Tantangan M. Wahyu Ramdani: Membangun Ruang Emosi Secara Artistik

Senin, 8 Desember 2025 - 09:31 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kru artistik memiliki peran yang signifikan dalam membangun ketegangan suasana, bahasa ruang, dan atmosfer yang dapat menyokong permainan aktor (Foto: ist)

Kru artistik memiliki peran yang signifikan dalam membangun ketegangan suasana, bahasa ruang, dan atmosfer yang dapat menyokong permainan aktor (Foto: ist)

CERAKEN.ID- Mataram- Terlibat sebagai kru artistik dalam garapan Borka 2025 bagi M. Wahyu Ramdani bukanlah sekadar menjalankan tugas teknis, melainkan sebuah pengalaman yang menyentuh ranah emosi dan batin. Ia memaknai kerja artistik sebagai proses membangun ruang: ruang visual, ruang suasana, ruang simbolik, dan lebih dalam lagi, ruang emosi yang menjadi napas pertunjukan.

Setiap elemen artistik yang diciptakan tidak hanya hadir sebagai dekorasi, melainkan sebagai jembatan antara dunia naskah dan dunia penonton. Dalam proses itulah Wahyu merasa seolah ia ikut “hidup” di balik dunia yang sedang dibangun di atas panggung.

Dalam perjalanan kreatifnya, Wahyu menghadapi beragam pergulatan artistik. Tim artistik, termasuk dirinya, sering berada pada fase pemilahan tawaran, memilih, menyisihkan, dan menimbang kemungkinan estetika yang dapat menguatkan pertunjukan.

Proses ini kerap berlangsung seperti ruang eksplorasi tanpa batas, di mana setiap ide diuji kekuatannya, setiap konsep dipertanyakan relevansinya, dan setiap bentuk dievaluasi kemampuannya untuk hidup di atas panggung.

“Pergulatan itu tidak hanya soal teknik, tetapi juga intuisi dan sensitivitas,” ujar Wahyu.

Menurut Wahyu, kunci utama sebuah pementasan yang kuat terletak pada keterpaduan antara panggung dan aktor. Kedua unsur ini tidak bisa berdiri sendiri; mereka harus dibangun secara utuh dan selaras.

Baca Juga :  Wang Arzaky: Street Art, Ruang Sunyi, dan Perayaan yang Rapuh

Panggung harus mampu menjadi dunia yang mendukung tubuh aktor, sementara aktor harus mampu menghidupkan ruang yang telah disiapkan. Jika salah satu tidak mencapai keselarasan, maka keutuhan pengalaman teater akan kehilangan daya.

Dalam konteks Borka, pandangan ini menjadi semakin penting. Naskah Borka memuat kompleksitas emosi, pecahan-pecahan simbolik, serta dunia yang menuntut ruang visual yang kuat.

“Karena itu, kru artistik memiliki peran yang signifikan dalam membangun ketegangan suasana, bahasa ruang, dan atmosfer yang dapat menyokong permainan aktor,” ulas Wahyu.

Wahyu melihat bahwa artistik bukan hanya sebagai pendukung, tetapi bagian integral dari dramaturgi pertunjukan.

Setiap langkah dalam merancang artistik, bagi Wahyu, merupakan upaya menegosiasikan relasi antara ide dan ruang. Ia perlu memastikan bahwa imajinasi yang dibangun tetap sejalan dengan visi sutradara, arah naskah, dan dinamika para aktor.

Hal inilah yang menjadikan proses kreatif tidak pernah linear. Ada tarik-menarik gagasan, ada revisi, ada pencarian bentuk, dan ada saat-saat ketika konsep yang dianggap kuat harus ditinggalkan demi harmoni keseluruhan pertunjukan.

Baca Juga :  Kharisma Priasa: Menata Visual Borka, Menata Bahasa Sunyi

Namun di balik itu semua, Wahyu merasakan bahwa menjadi kru artistik adalah pengalaman yang memperkaya batin. Ia belajar bahwa dalam teater, ruang tidak sekadar fisik, melainkan ruang yang menyimpan energi emosional.

Ia belajar merasakan bagaimana panggung dapat bernapas, bagaimana warna dan cahaya dapat berbicara, dan bagaimana detail kecil dapat membangun suasana yang mempengaruhi permainan aktor.

Melalui garapan Borka, yang dipentaskan pada 10 Desember 2025 dalam festival Teater Indonesia di Taman Budaya Mataram, Wahyu memahami bahwa teater pada dasarnya adalah seni kolaborasi yang menyatukan berbagai elemen dalam satu tubuh. Dan dalam tubuh itu, panggung dan aktor adalah dua organ penting yang harus berdenyut bersama.

Kekuatan pertunjukan lahir ketika keduanya dibangun secara utuh, saling mendukung, dan saling menghidupkan. Bagi Wahyu, itulah inti dari kerja artistik: membangun ruang yang tidak hanya terlihat, tetapi juga dirasakan; ruang yang memungkinkan aktor dan cerita bernafas.

“Karena pada akhirnya, dalam teater, kekuatan panggung dan aktor yang dibangun secara selaras adalah fondasi bagi sebuah pertunjukan yang kuat, menyentuh, dan bermakna.” pungkas Wahyu.(Aks)***

Penulis : Aks

Editor : Ceraken Editor

Sumber Berita : Liputan

Berita Terkait

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak
I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan
Artha Kusuma: Menari di Atas Kanvas, Merawat Raga, Irama, dan Rasa
S La Radek dan Sketsa yang Menyala dalam “The Rules of The Game”
Resonansi Batin dan Kebersamaan: Ekspresi Impresionistik Lalu Syaukani
Bambang Prasetya: Realisme yang Nyrempet ke Nurani Publik
Wang Arzaky: Street Art, Ruang Sunyi, dan Perayaan yang Rapuh
Ahmad Saifi P: Menolak Kemapanan, Mencari Estetika Baru

Berita Terkait

Senin, 22 Desember 2025 - 20:32 WITA

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Desember 2025 - 18:32 WITA

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Minggu, 21 Desember 2025 - 16:39 WITA

Artha Kusuma: Menari di Atas Kanvas, Merawat Raga, Irama, dan Rasa

Minggu, 21 Desember 2025 - 12:38 WITA

S La Radek dan Sketsa yang Menyala dalam “The Rules of The Game”

Jumat, 19 Desember 2025 - 08:55 WITA

Resonansi Batin dan Kebersamaan: Ekspresi Impresionistik Lalu Syaukani

Berita Terbaru

Apa yang mereka lakukan berangkat dari kesadaran sebagai manusia biasa  (Foto: ist)

AGENDA SOSIAL

Seni sebagai Kesaksian Zaman: Solidaritas dari Mataram untuk Sumatera

Selasa, 23 Des 2025 - 01:12 WITA

The Last Fruit mengandung metafora yang kuat. Ia terdengar sederhana, tetapi sekaligus menggetarkan (Foto: bp)

TOKOH & INSPIRASI

Buah Terakhir dari Hutan yang Terkoyak

Senin, 22 Des 2025 - 20:32 WITA

Karya-karya Pak Kisid (kanan) hadir sebagai penanda bahwa seni tidak hanya berbicara tentang bentuk dan warna, tetapi juga tentang nilai dan tanggung jawab.(Foto: ist)

TOKOH & INSPIRASI

I Nengah Kisid: Melukis sebagai Jalan Membaca, Mendengar, dan Melakukan

Senin, 22 Des 2025 - 18:32 WITA

Dari Sumbawa, sebuah gagasan sedang dirajut: bahwa masa depan literasi daerah tidak harus gemerlap, tetapi harus berakar (foto: NR)

KEARIFAN LOKAL

Menggagas Perpustakaan Tematik: Jalan Sunyi Literasi dari Tana Samawa

Senin, 22 Des 2025 - 16:54 WITA

Dipsy Do tergolong band baru, lahir dari jam-jam sepulang kerja (Foto: Konser Lombok)

MUSIC & SHOW BIZZ

Dipsy Do di Soundrenaline 2025: Dari Mataram ke Pusat Hiruk-Pikuk Modernitas

Senin, 22 Des 2025 - 15:50 WITA