S La Radek dan Sketsa yang Menyala dalam “The Rules of The Game”

Minggu, 21 Desember 2025 - 12:38 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

"Mori, Aina Nefa” - Karya S La Radek. Sebuah ajakan untuk terus berkomunikasi dan saling menyapa selama manusia masih diberi hidup (Foto: ist)

CERAKEN.ID- Di antara hiruk-pikuk Jakarta yang tak pernah benar-benar tidur, Suparman La Radek—atau lebih dikenal sebagai S La Radek—mengendapkan pengamatannya dalam garis-garis cepat dan warna-warna terang. Perupa asal Nusa Tenggara Barat yang selama ini dikenal sebagai seniman sketsa itu menjadi salah satu partisipan residensi seni yang difasilitasi Forum Lenteng pada 3–15 November 2025.

Residensi ini melibatkan 28 seniman dari berbagai penjuru Indonesia dan didampingi 12 kurator, dua di antaranya berasal dari Lombok Utara: Alya Maolani dan M. Rusli. Seluruh proses kreatif dan diskursif tersebut bermuara pada Pameran MTN Lab Residensi Jakarta bertajuk “The Rules of The Game”, yang berlangsung 17 November hingga 15 Desember 2025 di Gedung B dan D, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat.

Bagi Radek, “The Rules of The Game” bukan sekadar tema pameran, melainkan sebuah peta persoalan seni kontemporer global. Tema ini dibedah melalui rangkaian kuliah dan diskusi intens sepanjang residensi MTN Lab Jakarta.

Di dalamnya mengemuka beragam gagasan: upaya merumuskan universalitas dari perspektif Selatan, alih-alih memosisikan lokalitas sebagai sekadar partikularitas; pembacaan atas patahan-patahan epistemologi; hingga praktik aktivisme seni dalam konteks sosial yang lebih luas.

“Gagasan-gagasan itu tidak hanya dibicarakan, tapi juga dialami,” ujar Radek.

Menurutnya, pengalaman hidup bersama selama residensi: bertemu, berdiskusi, berdebat, hingga berbagi ruang dan waktu, menjadi refleksi paralel yang kemudian diterjemahkan para partisipan ke dalam kecenderungan artistik masing-masing.

Baca Juga :  KONGSO SUKOCO DAN KESETIAAN PANJANG PADA PANGGUNG: Pengabdian Seumur Hidup, Teater, dan Etika Merawat Kemanusiaan

Sejak awal hingga akhir residensi, Radek memilih jalan yang konsisten dengan praktiknya selama ini: menggambar.

Ia aktif membuat sketsa aktivitas dan gerak tubuh kawan-kawan sesama peserta residensi, juga merekam lingkungan sekitar. Pengemis, pedagang, hingga tongkrongan yang ia jumpai di sudut-sudut Jakarta. Lebih dari 50 sketsa manusia lahir dari pengamatan intens tersebut.

Sketsa-sketsa itu kemudian “meledak” dalam sebuah kanvas raksasa berjudul “Mori, Aina Nefa”, menggunakan cat akrilik di atas kanvas berukuran 400 x 210 sentimeter. Waktu pengerjaan karya ini terbilang ekstrem: hanya empat hari.

“Dua hari saya tidak tidur. Kalau pun tidur, paling dua jam antara pukul enam sampai delapan pagi. Pernah juga dibangunkan sekuriti mushola karena karpetnya mau disemprot,” cerita Radek sambil tertawa.

“Mori, Aina Nefa” merupakan idiom bahasa Bima yang berarti “hidup, jangan lupa”. Bagi Radek, frasa itu adalah ajakan untuk terus berkomunikasi dan saling menyapa selama manusia masih diberi hidup. Penjudulan tersebut lahir secara spontan dalam percakapan dengan kurator, namun justru menjadi kunci pembacaan karya.

Sebuah lompatan medium tanpa meninggalkan identitasnya sebagai seniman sketsa (Foto: ist)

Di atas kanvas, tergambar orang-orang yang duduk, berdialog, membuka laptop, menatap layar ponsel, hingga berdiri dalam diam. Warna-warna akrilik yang terang dan mencolok menghadirkan kesan menyala, mendekati nuansa seni pop, namun tetap berakar pada keseharian.

Baca Juga :  Perjalanan Kreatif Fiorenza Nayara Aunur Firdasya di FLS3N 2025

Radek menyebut karya ini sebagai upayanya menggabungkan sketsa personal ke dalam format kanvas besar. Sebuah lompatan medium tanpa meninggalkan identitasnya sebagai seniman sketsa.

Kurator Latifah, kepada Tempo, menilai lukisan besar Radek seperti mempertemukan puluhan individu yang sebelumnya terpisah ke dalam satu ruang komunal. “Lukisannya sangat keseharian. Ada estetika duduk melingkar,” ujarnya.

Radek sendiri mengakui bahwa secara teknis, karya tersebut merupakan “cara cepat” menyusun puluhan sketsa bagian atas tubuh manusia. Strategi ini dipilih untuk menjembatani keterbatasan waktu penyelesaian. “Namun saya puas akan hasilnya,” katanya lugas.

Residensi dan pameran ini diinisiasi oleh Forum Lenteng bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan. Bagi Radek, kesempatan ini bukan hanya soal pameran di Galeri Nasional, tetapi juga pembelajaran penting tentang disiplin waktu dan target produksi karya.

Lebih dari itu, residensi ini membuka cara pandang baru yang ia anggap krusial untuk dijadikan kebiasaan dalam perjalanan artistiknya ke depan.

Materi pembelajaran dari para pakar seni selama residensi, menurut Radek, adalah bekal yang selama ini ia butuhkan. “Saya akan wujudkan dalam pameran nanti,” cetusnya.

Sebuah janji yang menyiratkan bahwa sketsa-sketsa Radek belum berhenti berbicara. (aks)

Penulis : aks

Editor : Ceraken Editor

Sumber Berita : Liputan

Berita Terkait

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak
I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan
Artha Kusuma: Menari di Atas Kanvas, Merawat Raga, Irama, dan Rasa
Resonansi Batin dan Kebersamaan: Ekspresi Impresionistik Lalu Syaukani
Bambang Prasetya: Realisme yang Nyrempet ke Nurani Publik
Wang Arzaky: Street Art, Ruang Sunyi, dan Perayaan yang Rapuh
Ahmad Saifi P: Menolak Kemapanan, Mencari Estetika Baru
Tia Sofiana: Kardus, Anak-Anak, dan Satir yang Bertanya

Berita Terkait

Senin, 22 Desember 2025 - 20:32 WITA

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Desember 2025 - 18:32 WITA

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Minggu, 21 Desember 2025 - 16:39 WITA

Artha Kusuma: Menari di Atas Kanvas, Merawat Raga, Irama, dan Rasa

Minggu, 21 Desember 2025 - 12:38 WITA

S La Radek dan Sketsa yang Menyala dalam “The Rules of The Game”

Jumat, 19 Desember 2025 - 08:55 WITA

Resonansi Batin dan Kebersamaan: Ekspresi Impresionistik Lalu Syaukani

Berita Terbaru

Apa yang mereka lakukan berangkat dari kesadaran sebagai manusia biasa  (Foto: ist)

AGENDA SOSIAL

Seni sebagai Kesaksian Zaman: Solidaritas dari Mataram untuk Sumatera

Selasa, 23 Des 2025 - 01:12 WITA

The Last Fruit mengandung metafora yang kuat. Ia terdengar sederhana, tetapi sekaligus menggetarkan (Foto: bp)

TOKOH & INSPIRASI

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Des 2025 - 20:32 WITA

Karya-karya Pak Kisid (kanan) hadir sebagai penanda bahwa seni tidak hanya berbicara tentang bentuk dan warna, tetapi juga tentang nilai dan tanggung jawab.(Foto: ist)

TOKOH & INSPIRASI

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Senin, 22 Des 2025 - 18:32 WITA

Dari Sumbawa, sebuah gagasan sedang dirajut: bahwa masa depan literasi daerah tidak harus gemerlap, tetapi harus berakar (foto: NR)

KEARIFAN LOKAL

Menggagas Perpustakaan Tematik: Jalan Sunyi Literasi dari Tana Samawa

Senin, 22 Des 2025 - 16:54 WITA

Dipsy Do tergolong band baru, lahir dari jam-jam sepulang kerja (Foto: Konser Lombok)

MUSIC & SHOW BIZZ

Dipsy Do di Soundrenaline 2025: Dari Mataram ke Pusat Hiruk-Pikuk Modernitas

Senin, 22 Des 2025 - 15:50 WITA