CERAKEN.ID- Mataram- Terlibat sebagai kru artistik dalam garapan Borka 2025 bagi M. Wahyu Ramdani bukanlah sekadar menjalankan tugas teknis, melainkan sebuah pengalaman yang menyentuh ranah emosi dan batin. Ia memaknai kerja artistik sebagai proses membangun ruang: ruang visual, ruang suasana, ruang simbolik, dan lebih dalam lagi, ruang emosi yang menjadi napas pertunjukan.
Setiap elemen artistik yang diciptakan tidak hanya hadir sebagai dekorasi, melainkan sebagai jembatan antara dunia naskah dan dunia penonton. Dalam proses itulah Wahyu merasa seolah ia ikut “hidup” di balik dunia yang sedang dibangun di atas panggung.
Dalam perjalanan kreatifnya, Wahyu menghadapi beragam pergulatan artistik. Tim artistik, termasuk dirinya, sering berada pada fase pemilahan tawaran, memilih, menyisihkan, dan menimbang kemungkinan estetika yang dapat menguatkan pertunjukan.
Proses ini kerap berlangsung seperti ruang eksplorasi tanpa batas, di mana setiap ide diuji kekuatannya, setiap konsep dipertanyakan relevansinya, dan setiap bentuk dievaluasi kemampuannya untuk hidup di atas panggung.
“Pergulatan itu tidak hanya soal teknik, tetapi juga intuisi dan sensitivitas,” ujar Wahyu.
Menurut Wahyu, kunci utama sebuah pementasan yang kuat terletak pada keterpaduan antara panggung dan aktor. Kedua unsur ini tidak bisa berdiri sendiri; mereka harus dibangun secara utuh dan selaras.
Panggung harus mampu menjadi dunia yang mendukung tubuh aktor, sementara aktor harus mampu menghidupkan ruang yang telah disiapkan. Jika salah satu tidak mencapai keselarasan, maka keutuhan pengalaman teater akan kehilangan daya.
Dalam konteks Borka, pandangan ini menjadi semakin penting. Naskah Borka memuat kompleksitas emosi, pecahan-pecahan simbolik, serta dunia yang menuntut ruang visual yang kuat.
“Karena itu, kru artistik memiliki peran yang signifikan dalam membangun ketegangan suasana, bahasa ruang, dan atmosfer yang dapat menyokong permainan aktor,” ulas Wahyu.
Wahyu melihat bahwa artistik bukan hanya sebagai pendukung, tetapi bagian integral dari dramaturgi pertunjukan.
Setiap langkah dalam merancang artistik, bagi Wahyu, merupakan upaya menegosiasikan relasi antara ide dan ruang. Ia perlu memastikan bahwa imajinasi yang dibangun tetap sejalan dengan visi sutradara, arah naskah, dan dinamika para aktor.
Hal inilah yang menjadikan proses kreatif tidak pernah linear. Ada tarik-menarik gagasan, ada revisi, ada pencarian bentuk, dan ada saat-saat ketika konsep yang dianggap kuat harus ditinggalkan demi harmoni keseluruhan pertunjukan.
Namun di balik itu semua, Wahyu merasakan bahwa menjadi kru artistik adalah pengalaman yang memperkaya batin. Ia belajar bahwa dalam teater, ruang tidak sekadar fisik, melainkan ruang yang menyimpan energi emosional.
Ia belajar merasakan bagaimana panggung dapat bernapas, bagaimana warna dan cahaya dapat berbicara, dan bagaimana detail kecil dapat membangun suasana yang mempengaruhi permainan aktor.
Melalui garapan Borka, yang dipentaskan pada 10 Desember 2025 dalam festival Teater Indonesia di Taman Budaya Mataram, Wahyu memahami bahwa teater pada dasarnya adalah seni kolaborasi yang menyatukan berbagai elemen dalam satu tubuh. Dan dalam tubuh itu, panggung dan aktor adalah dua organ penting yang harus berdenyut bersama.
Kekuatan pertunjukan lahir ketika keduanya dibangun secara utuh, saling mendukung, dan saling menghidupkan. Bagi Wahyu, itulah inti dari kerja artistik: membangun ruang yang tidak hanya terlihat, tetapi juga dirasakan; ruang yang memungkinkan aktor dan cerita bernafas.
“Karena pada akhirnya, dalam teater, kekuatan panggung dan aktor yang dibangun secara selaras adalah fondasi bagi sebuah pertunjukan yang kuat, menyentuh, dan bermakna.” pungkas Wahyu.(Aks)***
Penulis : Aks
Editor : Ceraken Editor
Sumber Berita : Liputan































