Laporan Dyah Ruwiyati
CERAKEN.ID- Di Yogyakarta, peringatan Hari Difabel Internasional (HDI) setiap 3 Desember bukan sekadar agenda seremonial. Ia menjelma menjadi ruang perjumpaan, dialog, dan perayaan keberagaman melalui Pekan Budaya Difabel (PBD).
Sejak pertama kali digelar, dan resmi berganti nama dari Jambore Difabel menjadi Pekan Budaya Difabel pada 2019, acara ini konsisten menghadirkan kebudayaan sebagai medium paling jujur untuk berbicara tentang kesetaraan, kemanusiaan, dan martabat.
Tahun 2025, PBD kembali digelar dengan tema PARADIFF 2025, sebuah kata majemuk yang sarat makna. Para dari bahasa Yunani berarti pendamping, sementara different dari bahasa Inggris berarti berbeda.
Paradiff dimaknai sebagai sikap mendampingi perbedaan, membersamai keberkahan, dan merangkainya menjadi keindahan bersama. Sebuah tema yang tidak berhenti pada slogan, tetapi dihidupi melalui rangkaian peristiwa artistik yang inklusif dan penuh empati.
Pekan Budaya Difabel 2025 resmi dibuka pada Sabtu, 6 Desember 2025, bertempat di Padepokan Seni Bagong Kusudiarjo (PSBK), Sedayu, Bantul. Pembukaan dilakukan oleh Broto Wijayanto, Ketua PBD sekaligus koordinator kegiatan dan sutradara operet inklusi, figur yang tak terpisahkan dari sejarah panjang seni inklusif di Yogyakarta.
Ba(Wa)yang dan Operet Inklusi: Seni yang Meruntuhkan Tembok
Keunikan Pekan Budaya Difabel selalu terletak pada pembukaannya: sebuah operet inklusi yang digawangi komunitas Ba(Wa)yang. Komunitas ini dimotori oleh Broto Wijayanto, dan sebelumnya dikenal sebagai DAC (Deaf Art Community)—ruang aman bagi teman tuli untuk saling berkomunikasi, belajar, dan mengembangkan potensi seni mereka.
Sebelum tahun 2016, stigma negatif terhadap difabel masih begitu tebal. Ada tembok pembatas yang kokoh antara mereka yang disebut “berkebutuhan khusus” dengan mereka yang dianggap “normal”.
Di tengah situasi itulah Broto Wijayanto membuka pintu selebar-lebarnya. Ia tidak hanya menerima, tetapi membersamai. Tidak heran bila anak-anak tuli di DAC memanggilnya dengan sebutan penuh kasih: “BABE.”
Seni, dalam tangan Ba(Wa)yang, menjadi alat pembongkar stigma. Panggung bukan lagi tempat untuk menghakimi kemampuan, melainkan ruang bersama untuk mengekspresikan kemanusiaan. Inilah semangat yang terus dijaga dan diwariskan dalam setiap Pekan Budaya Difabel.
Pada pembukaan PARADIFF 2025, semangat kebersamaan juga ditegaskan oleh berbagai pihak. Jeannie Park, Direktur Eksekutif Padepokan Seni Bagong Kusudiarjo, mengungkapkan kebanggaannya karena PSBK kembali menjadi rumah bagi peristiwa budaya yang menyatukan banyak perbedaan.
Menurutnya, kebersamaan semacam ini membuat setiap orang merasa terlibat, ikut melakoni proses penghapusan sekat-sekat sosial.

Nada senada disampaikan Dian Lakshmi Pratiwi, S.S., M.A., Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta, sebelum secara resmi membuka Pekan Budaya Difabel PARADIFF 2025. Kebudayaan, tegasnya, adalah ruang paling adil untuk merayakan perbedaan.
Operet “Anak Adam Hawa”: Luka, Cinta, dan Perlawanan
Puncak pembukaan PBD 2025 adalah operet inklusi berjudul “ANAK ADAM HAWA.” Sebuah karya kolaboratif yang melibatkan penari profesional, atlet berkursi roda, teman tuli dewasa dan anak-anak, ibu-ibu dengar, grup band tunanetra Puser Bumi, serta kelompok paduan suara di bawah pimpinan Pak Sigit.
Operet ini dibuka dengan suasana yang pekat secara simbolik. Panggung diselimuti warna hitam. Di bagian belakang, pada step tertinggi yang ditutupi tirai tipis tembus cahaya, tampil grup band Puser Bumi.
Lagu pembuka “Ojo Turu Sore” dilantunkan oleh Mbak Riska, vokalis netra dengan suara yang emosional dan kuat. Penempatan mereka di balik tirai bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan filosofi: meski hidup dalam keterbatasan penglihatan, mereka memiliki suara yang layak dan wajib didengar.
Ketika tembang berganti menjadi “Lestari,” panggung berubah menjadi taman cinta. Sepasang sejoli tampil: Desta, penari sekaligus atlet bulu tangkis berkursi roda, bersama seorang penari pria.
Mereka menari dalam kebahagiaan yang sederhana, jatuh cinta, bersenda gurau, dan berharap waktu berhenti. Namun cinta itu diuji oleh kenyataan pahit: sang perempuan adalah anak penguasa zalim. Bukan cinta yang memisahkan mereka, melainkan kasta dan harta.
Adegan berganti cepat. Penguasa dan para pengawal tampil pongah, bersorak dalam kekuasaan, menindas rakyat tanpa rasa bersalah. Di sisi lain, rakyat diperlihatkan terluka, ketakutan, dan menangis dalam diam. Ketidakadilan yang dipendam lama akhirnya meledak.
Darah merah rakyat jelata menggelegak, menagih kemerdekaan, merebut senjata. Banyak yang jatuh, banyak yang terluka, namun angkara akhirnya menyerah di hadapan Sang Maha.
Rakyat yang tersisa saling menopang, berdiri dengan sisa tenaga, menjadi benteng-benteng yang tak terkalahkan. Refrain lagu “Darah Merah” menggema:
“Selama darah masih merah
Apakah arti letih lelah
Tinggal niatmu mau melangkah
Atau hanya diam dan pasrah.”
Bahasa Isyarat sebagai Puisi Perlawanan
Panggung mendadak gelap gulita. Lampu sorot beralih ke koridor gedung baru PSBK yang disulap menjadi panggung outdoor. Di sana, kelompok paduan suara dengan kutipan hidup Singing My Happiness berdiri bersiap. Intro musik berubah menjadi lagu utama: “ANAK ADAM HAWA.”

Panggung utama kembali menyala. Barisan pemeran rakyat memperagakan lirik lagu menggunakan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Kata-kata tak hanya terdengar, tetapi terlihat. Lirik lagu ini menohok sekaligus menggetarkan:
Apa salah kami lahir di dunia?
Apa salah kami hidup di dunia?
Kami juga lahir dari buah cinta
Sama sepertimu anak Adam Hawa.
Lagu ini menantang makna “sempurna” yang kerap digunakan untuk melukai. Menegaskan bahwa perbedaan kemampuan bukanlah kekurangan, melainkan bagian dari jalan kehidupan. Reffrein yang sederhana namun kuat menggema sebagai mantra inklusi:
Sempurna dari sana-Nya
Indah pada waktunya
Beda pastilah berbeda
Normal hanyalah kata.
Operet “Anak Adam Hawa” ditutup dengan kesadaran kolektif: pandangan sinis dan caci maki hanya melahirkan luka baru. Bahwa setiap manusia, melihat, mendengar, berjalan, atau menggunakan roda, lahir dengan martabat yang sama.
Panggung-Panggung Kecil, Makna yang Besar
Selepas magrib, PARADIFF 2025 belum usai. Panggung-panggung kecil yang tersebar menghadirkan beragam ekspresi: monolog komedi Yuliono Singsot, pantomim Kak Doddy Micro dan Kak Wahyu Tuli, hingga proses membatik oleh Sapadifa.
Setiap penampilan menonjolkan proses, bukan sekadar hasil. Bakat tidak mengenal batas; ia tumbuh dari ketulusan dan keberanian untuk tampil.
Pekan Budaya Difabel 2025 ditutup dengan pengalaman yang hening sekaligus mengguncang: Teater Braille. Penonton memasuki ruang kotak hitam dalam gelap total. Di sana, suara menjadi cahaya.
Teater ini tidak untuk dilihat, melainkan didengar dan dirasakan. Setiap bunyi adalah tokoh, setiap jeda adalah dialog. Sebuah pengingat sunyi bahwa persepsi kita tentang dunia sangat terbatas dan bahwa empati lahir ketika kita mau merasakan dengan cara yang berbeda.
Beda pastilah berbeda. Normal hanyalah kata.
Demikian sekelumit kisah PARADIFF 2025 di Padepokan Seni Bagong Kusudiarjo. Sebuah pekan budaya yang tidak hanya menampilkan seni, tetapi juga mengajarkan cara baru memandang kemanusiaan.
Salam Inklusi. (Acungkan jari kelingking)
Sedayu, Bantul, 21 Desember 2025.
Penulis : aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : Liputan































