CERAKEN.ID- Mataram- Dalam dunia teater, ada kalanya sebuah peran bukan sekadar tugas memerankan karakter, tetapi menjadi pintu masuk menuju pengalaman batin yang dalam. Demikianlah yang dirasakan Sopiyan Sauri, seorang guru pesantren yang sekaligus menjadi pemeran Paman dalam lakon Borka 2025.
Ia menggambarkan proses kreatifnya sebagai perjalanan menyusuri labirin: ruwet, penuh tikungan, dan menuntut ketelitian membaca tanda-tanda agar bisa menemukan jalan keluar. Metafora ini bukan hanya tentang kerumitan karya, melainkan juga tentang dinamika tumbuhnya kesadaran tubuh, teks, dan relasi antarpemain di dalam proses seni peran.
Sopiyan menegaskan bahwa lakon Borka bukan pertunjukan yang hanya bisa dipahami lewat penguasaan dialog atau hafalan naskah. Ada banyak lapisan simbol, tafsir, dan ritme tubuh yang mesti dibaca berulang kali.
Bahkan, ia mengakui bahwa proses yang ia jalani seolah membuat para aktor harus saling membaca satu sama lain, sebuah dialog tak tertulis antara energi tubuh, respons emosional, dan intuisi panggung.
Di sini, peran Paman yang ia emban menjadi medan eksplorasi yang menuntut kebebasan: kebebasan membongkar teks, membiarkan tubuh menemukan bentuknya sendiri, dan menautkan seluruhnya dalam visi sutradara.
Kunci perjalanan itu terletak pada arahan sutradara, Eko Wahono. Bagi Sopiyan, Eko bukan sekadar pengarah teknis, melainkan sosok yang memediasi pertumbuhan artistik pemainnya.
Ia menawarkan pengalaman berbeda di setiap sesi latihan, seakan-akan memberi ruang bagi aktor untuk menggali lebih dalam karakter masing-masing tanpa kehilangan arah dari interpretasi keseluruhan lakon.
Pemahamannya yang menyeluruh terhadap kepribadian dan potensi tiap aktor membuat proses kreatif berjalan seperti proses meramu: seimbang, intuitif, dan tetap mengarah pada capaian tertentu.
“Karakter Paman sendiri bukan peran kecil. Dalam struktur dramaturgi Borka, ia menjadi figur penyeimbang antara dunia bawah tanah dan tokoh utama. Sebuah posisi yang menuntut dimensi emosi dan kecerdikan,”ujar Sopiyan.
Paman, seperti ditafsirkan Sopiyan, dikemas sebagai sosok licik, ambisius, dan penuh akal. Sebuah dimensi yang mengharuskannya mengolah tubuh dan teks dengan cara yang tidak kaku, bahkan cenderung merdeka.
Apalagi ia harus terus berhadapan dan berdialog dengan karakter Nenek, yang menjadi lawan main utamanya dalam menjaga ketegangan dan dinamika cerita. Dari sinilah peran Paman menjadi titik krusial yang harus terus diperhalus agar tetap relevan dalam keseluruhan bangunan lakon.
Proses kreatif itu tidak mudah. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan setiap sesi latihan memaksanya untuk menemukan versi terbaik dari tubuh dan pemahamannya terhadap Paman. Namun, bagi Sopiyan, rasa lelah itu selalu tertutup oleh perasaan bahagia: kebahagiaan menjadi bagian dari proses bertumbuh bersama para aktor lain, pemusik, tim artistik, produser, hingga sutradara.
Ada suasana gotong royong artistik yang menghangatkan, mempertebal keyakinannya bahwa teater adalah ruang belajar yang tidak pernah selesai.
Pada akhirnya, bagi Sopiyan Sauri, Borka bukan hanya sebuah pentas. Ia adalah “paket lengkap”, sebuah sajian istimewa yang memadukan disiplin, eksplorasi, kebersamaan, dan kejutan-kejutan kreatif.
Dari seorang guru pesantren yang sehari-harinya akrab dengan ilmu dan pengajaran. Kini ia juga menjadi penjelajah labirin artistik yang menemukan kebebasan baru lewat tubuh, teks, dan imajinasi.
Perjalanan itu, sebagaimana sebuah labirin, mungkin tidak selalu lurus. Tetapi justru di situlah keindahannya: di antara belokan-belokan itulah seorang aktor menemukan dirinya.
Lakon Borka akan dipentaskan Teater Lho Indonesia di Festival Teater Indonesia pada 10 Desember 2025 di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Mataram. (Aks)***
Penulis : Aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : Liputan
































