Catatan Agus K Saputra
CERAKEN.ID- Ada yang salah di negeri ini. Kalimat itu menggaung setiap kali kita menyaksikan bencana melanda, terutama ketika Sumatera kembali porak-poranda oleh banjir, longsor, atau gempa yang mengoyak kehidupan warganya.
Bencana memang kerap disebut sebagai “takdir alam”, tetapi terlalu sering kita menemukan jejak lain yang jauh lebih manusiawi, jejak keserakahan yang menjelma nyata, menjelma telanjang, menjelma tanpa malu.
Ketika bencana datang, kita kerap menyalahkan hujan yang tak berhenti, sungai yang meluap, atau tanah yang tak lagi mampu menahan tubuhnya sendiri.
Namun jarang kita bertanya: siapa yang merusak keseimbangan itu? Siapa yang menebang hutan-hutan tanpa kendali, merampas ruang air untuk mengalir, dan menyulap bentang alam menjadi komoditas belaka?
Dalam tragedi Sumatera, jawaban itu tampak lebih jelas: keserakahan telah mencapai taraf akut.
Keserakahan bukan lagi sekadar sifat buruk individu. Ia telah menjadi sistem yang hidup, berdarah, dan bekerja terstruktur.
Ia menjelma dalam perizinan yang longgar, dalam perusahaan-perusahaan yang mengeruk tanah tanpa belas kasihan, dalam aparat yang berpaling muka, dan dalam masyarakat yang tak lagi punya ruang untuk bersuara.
Ketika hutan ditebang, resapan hilang. Ketika bukit dikeruk, tanah kehilangan pegangan. Ketika sungai diganggu, arus mencari jalannya sendiri, sering kali ke rumah-rumah yang tak pernah siap menampung murka air.
Dan ketika bencana menghantam, kita kembali melihat pola klasik: air bah meluluhlantakkan desa, keluarga kehilangan tempat tinggal, anak-anak terdampar di pengungsian, dan para korban hanya bisa menatap langit sambil bertanya, “Mengapa kami?”
Sementara itu, di tempat lain, ada yang meraup keuntungan. Ada yang berpesta. Ada yang membangun kekayaan dari reruntuhan dan lumpur.
Di sanalah ironi paling telanjang negeri ini: mereka yang menimbulkan luka tidak ikut merasakan sakitnya.
Ada yang salah di negeri ini ketika bencana tiba-tiba tampak seperti peristiwa yang “biasa”, bahkan “rutin”. Ketika berita tentang desa hanyut menjadi deretan angka, bukan lagi jeritan manusia.
Ketika air mata korban lebih cepat menguap daripada janji pemulihan. Ketika kita terbiasa melihat kehancuran tanpa mengubah apa pun yang menjadi akar masalah.
Keserakahan yang akut itu menjelma bukan hanya dalam perampasan alam, tetapi juga dalam cara kekuasaan bekerja. Regulasi kerap dibuat demi mempermudah eksploitasi.
Pengawasan digerogoti kepentingan. Alam dijadikan objek transaksi. Kita lupa bahwa alam bukan pusaka warisan para pemodal, melainkan ruang hidup yang harus dijaga bersama.
Dan Sumatera, seperti banyak wilayah lain di Indonesia, menjadi bukti yang tak bisa dibantah. Tanahnya menjerit, airnya mengamuk, hutannya runtuh satu per satu.
Bencana, yang seharusnya menjadi peringatan, justru menjadi pola yang terus berulang karena akar persoalannya tak pernah benar-benar disentuh.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti menyalahkan alam. Alam tak berkhianat. Yang berkhianat adalah cara kita memperlakukannya.
Yang salah adalah cara kita membangun negeri ini: dengan membiarkan keserakahan menjadi kekuatan yang bebas berkeliaran.
Ada yang salah di negeri ini, dan kita tahu di mana letaknya. Pertanyaannya adalah: sampai kapan kita membiarkan kesalahan itu menjadi normal?
Sampai kapan kita membiarkan bencana menjadi bahasa alam untuk menegur, sementara kita tetap tuli?
Jika keserakahan terus dibiarkan, maka Sumatera hanya salah satu bab dari tragedi panjang yang sedang ditulis di negeri ini. Sebuah tragedi yang seharusnya bisa dihentikan, jika kita benar-benar ingin memperbaiki, bukan sekadar berduka.
#Akuair-Ampenan, 07-12-2025
Penulis : Aks
Editor : Ceraken Editor
































