CERAKEN.ID – Jakarta, Sabtu sore, 20 Desember 2025. Di tengah padatnya jadwal dan gemuruh salah satu festival musik paling prestisius di Indonesia, Soundrenaline, sebuah nama dari timur Nusantara mendapat momentumnya. Dipsy Do, band indie rock asal Mataram, Lombok, menapaki panggung Coma Bar Soundrenaline 2025 dengan percaya diri, membawa cerita, energi, dan identitas yang lahir dari ruang-ruang personal sepulang kerja, kini berhadapan langsung dengan publik musik nasional.
Tampil pada slot menjelang petang, Dipsy Do mengisi durasi 30 menit dengan permainan yang solid dan minim kendala teknis. Panggung Coma Bar memang bukan panggung utama, namun justru di ruang inilah intensitas pertunjukan terasa lebih dekat, lebih intim, sekaligus menantang.
Bagi Dipsy Do, ini bukan sekadar tampil di festival, melainkan ujian mental dan musikal di hadapan pendengar baru yang sebagian besar belum pernah bersentuhan dengan karya mereka.
Setlist malam itu disusun rapi untuk merepresentasikan dua fase perjalanan Dipsy Do. Mereka membuka penampilan dengan Plastic Modern Age, disusul Friday Night, dua lagu dari album terbaru Neon Sins & City Grins yang dirilis di hari yang sama. Pilihan ini terasa strategis: langsung menegaskan arah baru musikal mereka yang lebih tajam, urban, dan reflektif.
Setelah itu, Dipsy Do memberi jeda nostalgia dengan Black Hole dari album pertama Sophisticated, seolah mengajak pendengar menelusuri titik awal perjalanan mereka, sebelum kembali mengentak lewat Please Oh Please dan Nightlife Blues. Lagu Martian Day dipilih sebagai penutup, menjaga energi tetap menyala hingga detik terakhir.
Beberapa lagu dengan tempo cepat menjadi titik letup paling berkesan, baik bagi band maupun penonton. “Di lagu-lagu yang temponya cepat, kami bisa meluapkan ekspresi dengan lebih lepas, dan itu ternyata ikut memancing penonton untuk bergerak tanpa sadar,” ujar para personil.
Di antara materi baru, Please Oh Please mencuri perhatian paling kuat. Beat rock ’n roll yang sederhana namun efektif membuat lagu ini mudah mengajak tubuh bergoyang, bahkan bagi penonton yang baru pertama kali menyaksikan Dipsy Do secara langsung.
Secara emosional, hampir seluruh lagu terasa intens. Banyak bagian menantang yang menuntut energi penuh dari tiap personil. Vokal Imam Arif, misalnya, kerap bergerak di nada-nada tinggi yang membutuhkan stamina ekstra.
Namun dengan dukungan tata suara yang solid, teriakan dan tarikan vokal tersebut justru menambah nyawa pada setiap lagu. Emosi yang mentah dan jujur menjadi kekuatan utama Dipsy Do di atas panggung, tanpa berlebihan, tanpa dibuat-buat.

Interaksi dengan penonton terjalin secara alami. Hampir seluruh penonton terlihat bergerak mengikuti irama, sementara sebagian lainnya sibuk mengabadikan momen melalui kamera profesional maupun ponsel. Salah satu momen pembuka yang paling mencuri perhatian terjadi saat Imam Arif menyapa audiens dengan kalimat sederhana, “Kami dari kota Mataram, Pulau Lombok.”
Tepuk tangan langsung menyambut. Kalimat itu bekerja seperti mantra pembuka, menegaskan asal-usul sekaligus menghadirkan rasa ingin tahu. Nama Lombok, yang dalam beberapa tahun terakhir semakin akrab di telinga publik nasional, menjadi identitas yang memperkuat daya tarik mereka.
Dukungan emosional juga datang dari lingkar terdekat. Sekitar lima orang penonton yang telah lama dikenal band, perantau asal Lombok. hadir khusus untuk menyaksikan Dipsy Do tampil di Jakarta. Kehadiran mereka menjadi penguat batin di tengah tekanan panggung festival nasional. Di ruang yang asing, wajah-wajah familiar memberi rasa pulang, meski hanya sekejap.
Meski Coma Bar bukan panggung besar, atmosfer Soundrenaline memberi dorongan adrenalin yang berbeda. “Ini event prestisius. Kami berhadapan dengan pendengar baru di pusat industri musik. Adrenalin kami jauh lebih terpacu,” ujar Datu Dhira, drummer Dipsy Do.
Ia bahkan merasakan tempo lagu terasa lebih lambat saat dimainkan, sebuah fenomena psikologis yang kerap muncul ketika adrenalin memuncak dan fokus berada di titik tertinggi.
Dari sisi teknis, Dipsy Do mengaku puas. Kualitas sound dinilai jernih dan detail, bahkan ketika direkam menggunakan ponsel. Kekhawatiran sempat muncul karena band ini tidak membawa sound engineer sendiri, sementara setup teknis mereka tergolong kompleks, mengandalkan dua laptop untuk sequencer dan sound bank keyboard.
Namun kecemasan itu sirna berkat kesigapan panitia, L.O., dan tim sound engineer yang bekerja profesional. Satu-satunya penyesuaian teknis dilakukan pada Martian Day, dengan sedikit memperpanjang bagian menjelang interlude demi membangun emosi yang lebih kuat.
Bagi Dipsy Do, tampil di Soundrenaline memiliki makna personal. Meski tiap personil telah lama berkecimpung di dunia musik, Dipsy Do sendiri tergolong band baru, lahir dari jam-jam sepulang kerja, ketika musik menjadi katarsis dari rutinitas.
“Panggilan Soundrenaline ini seperti hadiah yang mengejutkan. Ambisi untuk jadi band besar itu ada, tapi tidak menggebu. Jadi tampil di event sebesar ini terasa seperti bonus manis di akhir tahun,” ungkap mereka.
Perjalanan dari Lombok ke Jakarta menjadi pengalaman yang mempererat ikatan emosional band dan tim. Di luar panggung, kebersamaan dalam perjalanan justru memperkuat rasa percaya satu sama lain.

Secara tematik, meski berasal dari Lombok, Dipsy Do merasa cerita dalam lagu-lagu mereka, terutama di album Neon Sins & City Grins, sangat dekat dengan kehidupan urban Jakarta. Kritik atas kepalsuan modernitas, rutinitas kota besar, dan kegelisahan hidup kontemporer menemukan konteksnya sendiri ketika dibawakan di hadapan pendengar metropolitan.
Merilis album di hari yang sama dengan penampilan festival menjadi tantangan tersendiri. Fokus band terbelah antara merayakan rilisan baru dan menyerap pengalaman tampil di Jakarta. Namun keduanya sama-sama bermakna.
Dari album tersebut, Plastic Modern Age dan Nightlife Blues dianggap paling merepresentasikan arah baru Dipsy Do: refleksi atas kehidupan urban yang penuh kepalsuan dan kekacauan, namun tetap dijalani dengan ekspresi dan kejujuran.
Usai penampilan, Dipsy Do menyampaikan rasa syukur atas perjalanan yang berjalan lancar, dukungan tim, serta jejaring yang semakin luas.
Mereka juga mengucapkan terima kasih kepada Helmy Prastowo Budi (Pepadu Badjang), Rendian (Kirikanan), Lalu Dhena (Kingsmaker), serta berbagai media musik Lombok yang terus mendukung langkah mereka. Tak berjalan sendirian, Dipsy Do turut dibantu kawan-kawan terdekat: Kharisma Priasa sebagai personil tambahan gitar, serta Intan Dewi yang mendokumentasikan perjalanan mereka.
“Kami berharap lagu-lagu kami bisa jadi bahan perenungan, tentang hidup, tentang kondisi sosial. Silakan dinikmati musiknya, liriknya, atau salah satunya,” pesan mereka kepada pendengar baru.
Ke depan, Dipsy Do berencana kembali tampil di Mataram, menyambangi berbagai komunitas di Nusa Tenggara Barat, hingga membuka kemungkinan tur.
Selebihnya, mereka memilih untuk tetap mengalir, membiarkan perjalanan bermusik ini tumbuh melalui kejutan-kejutan yang tak selalu direncanakan, namun selalu jujur dijalani. (aks)
Penulis : aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : Konser Lombok































