CERAKEN.ID- Mataram- Tidak semua kontribusi tampil mencolok di panggung dalam dunia pertunjukan. Ada peran-peran yang hadir seperti aliran halus, tidak besar, tidak bising, tetapi justru menentukan atmosfer dan kedalaman emosional pementasan.
Begitulah peran yang dijalani Sanggaita, mahasiswi UNU NTB yang dipercaya sebagai penembang dalam Lakon Borka, yang akan dipentaskan pada 10 Desember 2025 bersama Teater Lho Indonesia di Taman Budaya Mataram.
Pementasan ini dalam rangka perhelatan Festival Teater Indonesia yang berlangsung di 4 kota, yaitu Medan, Palu, Mataram, dan Jakarta.
Sanggaita memulai prosesnya dengan perasaan dag dig dug. Wajar saja, ia bukan hanya harus menembang, tetapi juga menjadi penjaga rasa yang mengikat adegan-adegan dengan getaran vokal yang tepat.
Awalnya ia mengisi beberapa adegan dengan humming yang lembut, menjadi latar emosional yang menyatu dengan ritme cerita. Namun setelah kurasi, hanya dua adegan saja yang mempertahankan kehadiran suaranya.
Bagi sebagian orang, pengurangan porsi mungkin terasa mengecewakan. Tetapi tidak bagi Sanggaita.
Ia justru menyikapinya dengan keluwesan dan ketenangan seorang pekerja seni yang matang. Baginya, sedikit atau banyak bukanlah ukuran nilai.
“Yang terpenting adalah autentisitas, bahwa kehadiran suaranya, sekecil apa pun, mampu memberi warna yang tepat bagi pementasan,” ujar Sanggaita.
Ia bahkan membuka diri untuk improvisasi kecil, merespons isyarat dari pemusik Bli Agus Mega. Sikap ini menunjukkan fleksibilitas yang tak semua penampil miliki: kesediaan untuk melebur, mengikuti alur, dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan dramaturgi.
Di tengah kompleksitas Borka, kehadiran Sanggaita menjadi semacam aksen. Ia tidak harus berada di pusat lampu sorot. Ia hadir seperti angin yang menyelinap, memberi sentuhan lembut yang mempengaruhi perasaan penonton tanpa mereka sadari.
Humming yang hanya muncul dalam dua adegan bukanlah kekurangan, melainkan pilihan artistik. Sebuah penyaringan peran agar suara kecil itu punya daya pukau yang lebih kuat, lebih fokus, lebih berkelas.
Kepekaan Sanggaita dalam membaca arahan juga memperlihatkan kualitas penting seorang penembang: kemampuan merespons secara musikal tanpa mengganggu keutuhan cerita. Ia bersedia mengikuti tempo adegan, naik-turun emosi, bahkan improvisasi kecil yang mungkin terjadi di panggung.
Inilah bentuk kolaborasi sejati. Bukan sekadar tampil, tetapi terlibat dalam jalinan struktur pertunjukan secara utuh.
Pada akhirnya, perjalanannya sebagai penembang dalam Borka adalah tentang cara menerima porsi dengan elegan. Tentang menyadari bahwa nilai sebuah penampilan bukan terletak pada durasinya, melainkan pada kualitas yang terkandung dalam detik-detik kehadirannya.
Sanggaita memilih fokus pada esensi itu: memberikan autentisitas yang berkelas melalui suara yang mungkin singkat, tetapi memiliki getaran yang tersisa.
Di balik panggung yang penuh dinamika, ia menemukan ruang untuk tumbuh tenang. Dan mungkin justru di sanalah letak keindahan perannya: hadir sedikit, tetapi mengisi celah emosional yang tidak bisa diisi siapa pun selain dirinya.
“Autentik yang berkelas”—itulah tepatnya.(Aks)***
Penulis : Aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : Liputan
































