Tia Sofiana: Kardus, Anak-Anak, dan Satir yang Bertanya

Rabu, 17 Desember 2025 - 09:56 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Membaca ulang hal-hal yang tampak sederhana, namun menyimpan beban yang kerap tak terlihat (Foto: aks)

Membaca ulang hal-hal yang tampak sederhana, namun menyimpan beban yang kerap tak terlihat (Foto: aks)

CERAKEN.ID – Di antara 15 perupa yang ambil bagian dalam Pameran Karya Seni Rupa Mandalika Art Community (MAC) bertajuk “Resonansi”, satu nama hadir dengan posisi yang sekaligus istimewa dan sunyi: Tia Sofiana. Ia menjadi satu-satunya peserta perempuan dalam pameran yang dibuka untuk publik hingga 30 Desember 2025 di Galeri Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Keistimewaan itu bukan sekadar soal representasi gender, melainkan juga tentang cara Tia berbicara melalui medium dan simbol yang ia pilih. Satu karya yang dipamerkannya berjudul “Maaf Dan Terima Kasih” (2025), berdimensi 137 x 93 sentimeter, menggunakan media akrilik di atas kardus.

Pada bidang itu, empat figur bocah berdiri rapi dalam satu bingkai, dengan gestur jempol “oke” yang segera memancing perhatian.

Pilihan kardus sebagai medium menjadi pintu masuk pembacaan yang penting. Kardus adalah benda sehari-hari: dipakai untuk membawa, menumpuk, mengirim, dan menyimpan sesuatu yang dianggap perlu.

Pada saat yang sama, ia juga digunakan untuk menyingkirkan hal-hal yang dianggap selesai. Kardus adalah ruang transit, tidak permanen, tetapi cukup kuat untuk menahan beban.

Dalam karya Tia, kardus tidak lagi netral; ia berubah menjadi simbol kondisi sementara yang sering kita anggap remeh, padahal di sanalah banyak keputusan dan beban hidup dititipkan.

Empat figur anak yang tampil tenang, patuh, dan meyakinkan justru menghadirkan ironi visual. Gestur “oke” memberi kesan bahwa semuanya baik-baik saja.

Namun ketenangan itu menyimpan pertanyaan yang lebih dalam: siapa sebenarnya yang menanggung beban? Seberapa matang keputusan-keputusan yang dibungkus rapi sebelum disodorkan ke hadapan publik atau bahkan ke hadapan anak-anak itu sendiri?

Kardus dalam lukisan ini seolah menampung banyak hal sekaligus: gambar, beban, harapan, juga mungkin janji atau niat baik. Ia tampak sederhana, sebagaimana pesan-pesan sering kali disederhanakan sebelum sampai ke tangan penerimanya.

Baca Juga :  Musik Teater sebagai Jantung Emosional: “Sajian Bunyi” Gde Agus Mega

Tia menuliskan semacam nada lirih yang terasa menyertai karyanya: maaf bila terlihat sederhana; terima kasih, setidaknya kardus ini cukup kuat, walau hanya sampai basah. Sebuah pengakuan yang halus, namun menyisakan kegelisahan.

“Lukisan itu menggunakan satir sebagai bahasa visual,” ujar Tia.

Baginya, seni adalah ruang untuk bertanya, bukan untuk memberi jawaban tunggal. Karena itu pula ia membebaskan siapa pun untuk menafsirkan bahasa visualnya yang sederhana, bahkan ketika medium yang digunakan adalah kardus, benda yang sering luput dari perhatian.

Latar belakang Tia sebagai perupa terbentuk sejak ia menempuh pendidikan Seni Rupa di Universitas Negeri Yogyakarta mulai tahun 2015. Sejak masa kuliah itu pula ia mulai aktif berkarya dan berpameran, sebuah perjalanan yang terus berlanjut hingga hari ini.

Selain melukis, Tia mengelola kelas seni dan mengajar sebagai guru di Anak Alam Intercultural School, Kuta Mandalika. Dunia pendidikan bukan ruang asing baginya, melainkan bagian dari keseharian yang tumbuh alami.

“Kebanyakan karya saya realisme ekspresionis,” ujarnya dengan nada ceria.

Pendekatan ini memadukan bentuk-bentuk yang masih dapat dikenali secara realistis, namun diolah dengan distorsi, warna, dan gestur ekspresif untuk menekankan emosi, pengalaman batin, atau kritik sosial.

Pilihan estetik itu tidak lepas dari pengaruh para perupa yang ia kagumi: Sudjojono, yang ia sebut dengan tegas sebagai sosok favorit, serta Francis Bacon dan Affandi.

Pilihan Tia untuk menjadi guru kerap dianggap sebagai jalan yang berbeda dari panggilan berkarya. Namun baginya, mengajar bukanlah pengganti seni.

Baca Juga :  Bahasa, Kepemimpinan, dan Zaman yang Terus Berubah

“Saya memang mencintai dunia mengajar dan anak-anak,” tuturnya. Sejak SMA, tanpa sadar ia sudah mulai mengajar, sebuah kebiasaan yang tumbuh seiring waktu. Lingkungan keluarga turut membentuk jalan itu; dari pihak ibu, hampir semua saudaranya adalah guru.

“Mengajar bukan pengganti jalan berkarya, tapi bagian dari proses menjadi perupa: berbagi, belajar ulang, dan menjaga kepekaan.”

Posisinya sebagai satu-satunya perupa perempuan di pameran “Resonansi” ia terima dengan perasaan yang berlapis. Ada kebanggaan karena dipercaya dan diberi ruang, tetapi juga ada kesedihan karena minimnya keterlibatan perupa perempuan.

Namun kondisi itu tidak ia anggap sebagai keluhan semata. “Justru ini saya anggap sebagai tantangan dan pengingat bahwa ruang untuk perupa perempuan masih perlu terus dibuka, diperjuangkan, dan diisi.”

Menariknya, keterlibatan Tia dalam pameran ini tidak berhenti sebagai peserta. Ia juga dipercaya terlibat aktif dalam pengelolaan pameran: mulai dari desain materi visual, administrasi, pendataan seniman, hingga pengelolaan keuangan.

Peran organisatoris ini ia jalani sebagai bagian dari komitmen terhadap keberlangsungan dan kualitas Mandalika Art Community.

“Kalau yang ini, dari kuliah sudah mulai masuk manajemen seni rupa,” katanya singkat, menegaskan bahwa kerja-kerja di balik layar pun baginya adalah bagian dari praktik seni.

Melalui “Maaf Dan Terima Kasih”, Tia Sofiana tidak hanya menghadirkan satu karya di dinding galeri. Ia membawa pertanyaan, ironi, dan keheningan yang mengajak publik berhenti sejenak.

Membaca ulang hal-hal yang tampak sederhana, namun menyimpan beban yang kerap tak terlihat. Dalam resonansi yang dibangun MAC, suara Tia hadir pelan, tetapi justru karena itu ia terdengar jelas. (aks)

Penulis : aks

Editor : Ceraken Editor

Sumber Berita : liputan

Berita Terkait

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak
I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan
Artha Kusuma: Menari di Atas Kanvas, Merawat Raga, Irama, dan Rasa
S La Radek dan Sketsa yang Menyala dalam “The Rules of The Game”
Resonansi Batin dan Kebersamaan: Ekspresi Impresionistik Lalu Syaukani
Bambang Prasetya: Realisme yang Nyrempet ke Nurani Publik
Wang Arzaky: Street Art, Ruang Sunyi, dan Perayaan yang Rapuh
Ahmad Saifi P: Menolak Kemapanan, Mencari Estetika Baru

Berita Terkait

Senin, 22 Desember 2025 - 20:32 WITA

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Desember 2025 - 18:32 WITA

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Minggu, 21 Desember 2025 - 16:39 WITA

Artha Kusuma: Menari di Atas Kanvas, Merawat Raga, Irama, dan Rasa

Minggu, 21 Desember 2025 - 12:38 WITA

S La Radek dan Sketsa yang Menyala dalam “The Rules of The Game”

Jumat, 19 Desember 2025 - 08:55 WITA

Resonansi Batin dan Kebersamaan: Ekspresi Impresionistik Lalu Syaukani

Berita Terbaru

Apa yang mereka lakukan berangkat dari kesadaran sebagai manusia biasa  (Foto: ist)

AGENDA SOSIAL

Seni sebagai Kesaksian Zaman: Solidaritas dari Mataram untuk Sumatera

Selasa, 23 Des 2025 - 01:12 WITA

The Last Fruit mengandung metafora yang kuat. Ia terdengar sederhana, tetapi sekaligus menggetarkan (Foto: bp)

TOKOH & INSPIRASI

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Des 2025 - 20:32 WITA

Karya-karya Pak Kisid (kanan) hadir sebagai penanda bahwa seni tidak hanya berbicara tentang bentuk dan warna, tetapi juga tentang nilai dan tanggung jawab.(Foto: ist)

TOKOH & INSPIRASI

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Senin, 22 Des 2025 - 18:32 WITA

Dari Sumbawa, sebuah gagasan sedang dirajut: bahwa masa depan literasi daerah tidak harus gemerlap, tetapi harus berakar (foto: NR)

KEARIFAN LOKAL

Menggagas Perpustakaan Tematik: Jalan Sunyi Literasi dari Tana Samawa

Senin, 22 Des 2025 - 16:54 WITA

Dipsy Do tergolong band baru, lahir dari jam-jam sepulang kerja (Foto: Konser Lombok)

MUSIC & SHOW BIZZ

Dipsy Do di Soundrenaline 2025: Dari Mataram ke Pusat Hiruk-Pikuk Modernitas

Senin, 22 Des 2025 - 15:50 WITA