CERAKEN.ID- Mataram- Meleburkan diri sebagai seorang aktor di atas panggung teater selalu menuntut keberanian untuk memasuki dunia baru. Kadang asing, kadang menantang, namun selalu penuh kemungkinan.
Bagi Yulianerny, seorang pengajar sekolah lanjutan yang sehari-hari akrab dengan dinamika ruang kelas, langkah memasuki peran Nenek dalam Lakon Borka, yang akan dipentaskan pada 10 Desember 2025 di Taman Budaya Mataram, bukan hanya sebuah pengalaman artistik, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang menguji batas diri.
“Peran itu tidak sekadar soal memerankan sosok tua. Ia adalah jembatan menuju ruang batin yang lebih dalam, di mana seseorang bertemu ketakutan, kejanggalan, sekaligus kekuatan yang selama ini tersembunyi,” jelasnya.
Dalam proses kreatifnya bersama Teater Lho Indonesia, Yulianerny menghadapi tantangan yang jarang dibicarakan dalam dunia teater, yaitu keterlibatan tubuh dalam budaya yang tidak sehari-hari ia praktikkan. Salah satunya adalah adegan mengunyah sirih pinang, atau memamaq dalam bahasa Sasak.
“Pada tahap awal, tubuhnya menolak. Mual, pusing, bahkan sampai muntah. Namun teater adalah ruang disiplin, tempat para aktor menundukkan ego dan melatih tubuh untuk menerima yang baru,” urai Erny, panggilan kecilnya.
Dari hari ke hari, mual itu berkurang, dan sirih pinang perlahan menjadi bagian dari ritme perannya. Ada kepasrahan, tapi juga tekad di dalamnya, sejenis kerendahan hati untuk belajar dari tubuh sendiri dan dari tradisi yang coba dihidupi.
Di sinilah lompatan itu terjadi. Yulianerny tidak hanya belajar menjadi “nenek” secara teknis, dengan tubuh yang ringkih, suara yang serak, atau langkah yang pelan, melainkan memasuki pengalaman hidup seorang perempuan tua yang membawa beban sejarah, luka keluarga, dan kekuatan keberlanjutan.
Ia seolah melampaui umurnya, melompat puluhan tahun ke depan, dan berhadapan langsung dengan dua karakter kunci: Borka dan Paman. Pertemuan batin itu, menurut pengakuannya, merupakan pengalaman yang mengguncang sekaligus memperkaya.
Yulianerny seperti dituntun untuk memahami sudut pandang yang berbeda tentang usia, kuasa, dan kerentanan.
“Di dunia teater, peran sering kali merupakan cermin yang mengembalikan kita pada sisi-sisi diri yang belum pernah kita sentuh,” tambah Yulianerny.
Menurutnya, peran Nenek adalah pintu menuju pemahaman baru tentang daya tahan, keteguhan, dan kedalaman nilai tradisi.
Ia bukan sekadar memerankan karakter. Ia menjalani proses pertumbuhan personal yang mengajarkan dirinya untuk melompati zona nyaman.
Lompatan itu bukan lompatan lahiriah, melainkan lompatan batin, lompatan menuju versi diri yang lebih kuat, lebih sensitif, dan lebih terbuka menerima pengalaman baru.
Lakon Borka 2025 memberi Yulianerny ruang untuk melihat dirinya sendiri dari perspektif lain. Bukan hanya sebagai pengajar, bukan hanya sebagai aktor pemula, tetapi sebagai individu yang mampu menembus batas dan memasuki relung pengalaman yang sepintas mustahil dilakukan.
Dan ketika batas itu dilampaui, ia menyadari bahwa panggung teater bukan sekadar ruang bermain, melainkan ruang transformasi.
Pada akhirnya, pengalaman Yulianerny mengajarkan satu hal penting, bahwa setiap peran adalah undangan untuk melompat lebih jauh dari yang kita bayangkan.
Dalam dirinya, peran Nenek menjelma menjadi sebuah lompatan tak terkira, sebuah perjalanan yang menyatukan seni, tubuh, dan jiwa dalam langkah yang berani menuju kedalaman manusia. (Aks)***
Penulis : Aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : Liputan































