya tentang tokoh yang bergerak di panggung, melainkan tentang struktur batin masyarakat yang tersembunyi di balik permukaan keseharian,” ujar Eko.
“Ruang bawah tanah dalam Borka adalah ruang tempat sejarah tak diakui, trauma tak diucapkan, dan ingatan sosial yang kerap disamarkan,” tambahnya.
Eko memahami bahwa tugas teater bukan semata merekonstruksi ruang itu, tetapi menyingkapnya. Karena itu, seluruh elemen panggung, (yaitu: dialog, bunyi, cahaya, hingga videografi), disusun sebagai perangkat untuk menelusuri kedalaman tersebut.
“Mengajak penonton menengok lapisan-lapisan batin masyarakat Indonesia yang jarang disadari keberadaannya,” imbuhnya dengan suara serak.
Dalam mementaskan adaptasi dari cerpen “Belfegor” karya Kiki Sulistyo ini, Eko memperkenalkan sebuah pendekatan yang ia istilahkan sebagai “riset tubuh”.
Metode ini menempatkan tubuh aktor sebagai arsip, teks, dan instrumen utama dalam pencarian kebenaran puitik. Tubuh tidak sekadar medium ekspresi, tetapi gudang ingatan yang menyimpan pengalaman personal, sejarah psikologis, dan lapisan-lapisan emosi yang membentuk identitas seorang aktor.
“Di titik inilah estetika Borka menjadi unik. Mengedepankan tubuh sebagai pusat produksi makna,” beber Eko.
Riset tubuh tidak bertujuan menciptakan gestur indah atau koreografi yang teratur. Ia mengajak para aktor mendengarkan tubuh mereka sendiri, memahami gerak yang muncul dari pengalaman terdalam.
Eko menekankan hal ini kepada para pemain: Bagus Maulana sebagai Borka, Witari Ardini sebagai Sirin, Sopiyan Sauri sebagai Paman, dan Yulianerny sebagai Nenek. Mereka diminta tidak sekadar menghafal teks, tetapi menemukan energi dari tubuh yang memori dan emosinya hidup.
“Tubuh kalian sudah tidak dikoordinir oleh otak, tapi oleh gagasan atau ide,” tutur Eko. Sebuah kalimat yang menandai pergeseran paradigma. Tubuh bukan lagi alat, melainkan subjek yang berpikir, merasa, dan memutuskan.
Melalui pendekatan tersebut, Borka tampil bukan sebagai pementasan yang menonjolkan teknik semata, melainkan sebuah proses pencarian bersama.
“Para aktor tidak hadir sebagai pelaku yang menghidupkan karakter di atas panggung, tetapi sebagai individu yang membuka arsip tubuh mereka, menghubungkannya dengan konteks sosial yang lebih luas, lalu menghadirkan kembali temuannya dalam bentuk yang puitik dan gelisah,” kata Eko.
Pementasan menjadi ruang perjumpaan antara tubuh, ingatan, dan sejarah yang tak selalu terucapkan.
Pada akhirnya, perjalanan kreatif Eko dalam Borka 2025 menegaskan bahwa teater adalah ruang untuk menyelami kedalaman diri dan masyarakat. Ruang bawah tanah yang hendak ia tampilkan bukanlah ruang gelap yang menakutkan, melainkan ruang untuk memahami apa yang selama ini disembunyikan.
Di sanalah teater bekerja, menyalakan cahaya di tempat-tempat yang jarang disentuh, menghadirkan kembali suara-suara yang lama tenggelam, dan mengajak kita melihat dunia dengan kesadaran yang lebih jernih.
“Borka menjadi bukti bahwa teater masih memiliki daya menyentuh, menggugat, dan menghidupkan ulang pertanyaan-pertanyaan penting yang sering terlupakan dalam hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari,” pungkas Eko.(Aks)***
Penulis : Aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : Liputan































