Resonansi Batin dan Kebersamaan: Ekspresi Impresionistik Lalu Syaukani

Jumat, 19 Desember 2025 - 08:55 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ketegangan antara lokalitas dan globalitas inilah yang kerap terasa dalam karya-karyanya (Foto: aks)

Ketegangan antara lokalitas dan globalitas inilah yang kerap terasa dalam karya-karyanya (Foto: aks)

CERAKEN.ID- Berangkat dari pengalaman batin dan kepekaan terhadap perubahan, Lalu Syaukani menegaskan pilihannya pada gaya ekspresif impresionisme sebagai bahasa visual utama dalam karya-karyanya. Bagi Syaukani, aliran ini bukan sekadar pilihan estetik, melainkan jalan untuk memindahkan perasaan, yang sering kali tak sempat dirumuskan oleh kata, ke dalam kanvas.

Gerak, momen, dan situasi yang cepat berubah ditangkapnya secara intuitif, lalu diolah menjadi sapuan warna dan garis yang hidup. Dalam proses itu, apa yang ia rasakan menemukan bentuknya sendiri. Lukisan, baginya, adalah medium pengakuan batin.

Salah satu karya yang merepresentasikan pandangan tersebut adalah “Sangkep”, berukuran 120 x 360 sentimeter, dikerjakan dengan cat minyak di atas kanvas. Secara tematik, Sangkep berbicara tentang spirit kebersamaan, sebuah nilai yang tumbuh dari pengalaman sosial masyarakat Lombok. Syaukani berupaya menangkap energi kolektif yang muncul ketika individu-individu berkumpul dalam organisasi atau komunitas, menyatukan kehendak demi harapan dan cita-cita bersama.

Dalam kebersamaan itu, menurutnya, tersimpan kekuatan luar biasa: daya dorong yang mampu melampaui kepentingan personal. Kanvas lebar Sangkep seakan memberi ruang bagi dinamika tersebut—gerak yang saling bertaut, emosi yang berkelindan, dan ritme sosial yang tak pernah benar-benar diam.

Baca Juga :  Mural Sosial di Tembok Senggigi: Jejak Kreativitas, Perlawanan, dan Kepedulian Bambang Prasetya

Sementara itu, karya “Gumi Paer Mindscape” (2025), berukuran 150 x 180 sentimeter, menghadirkan sisi lain dari perenungan Syaukani. Jika Sangkep berakar pada pengalaman sosial, Gumi Paer Mindscape lahir dari lanskap batin: visualisasi alam Lombok yang terbentuk dari imajinasi dan memori yang telah mengendap dalam alam bawah sadar.

Dalam proses kreatifnya, Syaukani membiarkan intuisi bekerja penuh, mengarahkan pembentukan garis, warna, dan tekstur tanpa beban representasi realistis. Alam tidak hadir sebagai pemandangan literal, melainkan sebagai mindscape: ruang mental tempat kenangan, rasa, dan identitas saling berkelindan.

Kedua karya tersebut dipamerkan dalam pameran seni rupa bertema “Resonansi” yang digagas Mandalika Art Community (MAC) dan berlangsung hingga 30 Desember 2025 di Galeri Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat. Bagi Syaukani, pameran ini bukan hanya ajang presentasi karya, melainkan bagian dari peran strategis MAC dalam membangun ekosistem seni rupa di Mataram dan NTB secara lebih luas.

“Ini adalah kontribusi kami untuk membangun, mengangkat, dan mengharumkan nama daerah, khususnya di bidang seni rupa. Harapan kami, karya-karya perupa daerah dapat diapresiasi dan berbicara di level nasional maupun internasional,” ujar Syaukani.

Pernyataan tersebut mencerminkan posisi Syaukani yang tidak berdiri semata sebagai seniman individual, tetapi juga sebagai bagian dari gerak kolektif. Ia memahami bahwa seni membutuhkan ruang, jejaring, dan ekosistem agar dapat tumbuh dan beresonansi lebih jauh.

Baca Juga :  Sinerjitas Imaji dalam Borka 2025: Refleksi Salam Efendi sebagai Kru Artistik

Lalu Syaukani sendiri tumbuh dan berproses dalam kultur Lombok, sebuah ruang sosial yang kaya akan tradisi, simbol, dan ritual. Nilai-nilai lokal itu membentuk sensitivitas estetiknya sejak awal.

Namun, ia juga hidup di tengah arus globalisasi yang deras, yang mengubah cara manusia berpikir dan memaknai keberadaannya. Ketegangan antara lokalitas dan globalitas inilah yang kerap terasa dalam karya-karyanya: tradisi tidak ditampilkan sebagai nostalgia, melainkan sebagai memori hidup yang berdialog dengan zaman.

Melalui ekspresif impresionisme, Syaukani menjembatani pengalaman personal, realitas sosial, dan ingatan kolektif. Dalam Sangkep dan Gumi Paer Mindscape, kanvas menjadi ruang temu antara perasaan dan gagasan, antara Lombok yang berakar dan dunia yang terus bergerak. Di sanalah resonansi itu bekerja, pelan, namun bergaung jauh. (aks)

Penulis : aks

Editor : Cerakaen Editor

Sumber Berita : Liputan

Berita Terkait

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak
I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan
Artha Kusuma: Menari di Atas Kanvas, Merawat Raga, Irama, dan Rasa
S La Radek dan Sketsa yang Menyala dalam “The Rules of The Game”
Bambang Prasetya: Realisme yang Nyrempet ke Nurani Publik
Wang Arzaky: Street Art, Ruang Sunyi, dan Perayaan yang Rapuh
Ahmad Saifi P: Menolak Kemapanan, Mencari Estetika Baru
Tia Sofiana: Kardus, Anak-Anak, dan Satir yang Bertanya

Berita Terkait

Senin, 22 Desember 2025 - 20:32 WITA

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Desember 2025 - 18:32 WITA

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Minggu, 21 Desember 2025 - 16:39 WITA

Artha Kusuma: Menari di Atas Kanvas, Merawat Raga, Irama, dan Rasa

Minggu, 21 Desember 2025 - 12:38 WITA

S La Radek dan Sketsa yang Menyala dalam “The Rules of The Game”

Jumat, 19 Desember 2025 - 08:55 WITA

Resonansi Batin dan Kebersamaan: Ekspresi Impresionistik Lalu Syaukani

Berita Terbaru

Apa yang mereka lakukan berangkat dari kesadaran sebagai manusia biasa  (Foto: ist)

AGENDA SOSIAL

Seni sebagai Kesaksian Zaman: Solidaritas dari Mataram untuk Sumatera

Selasa, 23 Des 2025 - 01:12 WITA

The Last Fruit mengandung metafora yang kuat. Ia terdengar sederhana, tetapi sekaligus menggetarkan (Foto: bp)

TOKOH & INSPIRASI

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Des 2025 - 20:32 WITA

Karya-karya Pak Kisid (kanan) hadir sebagai penanda bahwa seni tidak hanya berbicara tentang bentuk dan warna, tetapi juga tentang nilai dan tanggung jawab.(Foto: ist)

TOKOH & INSPIRASI

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Senin, 22 Des 2025 - 18:32 WITA

Dari Sumbawa, sebuah gagasan sedang dirajut: bahwa masa depan literasi daerah tidak harus gemerlap, tetapi harus berakar (foto: NR)

KEARIFAN LOKAL

Menggagas Perpustakaan Tematik: Jalan Sunyi Literasi dari Tana Samawa

Senin, 22 Des 2025 - 16:54 WITA

Dipsy Do tergolong band baru, lahir dari jam-jam sepulang kerja (Foto: Konser Lombok)

MUSIC & SHOW BIZZ

Dipsy Do di Soundrenaline 2025: Dari Mataram ke Pusat Hiruk-Pikuk Modernitas

Senin, 22 Des 2025 - 15:50 WITA