CERAKEN.ID- Berangkat dari pengalaman batin dan kepekaan terhadap perubahan, Lalu Syaukani menegaskan pilihannya pada gaya ekspresif impresionisme sebagai bahasa visual utama dalam karya-karyanya. Bagi Syaukani, aliran ini bukan sekadar pilihan estetik, melainkan jalan untuk memindahkan perasaan, yang sering kali tak sempat dirumuskan oleh kata, ke dalam kanvas.
Gerak, momen, dan situasi yang cepat berubah ditangkapnya secara intuitif, lalu diolah menjadi sapuan warna dan garis yang hidup. Dalam proses itu, apa yang ia rasakan menemukan bentuknya sendiri. Lukisan, baginya, adalah medium pengakuan batin.
Salah satu karya yang merepresentasikan pandangan tersebut adalah “Sangkep”, berukuran 120 x 360 sentimeter, dikerjakan dengan cat minyak di atas kanvas. Secara tematik, Sangkep berbicara tentang spirit kebersamaan, sebuah nilai yang tumbuh dari pengalaman sosial masyarakat Lombok. Syaukani berupaya menangkap energi kolektif yang muncul ketika individu-individu berkumpul dalam organisasi atau komunitas, menyatukan kehendak demi harapan dan cita-cita bersama.
Dalam kebersamaan itu, menurutnya, tersimpan kekuatan luar biasa: daya dorong yang mampu melampaui kepentingan personal. Kanvas lebar Sangkep seakan memberi ruang bagi dinamika tersebut—gerak yang saling bertaut, emosi yang berkelindan, dan ritme sosial yang tak pernah benar-benar diam.
Sementara itu, karya “Gumi Paer Mindscape” (2025), berukuran 150 x 180 sentimeter, menghadirkan sisi lain dari perenungan Syaukani. Jika Sangkep berakar pada pengalaman sosial, Gumi Paer Mindscape lahir dari lanskap batin: visualisasi alam Lombok yang terbentuk dari imajinasi dan memori yang telah mengendap dalam alam bawah sadar.
Dalam proses kreatifnya, Syaukani membiarkan intuisi bekerja penuh, mengarahkan pembentukan garis, warna, dan tekstur tanpa beban representasi realistis. Alam tidak hadir sebagai pemandangan literal, melainkan sebagai mindscape: ruang mental tempat kenangan, rasa, dan identitas saling berkelindan.
Kedua karya tersebut dipamerkan dalam pameran seni rupa bertema “Resonansi” yang digagas Mandalika Art Community (MAC) dan berlangsung hingga 30 Desember 2025 di Galeri Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat. Bagi Syaukani, pameran ini bukan hanya ajang presentasi karya, melainkan bagian dari peran strategis MAC dalam membangun ekosistem seni rupa di Mataram dan NTB secara lebih luas.
“Ini adalah kontribusi kami untuk membangun, mengangkat, dan mengharumkan nama daerah, khususnya di bidang seni rupa. Harapan kami, karya-karya perupa daerah dapat diapresiasi dan berbicara di level nasional maupun internasional,” ujar Syaukani.
Pernyataan tersebut mencerminkan posisi Syaukani yang tidak berdiri semata sebagai seniman individual, tetapi juga sebagai bagian dari gerak kolektif. Ia memahami bahwa seni membutuhkan ruang, jejaring, dan ekosistem agar dapat tumbuh dan beresonansi lebih jauh.
Lalu Syaukani sendiri tumbuh dan berproses dalam kultur Lombok, sebuah ruang sosial yang kaya akan tradisi, simbol, dan ritual. Nilai-nilai lokal itu membentuk sensitivitas estetiknya sejak awal.
Namun, ia juga hidup di tengah arus globalisasi yang deras, yang mengubah cara manusia berpikir dan memaknai keberadaannya. Ketegangan antara lokalitas dan globalitas inilah yang kerap terasa dalam karya-karyanya: tradisi tidak ditampilkan sebagai nostalgia, melainkan sebagai memori hidup yang berdialog dengan zaman.
Melalui ekspresif impresionisme, Syaukani menjembatani pengalaman personal, realitas sosial, dan ingatan kolektif. Dalam Sangkep dan Gumi Paer Mindscape, kanvas menjadi ruang temu antara perasaan dan gagasan, antara Lombok yang berakar dan dunia yang terus bergerak. Di sanalah resonansi itu bekerja, pelan, namun bergaung jauh. (aks)
Penulis : aks
Editor : Cerakaen Editor
Sumber Berita : Liputan































