Sebuah Lompatan Tak Terkira Yulianerny Sebagai Nenek

Senin, 8 Desember 2025 - 17:32 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Peran itu tidak sekadar soal memerankan sosok tua. Ia adalah jembatan menuju ruang batin yang lebih dalam, di mana seseorang bertemu ketakutan, kejanggalan, sekaligus kekuatan yang selama ini tersembunyi (Foto: Aks)

Peran itu tidak sekadar soal memerankan sosok tua. Ia adalah jembatan menuju ruang batin yang lebih dalam, di mana seseorang bertemu ketakutan, kejanggalan, sekaligus kekuatan yang selama ini tersembunyi (Foto: Aks)

CERAKEN.ID- Mataram- Meleburkan diri sebagai seorang aktor di atas panggung teater selalu menuntut keberanian untuk memasuki dunia baru. Kadang asing, kadang menantang, namun selalu penuh kemungkinan.

Bagi Yulianerny, seorang pengajar sekolah lanjutan yang sehari-hari akrab dengan dinamika ruang kelas, langkah memasuki peran Nenek dalam Lakon Borka, yang akan dipentaskan pada 10 Desember 2025 di Taman Budaya Mataram, bukan hanya sebuah pengalaman artistik, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang menguji batas diri.

“Peran itu tidak sekadar soal memerankan sosok tua. Ia adalah jembatan menuju ruang batin yang lebih dalam, di mana seseorang bertemu ketakutan, kejanggalan, sekaligus kekuatan yang selama ini tersembunyi,” jelasnya.

Dalam proses kreatifnya bersama Teater Lho Indonesia, Yulianerny menghadapi tantangan yang jarang dibicarakan dalam dunia teater, yaitu keterlibatan tubuh dalam budaya yang tidak sehari-hari ia praktikkan. Salah satunya adalah adegan mengunyah sirih pinang, atau memamaq dalam bahasa Sasak.

“Pada tahap awal, tubuhnya menolak. Mual, pusing, bahkan sampai muntah. Namun teater adalah ruang disiplin, tempat para aktor menundukkan ego dan melatih tubuh untuk menerima yang baru,” urai Erny, panggilan kecilnya.

Dari hari ke hari, mual itu berkurang, dan sirih pinang perlahan menjadi bagian dari ritme perannya. Ada kepasrahan, tapi juga tekad di dalamnya, sejenis kerendahan hati untuk belajar dari tubuh sendiri dan dari tradisi yang coba dihidupi.

Baca Juga :  Tia Sofiana: Kardus, Anak-Anak, dan Satir yang Bertanya

Di sinilah lompatan itu terjadi. Yulianerny tidak hanya belajar menjadi “nenek” secara teknis, dengan tubuh yang ringkih, suara yang serak, atau langkah yang pelan, melainkan memasuki pengalaman hidup seorang perempuan tua yang membawa beban sejarah, luka keluarga, dan kekuatan keberlanjutan.

Ia seolah melampaui umurnya, melompat puluhan tahun ke depan, dan berhadapan langsung dengan dua karakter kunci: Borka dan Paman. Pertemuan batin itu, menurut pengakuannya, merupakan pengalaman yang mengguncang sekaligus memperkaya.

Yulianerny seperti dituntun untuk memahami sudut pandang yang berbeda tentang usia, kuasa, dan kerentanan.

“Di dunia teater, peran sering kali merupakan cermin yang mengembalikan kita pada sisi-sisi diri yang belum pernah kita sentuh,” tambah Yulianerny.

Menurutnya, peran Nenek adalah pintu menuju pemahaman baru tentang daya tahan, keteguhan, dan kedalaman nilai tradisi.

Baca Juga :  Pendekatan Jurnalistik dalam Penulisan Lakon

Ia bukan sekadar memerankan karakter. Ia menjalani proses pertumbuhan personal yang mengajarkan dirinya untuk melompati zona nyaman.

Lompatan itu bukan lompatan lahiriah, melainkan lompatan batin, lompatan menuju versi diri yang lebih kuat, lebih sensitif, dan lebih terbuka menerima pengalaman baru.

Lakon Borka 2025 memberi Yulianerny ruang untuk melihat dirinya sendiri dari perspektif lain. Bukan hanya sebagai pengajar, bukan hanya sebagai aktor pemula, tetapi sebagai individu yang mampu menembus batas dan memasuki relung pengalaman yang sepintas mustahil dilakukan.

Dan ketika batas itu dilampaui, ia menyadari bahwa panggung teater bukan sekadar ruang bermain, melainkan ruang transformasi.

Pada akhirnya, pengalaman Yulianerny mengajarkan satu hal penting, bahwa setiap peran adalah undangan untuk melompat lebih jauh dari yang kita bayangkan.

Dalam dirinya, peran Nenek menjelma menjadi sebuah lompatan tak terkira, sebuah perjalanan yang menyatukan seni, tubuh, dan jiwa dalam langkah yang berani menuju kedalaman manusia. (Aks)***

Penulis : Aks

Editor : Ceraken Editor

Sumber Berita : Liputan

Berita Terkait

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak
I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan
Artha Kusuma: Menari di Atas Kanvas, Merawat Raga, Irama, dan Rasa
S La Radek dan Sketsa yang Menyala dalam “The Rules of The Game”
Resonansi Batin dan Kebersamaan: Ekspresi Impresionistik Lalu Syaukani
Bambang Prasetya: Realisme yang Nyrempet ke Nurani Publik
Wang Arzaky: Street Art, Ruang Sunyi, dan Perayaan yang Rapuh
Ahmad Saifi P: Menolak Kemapanan, Mencari Estetika Baru

Berita Terkait

Senin, 22 Desember 2025 - 20:32 WITA

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Desember 2025 - 18:32 WITA

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Minggu, 21 Desember 2025 - 16:39 WITA

Artha Kusuma: Menari di Atas Kanvas, Merawat Raga, Irama, dan Rasa

Minggu, 21 Desember 2025 - 12:38 WITA

S La Radek dan Sketsa yang Menyala dalam “The Rules of The Game”

Jumat, 19 Desember 2025 - 08:55 WITA

Resonansi Batin dan Kebersamaan: Ekspresi Impresionistik Lalu Syaukani

Berita Terbaru

Apa yang mereka lakukan berangkat dari kesadaran sebagai manusia biasa  (Foto: ist)

AGENDA SOSIAL

Seni sebagai Kesaksian Zaman: Solidaritas dari Mataram untuk Sumatera

Selasa, 23 Des 2025 - 01:12 WITA

The Last Fruit mengandung metafora yang kuat. Ia terdengar sederhana, tetapi sekaligus menggetarkan (Foto: bp)

TOKOH & INSPIRASI

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Des 2025 - 20:32 WITA

Karya-karya Pak Kisid (kanan) hadir sebagai penanda bahwa seni tidak hanya berbicara tentang bentuk dan warna, tetapi juga tentang nilai dan tanggung jawab.(Foto: ist)

TOKOH & INSPIRASI

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Senin, 22 Des 2025 - 18:32 WITA

Dari Sumbawa, sebuah gagasan sedang dirajut: bahwa masa depan literasi daerah tidak harus gemerlap, tetapi harus berakar (foto: NR)

KEARIFAN LOKAL

Menggagas Perpustakaan Tematik: Jalan Sunyi Literasi dari Tana Samawa

Senin, 22 Des 2025 - 16:54 WITA

Dipsy Do tergolong band baru, lahir dari jam-jam sepulang kerja (Foto: Konser Lombok)

MUSIC & SHOW BIZZ

Dipsy Do di Soundrenaline 2025: Dari Mataram ke Pusat Hiruk-Pikuk Modernitas

Senin, 22 Des 2025 - 15:50 WITA