CERAKEN.ID- Mataram- Menjadi bagian dari tim artistik dalam garapan Borka 2025 merupakan pengalaman yang tidak hanya menyangkut kerja teknis, tetapi juga perjalanan batin yang panjang. Bagi Salam Efendi, pertanyaan sederhana, “Apa rasanya menjadi tim artistik di Borka?”, justru membuka ruang refleksi yang lebih luas tentang proses kreatif yang telah ia jalani bersama Teater Lho Indonesia.
Ia menyadari bahwa pengalaman artistiknya tidak berdiri sendiri di dalam satu wadah, melainkan terbentuk dari pertemuan dengan berbagai komunitas teater yang pernah ia singgahi. Proses inilah yang kemudian membentuk cara pandangnya dalam memaknai dunia artistik, termasuk ketika berhadapan dengan Borka.
Salam memaknai Borka, yang akan dipentaskan pada 10 Desember 2025 di Taman Budaya Mataram, sebagai “pecahan-pecahan yang berserakan dan berantakan.” Sebuah metafora yang menggambarkan kompleksitas naskah, lapisan-lapisan makna, dan dunia yang tidak tunggal.
Sebagai bagian dari tim artistik, pijakan utama baginya tetaplah naskah. Namun ia juga memahami bahwa naskah bukan satu-satunya sumber kebenaran estetika, ada dialog, dialektika, dan ruang negosiasi yang selalu harus terbangun dengan sutradara.
“Dalam teater, keputusan estetis selalu bermuara pada visi sutradara, namun tim artistik yang baik tidak sekadar menunggu keputusan. Mereka menawarkan, menyodorkan kemungkinan, dan membuka ruang penafsiran,” ulas Salam.
Di sinilah Salam menemukan tantangan terbesarnya. Sutradara Borka, Eko Wahono, menurutnya adalah sosok yang selalu dipenuhi imajinasi, melihat setiap detail pertunjukan sebagai peluang untuk memperluas daya ungkap karya. Imajinasi yang kaya dan bergerak ini menjadi ruang tantangan sekaligus ruang belajar bagi tim artistik.
Mereka harus menemukan “benang merah” antara konsep penafsiran mereka dan imajinasi sang sutradara, sebuah proses yang tidak pernah benar-benar sederhana. Alih-alih hanya mengeksekusi, tim artistik harus benar-benar memahami arah imajinasi yang ingin dibangun sutradara, lalu menerjemahkannya ke dalam bentuk visual dan ruang yang konkret.
Dalam proses garapan Borka, Salam merasakan betul bahwa kekuatan pertunjukan terletak pada sinerjitas: sinerjitas imaji, sinerjitas tafsir, dan sinerjitas kolaborasi. Ia belajar bahwa dunia artistik bukan sekadar desain, bukan hanya dekor yang mempercantik panggung, melainkan dunia yang menghidupkan naskah.
Dunia itu harus hadir sebagai perpanjangan makna, sebagai tubuh baru yang menampung gagasan naskah dan imajinasi sutradara. Karena itulah, proses pencarian visual dalam Borka tidak pernah linier; ia dibentuk dari diskusi, perdebatan kreatif, tawaran-tawaran konsep, dan pertanyaan-pertanyaan yang saling dilontarkan antar-anggota tim.
“Setiap tawaran artistik yang diajukan selalu melalui proses dialog. Tim artistik merancang konsep berdasarkan tafsir naskah, lalu menyodorkannya kepada sutradara,” kata Salam.
Dari sana, terjadi dialektika, sebuah proses yang tidak hanya mencocokkan estetika, tetapi juga memastikan bahwa visual yang dihadirkan memiliki relevansi dramaturgis. Dalam teater, semua unsur harus saling menopang: naskah, aktor, ruang, cahaya, musik, dan desain.
Karena itu, bagi Salam, bekerja dalam Borka adalah kerja merangkai pecahan-pecahan tersebut hingga menjadi satu kesatuan dunia yang utuh dan hidup.
Kompleksitas naskah Borka dan kekuatan visi sutradara menuntut tim artistik untuk terus berpikir kreatif dan inovatif. Tidak ada ruang bagi kenyamanan yang statis.
Proses kreatif mendorong tim untuk menantang gagasan sendiri, mempercayai intuisi, sekaligus tetap terbuka terhadap imajinasi kolektif.
Di titik inilah Salam merasa bahwa teater menemukan maknanya sebagai seni kolaborasi. Tidak ada satu unsur pun yang berdiri sebagai kebenaran tunggal. Segala sesuatu lahir dari pertemuan antar-imajinasi.
Melalui proses panjang ini, Salam Efendi menyadari bahwa menjadi tim artistik bukan hanya soal bekerja untuk mewujudkan bentuk, tetapi juga bekerja untuk memahami. Memahami naskah, memahami sutradara, memahami dinamika tim, dan memahami kemungkinan estetika yang dapat dihadirkan.
Ia melihat bahwa kekuatan Borka tidak hanya terletak pada apa yang tampak di panggung, tetapi juga pada proses pengolahan yang menyatukan banyak kepala, banyak imajinasi, dan banyak tafsir.
Akhirnya, Borka baginya adalah ruang belajar tentang bagaimana kolaborasi berjalan, bagaimana interpretasi bertemu dengan visi, dan bagaimana imaji dapat dirangkai menjadi sesuatu yang bermakna.
Di rumah teater, tidak ada hasil tanpa perjumpaan. Dan dalam Borka, perjumpaan itu diwujudkan melalui sinerjitas kolaborasi imaji antara tim artistik, naskah, dan sutradara.
“Sebuah kesatuan yang membuat pertunjukan dapat berdiri dengan kuat di hadapan penonton, “ tutup Salam. (Aks)***
Penulis : Aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : Liputan































