Catatan Agus K Saputra
CERAKEN.ID- Orang akan segera melupakanmu, sementara engkau mungkin masih menyimpan kenangannya dengan rapi, seolah waktu tak pernah benar-benar berjalan. Kalimat ini terdengar sederhana, namun di dalamnya bersemayam kenyataan yang sering membuat dada sesak: ingatan manusia tidak pernah adil.
Ada pertemuan yang bagi satu pihak hanyalah persinggahan, tetapi bagi pihak lain menjelma menjadi rumah kenangan. Di titik inilah luka sering lahir, bukan karena perpisahan itu sendiri, melainkan karena ketimpangan cara mengingat.
Apakah engkau merasa terluka? Pertanyaan itu mungkin tak perlu dijawab dengan kata-kata. Tubuh dan pikiran sering kali lebih jujur. Engkau terdiam lebih lama dari biasanya, mendapati dirimu kembali pada percakapan lama, pada tawa yang pernah terasa akrab, pada harapan yang tak sempat menemukan bentuknya.
Sementara itu, di luar sana, ia telah melangkah jauh, menyusun hari-hari baru tanpa perlu menoleh. Luka itu hadir sebagai kesadaran sunyi: ternyata engkau tak sepenting itu dalam kisah hidupnya.
Namun, rasa sakit semacam ini bukan pertanda kelemahan. Ia justru menandai kedalaman pengalaman batin.
Manusia yang mampu menyimpan kenangan adalah manusia yang pernah hadir sepenuhnya, dengan perasaan, perhatian, dan keberanian untuk terlibat. Yang menyakitkan bukanlah fakta bahwa orang lain melupakan, melainkan bahwa kita pernah memberi ruang sedemikian luas dalam diri kita, hingga kepergiannya meninggalkan jejak kosong yang terasa nyata.
Ingatan bekerja dengan cara yang aneh. Ia tidak selalu setia pada kronologi, melainkan pada emosi. Kita bisa melupakan detail wajah atau suara, tetapi perasaan yang pernah menyertainya tetap bertahan.
Di sinilah ketimpangan itu terasa semakin tajam. Bagi sebagian orang, melupakan adalah mekanisme bertahan hidup.
Bagi yang lain, mengingat justru menjadi cara untuk tetap jujur pada apa yang pernah terjadi. Tidak ada yang sepenuhnya salah, namun perbedaan inilah yang kerap melahirkan luka.
Ketika engkau menyadari bahwa engkau dilupakan, ada kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri. Mungkin engkau bertanya: apakah aku kurang berarti? Apakah aku tak cukup penting untuk dikenang?
Pertanyaan-pertanyaan ini berbahaya jika dibiarkan berlarut, karena ia menggeser persoalan dari relasi menjadi penilaian terhadap nilai diri. Padahal, fakta bahwa seseorang melupakanmu tidak pernah otomatis berarti engkau tak layak diingat. Ia lebih sering berbicara tentang kapasitas orang itu, bukan tentang nilaimu.
Luka karena dilupakan juga mengajarkan sesuatu yang getir namun penting: bahwa tidak semua kehadiran harus berujung pada keabadian. Ada pertemuan yang memang ditakdirkan singkat, meski terasa dalam.
Kita sering mengukur makna dari lamanya kebersamaan, padahal intensitas dan kejujuran perasaan tak selalu sejalan dengan durasi. Seseorang bisa tinggal sebentar, tetapi meninggalkan bekas panjang. Sementara yang lain hadir lama, namun nyaris tanpa jejak.
Apakah dengan demikian engkau harus memaksa diri untuk melupakan? Tidak selalu. Melupakan bukanlah kewajiban moral. Yang lebih penting adalah berdamai dengan ingatan.
Berdamai berarti mengakui bahwa kenangan itu pernah berarti, tanpa menjadikannya penjara. Engkau boleh mengingat, tetapi tak lagi berharap.
Engkau boleh menyimpan, tetapi tak lagi menunggu. Di sanalah luka perlahan berubah menjadi pengalaman, masih terasa, tetapi tak lagi menguasai.
Pada akhirnya, kenyataan bahwa orang lain melupakanmu sementara engkau masih mengingatnya adalah bagian dari proses menjadi manusia yang utuh. Luka itu, jika dirawat dengan kesadaran, dapat mengajarkan empati, kedewasaan, dan keberanian untuk mencintai tanpa jaminan.
Engkau mungkin terluka, ya. Tetapi dari luka itu, engkau juga belajar bahwa nilai dirimu tak ditentukan oleh ingatan orang lain, melainkan oleh caramu menghargai apa yang pernah hidup di dalam dirimu sendiri.
Dan suatu hari nanti, ketika ingatan itu tak lagi terasa perih, engkau akan memahami: bukan engkau yang kalah karena mengingat, melainkan engkau yang tumbuh karena pernah berani menyimpan.***
Penulis : Aks
Editor : Ceraken Editor































