CERAKEN.ID – Di antara 15 perupa yang ambil bagian dalam Pameran Karya Seni Rupa Mandalika Art Community (MAC) bertajuk “Resonansi”, satu nama hadir dengan posisi yang sekaligus istimewa dan sunyi: Tia Sofiana. Ia menjadi satu-satunya peserta perempuan dalam pameran yang dibuka untuk publik hingga 30 Desember 2025 di Galeri Taman Budaya Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Keistimewaan itu bukan sekadar soal representasi gender, melainkan juga tentang cara Tia berbicara melalui medium dan simbol yang ia pilih. Satu karya yang dipamerkannya berjudul “Maaf Dan Terima Kasih” (2025), berdimensi 137 x 93 sentimeter, menggunakan media akrilik di atas kardus.
Pada bidang itu, empat figur bocah berdiri rapi dalam satu bingkai, dengan gestur jempol “oke” yang segera memancing perhatian.
Pilihan kardus sebagai medium menjadi pintu masuk pembacaan yang penting. Kardus adalah benda sehari-hari: dipakai untuk membawa, menumpuk, mengirim, dan menyimpan sesuatu yang dianggap perlu.
Pada saat yang sama, ia juga digunakan untuk menyingkirkan hal-hal yang dianggap selesai. Kardus adalah ruang transit, tidak permanen, tetapi cukup kuat untuk menahan beban.
Dalam karya Tia, kardus tidak lagi netral; ia berubah menjadi simbol kondisi sementara yang sering kita anggap remeh, padahal di sanalah banyak keputusan dan beban hidup dititipkan.
Empat figur anak yang tampil tenang, patuh, dan meyakinkan justru menghadirkan ironi visual. Gestur “oke” memberi kesan bahwa semuanya baik-baik saja.
Namun ketenangan itu menyimpan pertanyaan yang lebih dalam: siapa sebenarnya yang menanggung beban? Seberapa matang keputusan-keputusan yang dibungkus rapi sebelum disodorkan ke hadapan publik atau bahkan ke hadapan anak-anak itu sendiri?
Kardus dalam lukisan ini seolah menampung banyak hal sekaligus: gambar, beban, harapan, juga mungkin janji atau niat baik. Ia tampak sederhana, sebagaimana pesan-pesan sering kali disederhanakan sebelum sampai ke tangan penerimanya.
Tia menuliskan semacam nada lirih yang terasa menyertai karyanya: maaf bila terlihat sederhana; terima kasih, setidaknya kardus ini cukup kuat, walau hanya sampai basah. Sebuah pengakuan yang halus, namun menyisakan kegelisahan.
“Lukisan itu menggunakan satir sebagai bahasa visual,” ujar Tia.
Baginya, seni adalah ruang untuk bertanya, bukan untuk memberi jawaban tunggal. Karena itu pula ia membebaskan siapa pun untuk menafsirkan bahasa visualnya yang sederhana, bahkan ketika medium yang digunakan adalah kardus, benda yang sering luput dari perhatian.
Latar belakang Tia sebagai perupa terbentuk sejak ia menempuh pendidikan Seni Rupa di Universitas Negeri Yogyakarta mulai tahun 2015. Sejak masa kuliah itu pula ia mulai aktif berkarya dan berpameran, sebuah perjalanan yang terus berlanjut hingga hari ini.
Selain melukis, Tia mengelola kelas seni dan mengajar sebagai guru di Anak Alam Intercultural School, Kuta Mandalika. Dunia pendidikan bukan ruang asing baginya, melainkan bagian dari keseharian yang tumbuh alami.
“Kebanyakan karya saya realisme ekspresionis,” ujarnya dengan nada ceria.
Pendekatan ini memadukan bentuk-bentuk yang masih dapat dikenali secara realistis, namun diolah dengan distorsi, warna, dan gestur ekspresif untuk menekankan emosi, pengalaman batin, atau kritik sosial.
Pilihan estetik itu tidak lepas dari pengaruh para perupa yang ia kagumi: Sudjojono, yang ia sebut dengan tegas sebagai sosok favorit, serta Francis Bacon dan Affandi.
Pilihan Tia untuk menjadi guru kerap dianggap sebagai jalan yang berbeda dari panggilan berkarya. Namun baginya, mengajar bukanlah pengganti seni.
“Saya memang mencintai dunia mengajar dan anak-anak,” tuturnya. Sejak SMA, tanpa sadar ia sudah mulai mengajar, sebuah kebiasaan yang tumbuh seiring waktu. Lingkungan keluarga turut membentuk jalan itu; dari pihak ibu, hampir semua saudaranya adalah guru.
“Mengajar bukan pengganti jalan berkarya, tapi bagian dari proses menjadi perupa: berbagi, belajar ulang, dan menjaga kepekaan.”
Posisinya sebagai satu-satunya perupa perempuan di pameran “Resonansi” ia terima dengan perasaan yang berlapis. Ada kebanggaan karena dipercaya dan diberi ruang, tetapi juga ada kesedihan karena minimnya keterlibatan perupa perempuan.
Namun kondisi itu tidak ia anggap sebagai keluhan semata. “Justru ini saya anggap sebagai tantangan dan pengingat bahwa ruang untuk perupa perempuan masih perlu terus dibuka, diperjuangkan, dan diisi.”
Menariknya, keterlibatan Tia dalam pameran ini tidak berhenti sebagai peserta. Ia juga dipercaya terlibat aktif dalam pengelolaan pameran: mulai dari desain materi visual, administrasi, pendataan seniman, hingga pengelolaan keuangan.
Peran organisatoris ini ia jalani sebagai bagian dari komitmen terhadap keberlangsungan dan kualitas Mandalika Art Community.
“Kalau yang ini, dari kuliah sudah mulai masuk manajemen seni rupa,” katanya singkat, menegaskan bahwa kerja-kerja di balik layar pun baginya adalah bagian dari praktik seni.
Melalui “Maaf Dan Terima Kasih”, Tia Sofiana tidak hanya menghadirkan satu karya di dinding galeri. Ia membawa pertanyaan, ironi, dan keheningan yang mengajak publik berhenti sejenak.
Membaca ulang hal-hal yang tampak sederhana, namun menyimpan beban yang kerap tak terlihat. Dalam resonansi yang dibangun MAC, suara Tia hadir pelan, tetapi justru karena itu ia terdengar jelas. (aks)
Penulis : aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : liputan































